”Padahal, faktanya sekalipun harga minyak dunia lagi turun keputusan menaikkan harga BBM tetap dipaksakan, bahkan di saat kondisi rakyat masih morat-marit sekalipun karena memang di balik keputusan tersebut negara tidak lagi sebagai pelindung atau perisai bagi rakyatnya.”
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bukannya rakyat tidak bisa bersabar, melainkan penguasanya yang tidak pernah sadar, jika kekuasaan itu hakikatnya adalah amanah yang diberikan oleh rakyat. Adanya keputusan penguasa yang sering menzalimi rakyat, semisal kenaikan harga BBM adalah bukti amanah itu sering diabaikan karena takluk mengikuti aturan yang diarahkan oleh segelintir orang yang bernama oligarki, yakni para pemilik modal yang dalam sistem kapitalisme selalu didewakan, sementara rakyat hanya cukup diberikan perisa rasa bernama subsidi.
Kelompok oligarki dengan modalnya memengaruhi kekuasaan agar berpihak pada kepentingan bisnisnya untuk meraup cuan sebanyak-banyaknya. Negara sangat bergantung pada nilai investasi yang ditanamnya di negeri ini. Lemahnya kekuasaan karena dorongan syahwat materialisme menjadikan rakyat bukan lagi prioritas untuk dilayani, malah sebaliknya rakyat dijadikan kawula yang harus melayani penguasa yang disetir oleh kaum kapitalis.
Perampokan Harta Rakyat
Hal tersebut terlihat dari banyaknya aturan yang dikeluarkan penguasa, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah sampai keputusan presiden yang semakin memudahkan oligarki untuk berinvestasi dalam upaya mengelola kekayaan alam, namun sejatinya mengeruk seluruh ’harta karun' yang tersimpan di dalamnya. Sebut saja misalnya UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), swastanisasi dan liberalisasi migas di Indonesia berjalan makin masif dari hulu hingga hilir.
Dalam aturan ini terbuka pintu lebar-lebar bagi swasta lokal dan asing untuk masuk sebagai ’perampok’ dalam pengelolaan migas, termasuk penjualan BBM kepada rakyat. Maka tidak mengherankan bila saat ini SPBU-SPBU asing milik Shell, Vivo dan BP turut bersaing di lahan pompa bensin, selain Pertamina yang semula menjadi pemain tunggal di sektor hilir penjualan BBM.
Dari sudut pandang ini, keputusan pemerintah menaikkan harga beberapa jenis BBM bersubsidi per 3 September 2022, merupakan salah satu upaya merealisasikan mandat UU berkenaan dengan liberalisasi migas agar terjadi persaingan pasar yang sehat di sektor hilir, tanpa campur tangan pemerintah yang konon merasa terbebani dengan angka subsidi yang diklaim pemerintah nilainya mencapai 502 triliun rupiah.
Subsidi Hanya Perisa Rasa
Asumsinya kalau harga BBM di Indonesia masih disubsidi, SPBU-SPBU asing tersebut tidak akan bisa mendapatkan banyak keuntungan karena harganya lebih murah. Kondisi tersebut bila berlangsung terus menerus akan membuat investor di sektor hilir migas ini akan hengkang. Dalam kacamata kapitalisme, liberalisasi migas harus diberlakukan tanpa ada lagi subsidi.
Kita bisa mengambil gambaran sederhananya, harga bensin sekarang di kelas RON 92 semisal Pertamax dibanderol Rp14.500 per liter, artinya sebanding atau tidak jauh berbeda dengan produk yang dijual asing di negeri ini, seperti Super Shell Rp15.420, Revvo 92 Rp17.990, dan BP 92 yang dijual seharga Rp17.300. Persaingan harga seperti inilah yang diinginkan para investor asing karena akan membuat rakyat banyak pilihan tanpa intervensi penguasa. Rakyat akan selalu diposisikan sebagai konsumen bukan lagi yang harus diurusi hajat hidupnya.
