”Pemberantasan korupsi selalu menjadi janji saat pemilu. Tetapi ketika rezim terus berganti, langkahnya makin terseok-seok dan kehilangan orientasi. Para koruptor sudah melakukan regenerasi, kaum milenial juga ikut terjebak dalam pusaran korupsi.”
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Korupsi adalah kejahatan luar biasa karena berdampak pada kehidupan orang banyak dan merugikan negara. Hak jutaan manusia terenggut demi kepentingan individu atau sekelompok orang. Indonesia memiliki persoalan berat terkait korupsi ibarat kanker yang sudah mengakar dan sulit dicabut.
Meski Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada 2022 naik menjadi 3,93 dari sebelumnya 3,88, namun berkebalikan dengan fakta sesungguhnya. Korupsi makin tidak terkendali, terjadi secara masif dan terstruktur. Wajar rakyat begitu geram karena di tengah-tengah kehidupan yang sulit, halangan mengenyahkan korupsi justru datang dari pemerintah itu sendiri.
Bagaimana tidak? Karpet merah malah digelar buat para mantan koruptor. UU Pemilu No. 8 Tahun 2017 dalam pasal 240 Ayat (1) membuka peluang bagi eks napi koruptor maju sebagai caleg. Keputusan ini berkat putusan Mahkamah Agung Nomor 30 P/HUM/2018. Sebagaimana yang dilansir oleh cnnindonesia.com (26/08/2022), selama bakal caleg itu jujur mengakui mantan koruptor, sah-sah saja mencalonkan diri.
MA beralasan pelarangan nyaleg bagi mantan koruptor bersinggungan dengan pembatasan HAM, terutama hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih. Hak politik telah tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik PBB. Indonesia telah meratifikasi kovenan itu melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Banjir Peraturan Korupsi di Sistem Demokrasi
Perjuangan pemberantasan korupsi di negara ini begitu panjang, harus melewati jalan berliku. Upaya sudah dilakukan sejak era kepemimpinan Soeharto yang mengeluarkan banyak peraturan untuk mengurangi tindak pidana korupsi. Ada pidana penjara maksimum seumur hidup bagi koruptor. Sederet aturan lain dibuat untuk menjaga aparatur negara bersih dan berwibawa, tidak ada pungutan liar, tindakan bagi tindak pidana suap, hingga kewajiban pelaporan kekayaan bagi para pejabat.
Di era Gus Dur pernah dibentuk badan-badan seperti Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara. Sementara Megawati membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang merupakan cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.
Slogan “Katakan Tidak pada Korupsi” juga digencarkan di era SBY namun di lapangan tetap mandul menghadapi koruptor. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), di masa Jokowi-Ma’ruf nyaris tidak ada perubahan dalam ikhtiar pemberantasan korupsi. Justru lembaga pemberantasan korupsi malah dilemahkan.
Pemberantasan korupsi selalu menjadi janji saat pemilu. Tetapi ketika rezim terus berganti, langkahnya makin terseok-seok dan kehilangan orientasi. Para koruptor sudah melakukan regenerasi, kaum milenial juga ikut terjebak dalam pusaran korupsi.
Penyebab sulitnya korupsi diamputasi karena akar pangkalnya tidak dihilangkan. Konsekuensi logis dari penerapan sistem demokrasi, siapa pun yang ingin duduk di kursi kekuasaan, memerlukan sokongan uang. Partai politik yang menjadi mesin pendukungnya tidak akan memberikan tiket gratis. Sudah menjadi rahasia umum meski sulit dibuktikan, aroma jual beli kekuasaan merupakan praktik jamak dalam sistem demokrasi. Tak heran, korupsi tumbuh subur dan terus berkembang biak dari level atas hingga bawah.
Ada celah bagi para pemilik modal untuk ikut bermain mendukung orang-orang yang bisa dimanfaatkan. Hasilnya, suap dan penyelewengan kekuasaan terjadi dan tentunya tidak dilakukan sendiri melainkan secara berjemaah sehingga para koruptor saling melindungi. Inilah yang sering terjadi di lembaga legislatif, menggadaikan suara rakyat demi kekuasaan.
