”Polemik hukum di mana pun sejatinya bersumber dari dua hal pokok, yaitu kesahihan hukum itu sendiri dan moralitas para penegak hukumnya. Suatu hukum dikatakan sahih jika dapat menjamin keadilan, sementara penegak hukum bisa dikatakan amanah apabila dapat menjamin keadilan bagi semua pihak.”
Oleh. Rahmiani. Tiflen, Skep
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hampir dua bulan sudah kasus kematian Brigadir J bergulir, namun hingga hari ini masih belum menemukan titik terang. Berbagai skenario dan rekayasa pun telah dipatahkan, akan tetapi agaknya pihak-pihak yang bermain di belakang kasus tersebut sulit untuk dibekuk. Semua semakin menampakkan bobroknya penegakan hukum di negeri ini. Terlebih yang menjadi pelaku pembunuhan adalah mereka yang berkecimpung sebagai aparat penegak hukum, para polisi yang seharusnya menjadi pengayom dan juga pelindung rakyat. Maka, jangan salahkan jika kepercayaan rakyat kepada aparat penegak hukum menjadi hilang. Lantas, adakah sistem yang mampu mewujudkan keadilan dan juga amanah dalam rangka penegakan hukum itu sendiri?
Dari Obstruction of Justice hingga Extrajudicial Killing
Melansir dari Kompas.com, 02/09/22 bahwa polisi telah menetapkan tujuh tersangka yang terindikasi melakukan obstruction of justice atau tindakan menghalang-halangi penyidikan dalam kasus kematian Brigadir J (Nofriansyah Yosua Hutabarat). Seluruh tersangka adalah anggota Polri yaitu, Irjen Ferdy Sambo yang juga diduga menjadi otak pembunuhan berencana dengan memerintahkan Richard Eliezer atau Bharada E dalam penembakan terhadap Yosua. Adapun keenam tersangka obstruction of justice lainnya yakni, Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Agus Nurpatria, AKBP Arif Rachman Arifin, Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuck Putranto, dan AKP Irfan Widyanto.
Di samping itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun mengungkapkan adanya tindakan extrajudicial killing_ atau pembunuhan di luar proses hukum dalam kasus tersebut di atas. World Organisation Against Torture dalam lamannya pun ikut menjelaskan terkait extrajudicial killing, yaitu suatu tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain ketika ia sedang menduduki jabatan resmi tanpa melalui proses hukum. Yang mana, pembunuhan itu bisa dilakukan secara sengaja untuk menghilangkan nyawa atau disebabkan kelalaian akibat penyiksaan.
Berdasarkan pengertian di atas maka, terdapat beberapa ciri dari tindakan extrajudicial killing, di antaranya; (1) tindakan yang dapat menyebabkan kematian, (2) dilakukan tanpa melalui proses hukum yang sah, (3) pelakunya adalah aparat negara, (4) tidak dilakukan dalam rangka membela diri atau atas perintah undang-undang.
Penyebab Lemahnya Proses Penegakan Hukum
Hal ini semakin menunjukkan ketidakadilan serta rapuhnya proses penegakan hukum di tanah air. Kejanggalan demi kejanggalan pun terus ditampakkan dari kasus tersebut kepada khalayak umum. Dimulai dari CCTV yang kabarnya rusak (mati), selanjutnya kasus tersebut baru diumumkan setelah lewat dua hari. Pun jenazah korban yang dikirim diam-diam ke rumah keluarga. Pihak pengacara keluarga kemudian menyatakan bahwa pada jasad korban, selain terdapat luka tembak, juga terlihat tanda-tanda bekas siksaan. Selain itu, keterangan pihak kepolisian juga berbeda dan berubah-ubah. Hingga pihak keluarga mengajukan proses autopsi ulang, namun hasilnya pun di luar ekspektasi publik. Sementara itu ada kesan perlakuan istimewa terhadap tersangka FS (Ferdi Sambo) dan juga PC (Putri Candrawathi).
Adapun lembaga independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan juga Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), yang mana dalam proses pengungkapan kasus tersebut sangat diharapkan dapat memberikan penilaian lebih objektif dan berimbang, sehingga dapat menguak fakta dan mengungkap kasus di balik kematian Brigadir J dengan seadil-adilnya, akan tetapi sepertinya lebih terkesan tidak objektif. Maka wajar jika saat ini seluruh rakyat Indonesia mempertanyakan, di mana keadilan dan juga kebenaran dalam pengungkapan kasus tersebut. Sebab kini, keadilan menjadi sesuatu yang langka di tengah-tengah masyarakat.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Indonesia Political Opinion (IPO) pada 2020, menunjukkan adanya ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum sebanyak 64 %. Sedangkan Lembaga Survei Indikator Politik mengungkap tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri dalam periode Agustus 2022 adalah mengalami penurunan drastis, yaitu mencapai 54,4 %. Padahal sebelumnya, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri mencapai 66,7 % (Kompas, 25/08/22).
Selain itu, kepolisian pun tidak lepas dari berbagai permasalahan internal. Hal ini turut ditegaskan dalam Data Divisi Bidang Profesi dan Pengamanan Mabes Polri, yang menyebutkan setidaknya terdapat 1.694 kasus terjadi di tubuh Polri dan itu termasuk dalam pelanggaran disiplin, kemudian terdapat 803 kasus terkait kode etik, dan 147 kasus pidana dari Januari sampai Oktober 2021.