Alasan harga minyak dunia dan nilai kurs rupiah terhadap dolar yang sering dijadikan argumen pemerintah menaikkan harga BBM faktanya sekadar upaya mengalihkan perhatian rakyat agar keputusan penguasa selalu dianggap benar. Padahal, faktanya sekalipun harga minyak dunia lagi turun keputusan menaikkan harga BBM tetap dipaksakan, bahkan di saat kondisi rakyat masih morat-marit sekalipun karena memang di balik keputusan tersebut negara tidak lagi sebagai pelindung atau perisai bagi rakyatnya.
Dengan demikian, tampak jelas keputusan menaikkan harga BBM saat ini tidak lebih dalam rangka liberalisasi migas dari hulu hingga hilir, dari produksi hingga distribusi tanpa menghendaki campur tangan negara dengan dalih persaingan pasar bebas dunia. Adapun subsidi yang sering dianggap beban fungsinya hanya sebatas perisa rasa kapitalisme agar terkesan humanisme mementingkan urusan rakyat.
Syariat Islam Solusi Nyata
Syariat Islam secara tegas menolak upaya liberalisasi sektor migas ini karena harta tersebut merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki secara umum tidak boleh menjadi milik negara, apalagi diswastakan menjadi milik pribadi, kelompok oligarki lokal, apalagi asing.
Negara hanya diamanahi untuk mengelolanya secara profesional dan efisien, sehingga sekalipun hasilnya tidak bisa digratiskan untuk rakyat, setidaknya dijual tapi dengan harga serendah mungkin. Keuntungan dari harta milik umum ini, jika tidak bisa dibagikan secara langsung, maka bisa digunakan untuk membangun sarana infrastruktur seperti fasilitas umum di bidang kesehatan, pendidikan dan sarana transportasi yang tidak berbayar bagi seluruh rakyat tanpa membedakan kaya atau miskin.
Karena itu subsidi dalam syariat Islam bukan sekadar perisa rasa saat rakyat kesulitan, melainkan pemberian negara yang diamanahi kewajiban mengurusi rakyat dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya. Negara atau penguasa berfungsi sebagai perisai yang harus memberikan pelayanan terbaik dan maksimal kepada rakyatnya, bukan bentuk ‘belas kasihan’ dan pemberian minimalis. Pelayanan negara kepada rakyat bukan sebagai kompensasi, melainkan sebagai bukti tanggung jawab secara nyata atas amanah yang diembannya.
Subsidi selama ini tidak lebih sebatas pencitraan politis sistem kapitalisme yang terkesan humanis, padahal oportunis. Apalagi subsidi tersebut ditengarai sering salah sasaran dan hanya dinikmati kelas menengah ke atas bukan mayoritas rakyat miskin.
Akan berbeda keadaannya jika syariat Islam diterapkan secara kaffah karena kepemilikan akan dibedakan menurut jenisnya, yaitu kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan negara. Khusus kepemilikan umum meliputi potensi mineral padat, cair, dan gas yang asalnya dari dalam perut bumi, benda-benda tersebut dimasukkan ke dalam golongan milik umum karena memiliki kebermanfaatan besar, baik kualitas maupun kuantitasnya bagi masyarakat dan menyangkut hajat hidup masyarakat secara keseluruhan, semisal minyak, barang tambang dan kekayaan hutan. Negara harus mengamankan semua kekayaan alam tersebut dari penjarahan dan penjajahan investor swasta dan asing.
Karena itu negara harus benar-benar hadir menjadi perisai yang nyata bagi rakyatnya, melindungi dan mengayomi secara adil sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi saw. mengatakan: ”Bahwa pemimpin itu adalah perisai rakyatnya, mereka berperang dari belakangnya, dan merasa kuat dengannya. Pemimpin yang memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah; dan ia berlaku adil, maka bagi mereka pahala, namun jika mereka memerintahkan selainnya (bukan kebaikan), maka mereka mendapatkan dosa dari perintahnya itu.” (HR. Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid 3, hal: 1080).
Wallahu'alam bish shawwab.[]
Photo : Pinterest