Lembaga eksekutif juga bersifat koruptif karena mahalnya biaya politik. Akhirnya, lembaga yudikatif yang diharap sebagai benteng penegakan hukum ikut terseret. Jabatan selama lima tahun dimanfaatkan untuk balik modal. Kemendagri mengatakan calon bupati dan wali kota harus mengeluarkan uang 20 hingga 100 miliar rupiah untuk mengikuti Pilkada sebagaimana dilansir di Kompas.com (12/01/2018).
Terbukti, berapa pun aturan dibuat untuk menghentikan korupsi, tidak akan pernah mempan selama sistem politiknya menganut sistem demokrasi. Demokrasi dan korupsi tidak bisa dipisahkan. Berharap pemerintahan yang bersih dalam sistem demokrasi seperti menegakkan benang basah. Kemauan politik akan selalu diganjal oleh para elite politik dengan barisan para penyokongnya yang terdiri dari para pemilik modal.
Solusi Islam dalam Pemberantasan Korupsi
Sistem Islam menegakkan kekuasaan yang meminimalkan peluang terjadinya korupsi. Sistem pemerintahannya bernama Khilafah dipimpin seorang khalifah yang dipilih rakyat untuk menjalankan kekuasaan berdasarkan syariat Islam. Semua pejabat baik pusat maupun daerah, ditunjuk oleh khalifah. Proses ini tidak berbiaya mahal sehingga menutup celah korupsi, suap dan penyelewengan lainnya.
Orang-orang yang berada dalam struktur pemerintahan harus bertakwa dan memenuhi syarat profesional lainnya. Khalifah memberikan keteladanan hidup sederhana. Jabatan bukan untuk kepentingan dunia melainkan amanah dalam rangka ibadah. Penguasa melayani rakyat dengan bersandarkan pada hukum syarak.
Khalifah mendapat tunjangan sesuai kebutuhan hidup secara layak bagi keluarganya. Sedang gaji diberikan pada pejabat yang menjamin terpenuhinya kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan kolektif seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan diberikan negara secara gratis. Sementara sandang, pangan dan papan, diupayakan agar terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Seseorang ketika menjabat harus melaporkan jumlah kekayaannya dan dihitung kembali pada saat sudah menjabat. Jika ada kecurigaan penambahan harta tidak wajar, akan diverifikasi asal usul harta tambahan tersebut. Jika terbukti merupakan harta korupsi, negara menyita hartanya sedang pelakunya dihukum. Hukuman bisa berupa diumumkan ke masyarakat, cambuk hingga hukuman mati. Tergantung dampak kerusakan akibat korupsi tersebut.
Khalifah Umar pernah melakukan penyitaan lalu membagi dua harta milik Abu Hurairah, Uthbah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash. Ini dilakukan karena diduga ada kasus syubhat pada harta mereka. Harta yang disita diserahkan ke Baitulmal.
Selain itu, para ulama dan masyarakat melakukan kontrol dengan cara muhasabah kepada penguasa jika melakukan tindak kezaliman atau penyelewengan. Imam Al Ghazali berkata bahwa kerusakan penguasa terjadi ketika ulamanya cinta dunia. Di masa kekhalifahan Harun Al-Rasyid, seorang ulama Imam Al-Fudhail menasihati khalifah hingga air matanya bercucuran. Al-Fudhail menolak pemberian 1000 dinar dari khalifah meski sebenarnya membutuhkannya.
Pengontrolan juga dilakukan seluruh kaum muslimin karena amar makruf nahi mungkar kewajiban setiap muslim. Ketika kewajiban ini ditinggalkan, orang-orang jahat akan berkuasa sebagaimana disebutkan dalam hadis, ”Hendaklah kamu beramar makruf dan nahi mungkar. Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka).” (HR. Abu Dzar)
Khatimah
Selama sistem politik demokrasi dipertahankan, jangan berharap korupsi bakal berhenti. Penegakan hukum makin ruwet dan berbelit-belit. Ujungnya, hukum kian tak bertaji karena disandera para elite politik.
Di sinilah relevansinya perjuangan dakwah menerapkan syariat Islam kaffah harus digencarkan karena tidak ada solusi lain kecuali Islam, satu-satunya sistem alternatif yang memiliki konsep mulai dari upaya preventif dan sanksi. Jika bukan kita, siapa lagi yang berdakwah. Jika bukan sekarang, kapan lagi.
Wallahu a’lam bi ashowab.