Berbagai fakta di atas semakin menguatkan bahwa, polemik hukum di mana pun sejatinya bersumber dari dua hal pokok yaitu kesahihan hukum itu sendiri dan moralitas para penegak hukumnya. Suatu hukum dikatakan sahih jika dapat menjamin keadilan, sementara penegak hukum bisa dikatakan amanah apabila dapat menjamin keadilan bagi semua pihak. Satu hal yang pasti selama hukum masih berpangkal pada hawa nafsu manusia dan tidak berasal dari ketetapan Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa ta’ala, maka dipastikan wajah hukum itu sendiri akan buram. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Sc selaku pakar hukum, dikatakannya kondisi hukum di Indonesia akan semakin terpuruk jika masih terus berkutat pada penerapan paradigma hukum yang lebih cenderung sekuler, materialistis serta mengandung cacat ideologis. Terlebih hukum buatan manusia itu sendiri, dipenuhi berbagai kepentingan tertentu. Hal senada pun disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD, yang menyatakan kalau hukum di Indonesia masih diwarnai adanya intervensi politik. Atau dengan kata lain, saat ini hukum tunduk pada politik disebabkan hukum merupakan produk politik (kesepakatan politik). Sering pula hukum buatan manusia ini mengandung pasal-pasal karet sehingga dapat ditarik-ulur sesuka hawa nafsu penguasa. Padahal, Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan secara tegas dalam Al-Quran surah Al-Mukminun ayat 71.
Keadilan Hanya Ada dalam Hukum Islam
Jelas berbeda dengan hukum Islam yang sangat menjamin keadilan, bebas dari hawa nafsu manusia termasuk bebas atas kepentingan politik. Hukum Islam adalah aturan yang jelas, tidak mengandung pasal-pasal karet yang juga sumir sebab bersumber dari Zat Yang Maha Adil, Allah azza wa jalla.
Sebagaimana peristiwa tatkala kaum Bani Makhzum meminta Usamah bin Zaid radhiallahu anhu guna melobi kepada Baginda Nabi shalallahu alaihi wa salam, untuk menangguhkan hukum potong tangan atas seorang perempuan bangsawan dari kaumnya, lantas beliau shalallahu alaihi wa salam menjadi murka dan kemudian menegur mereka secara tegas, “Apakah engkau hendak meminta keringanan sanksi/hudud Allah?” Lalu Rasulullah shalallahu alaihi wa salam kemudian bersabda:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا سَرَقَ فِيْهِمْ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيْهِمْ الضَّعِيْفُ أَقَامُوْا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
”Sungguh yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya, jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!” (HR. al-Bukhari)
Sebab itu, tidak ada hukum yang mampu menciptakan keadilan kecuali hukum Islam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُون
”Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah : 50)
Syekh Wahbah az-Zuhaili menerangkan terkait ayat tersebut, yang bermakna bahwa tidak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah taala, pun tidak ada satu hukum yang lebih baik dibandingkan hukum-Nya (Az-Zuhaili, At-Tafsiir Al-Muniir, 6/224).
Khatimah
*Dengan demikian rapuhnya proses penegakan hukum serta ketidakadilan yang selama ini terjadi, adalah sebuah konsekuensi dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Kepolisian yang dalam hal ini pun merupakan aparat penegak hukum, namun ternyata dalam pelaksanaannya selama ini banyak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip keadilan, serta mencederai amanah rakyat. Padahal, prasyarat utama dari seorang penegak hukum adalah memiliki integritas dalam menegakkan keadilan. Aparat penegak hukum juga dituntut bertindak secara tegas, tanpa pandang bulu, kendati di lapangan harus bersinggungan dengan rekan satu korps, atau atasan sekalipun. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kaum muslimin agar dapat menunaikan amanah sebaik-baiknya.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
”Sungguh Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Jika kalian memutuskan hukum di antara manusia, putuskanlah hukum dengan adil.” (QS. an-Nisa’ : 58)
Sebuah riwayat datang dari Imam Malik bin Anas yang disampaikan dalam Kitab Al-Muwatha, bahwa suatu ketika Nabi shalallahu alaihi wa salam mengutus Abdullah bin Rawaha radhiyallahu anhu untuk memungut hasil panen buah-buahan dari kaum Yahudi Khaybar. Namun, ternyata mereka berupaya menyuap Abdullah bin Rawahah agar meringankan pungutan tersebut, dengan cara mengumpulkan perhiasan kaum perempuannya dan digunakan sebagai sogokan. Lantas atas sikap Yahudi tersebut, Abdullah bin Rawahah dengan tegas berkata, “Wahai Yahudi, demi Allah! Kalian adalah makhluk Allah yang paling kubenci. Bukanlah hal itu yang mendorongku untuk berbuat zalim kepada kalian. Sungguh suap yang kalian berikan adalah haram. Kami tidak akan memakannya.” Maka demi menyaksikan hal tersebut, kaum Yahudi pun terkejut kemudian memuji beliau, “Dengan inilah tegak langit-langit dan bumi.”
Untuk itu wahai kaum muslimin! Pahamilah, bahwa sistem hari ini merupakan ummul jaraim (induk dari kejahatan). Hukum akan sulit ditegakkan secara adil dan berimbang, jika aturan Islam tidak diberlakukan. Terlebih ketika hukum itu dilahirkan dari rahim sekularisme yang telah cacat sejak permulaannya, dan penuh dengan berbagai kepentingan. Selain itu, sikap amanah dan adil hanya dapat tumbuh subur dan berkembang dalam sistem Khilafah Islamiah, bukan pada peradaban sekuler kapitalisme seperti saat ini. Keadilan atas penegakan hukum yang amanah hanya terwujud jika akidah dan syariat Islam menjadi landasan dalam bermasyarakat serta dalam menetapkan hukum negara. Wallahu’alam bis showab.[]
Photo : Pinterest