”Namun, penyebab utama terjadinya hiperinflasi karena sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri, yang menjadi akar masalahnya. Seperti sistem uang kertas yang tidak berbasis emas, lembaga perbankan ribawi, dan maraknya ekonomi spekulatif.”
Oleh. Diyani Aqorib
(Kontributor NarasiPost.Com dan Aktivis Muslimah Bekasi)
NarasiPost.Com-Hiperinflasi menjadi salah satu ancaman ekonomi yang menghantui banyak negara di dunia. Tak terkecuali Indonesia. Menurut Ketua MPR Bambang Soesatyo, Indonesia terancam mengalami hiperinflasi pada September 2022 mendatang. Tingkat inflasi diperkirakan 10 hingga 12 persen. Sehingga, lonjakan harga pangan dan energi akan membuat inflasi semakin tinggi. Akibatnya beban rakyat akan bertambah di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Hal ini disampaikan Bambang Soesatyo pada Sidang Tahunan MPR RI pada Selasa (16/8). (cnnindonesia.com, 16/8/2022)
Menurut data BPS tingkat inflasi tahunan pada bulan Juli 2022 sebesar 4,94 persen. Kemudian naik di bulan Agustus mencapai 5-6 persen. Salah satu faktor yang menyebabkan hiperinflasi adalah lonjakan harga minyak dunia yang mencapai 98 dolar AS per barel. Hal ini di luar perkiraan APBN 2022, yaitu 63 dolar AS per barel. Sehingga kenaikan minyak dunia tersebut telah membebani APBN, karena pemerintah harus menaikkan subsidi energi sebesar Rp502 triliun. (cnnindonesia.com, 16/8/2022)
Faktor lain yang dapat menyebabkan hiperinflasi adalah ketergantungan Indonesia terhadap impor, khususnya sektor pangan dan energi. Melalui impor, harga pangan, dan energi akan sangat mahal. Karena mengikuti harga dunia. Kondisi ini diperparah dengan adanya konflik Ukraina-Rusia sebagai penghasil gandum dan biji-bijian terbesar di dunia, serta krisis energi di Uni Eropa. Akibatnya harga pangan dan energi melambung tinggi.
Selain itu, para spekulan yang mengambil keuntungan pribadi di tengah kenaikan harga pangan dan energi secara global tentu sangat merugikan rakyat. Tak ketinggalan adanya praktik-praktik monopoli yang mereka lakukan akan memperpanjang rantai distribusi. Akibatnya harga akan semakin mahal ketika sampai di masyarakat.
Dampak dan Penyebab Hiperinflasi
Hiperinflasi adalah kenaikan harga komoditas, barang, dan jasa yang terjadi lebih dari 50 persen dalam satu bulan pada periode tertentu. Kenaikan harga ketika hiperinflasi bisa mencapai 5 hingga 10 persen per hari. Sehingga, konsumen dan pelaku usaha memerlukan lebih banyak uang untuk membeli produk atau kebutuhan sehari-hari.
Hiperinflasi juga dapat menyebabkan beberapa konsekuensi terhadap perekonomian sebuah negara. Pada kondisi normal terjadinya kenaikan harga diiringi dengan kenaikan upah, namun hal tersebut tak berlaku ketika sebuah negara mengalami hiperinflasi. Ketika harga-harga naik secara cepat dan tak terkendali, maka jumlah uang tunai atau tabungan di bank akan mengalami penurunan dari sisi nilai. Di sisi lain, uang tunai juga tak memiliki nilai karena berkurangnya daya beli. Akibatnya kondisi sosial ekonomi masyarakat menjadi tak terkendali. Bahkan, bisa menyebabkan konflik di tengah masyarakat.
Hiperinflasi juga bisa menyebabkan kebangkrutan di sektor finansial. Pun pendapatan negara dari sumber pajak dapat mengalami penurunan karena rakyat tak mampu membayar kewajibannya. Sehingga, kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya kian terbatas. Maka, ketika hiperinflasi terjadi di sebuah negara tak dimungkiri ancaman resesi sudah ada di depan mata. Kondisi ini terjadi bersamaan dengan angka pengangguran yang tinggi, kebangkrutan massal, kinerja produksi rendah, dan permintaan kredit yang terbatas. Biasanya bank sentral akan merespons kebijakan dengan menambah suplai uang di pasar. Namun, bila pencetakan uang tersebut tidak didukung dengan pertumbuhan ekonomi, maka akan memperparah hiperinflasi. Terjadinya hiperinflasi menunjukkan gagalnya penguasa dalam mengurusi urusan rakyatnya. Karena hiperinflasi mengakibatkan kehidupan rakyat semakin sulit.
Namun, penyebab utama terjadinya hiperinflasi karena sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri, yang menjadi akar masalahnya. Seperti sistem uang kertas yang tidak berbasis emas, lembaga perbankan ribawi, dan maraknya ekonomi spekulatif. Tiga hal inilah yang dijalankan untuk kepentingan pemilik modal. Pada awalnya memberikan keuntungan bagi pemilik modal, namun dalam jangka panjang justru merusak sistem kapitalisme itu sendiri. Bisa dikatakan di tahap awal sistem kapitalisme seperti kuda yang menarik kereta. Artinya bisa mempercepat laju ekonomi dan memberi keuntungan bagi pemilik modal. Tapi, semakin lama semakin cepat kuda berlari sampai tak terkendali sehingga bisa membanting dan menghancurkan kereta yang ditariknya. Itulah yang terjadi pada sistem kapitalisme saat ini. Sistem yang mendekati kehancuran dirinya sendiri. Lalu bagaimana Islam mencegah dan mengatasi hiperinflasi?
Islam Satu-satunya Solusi
Dalam sistem ekonomi Islam mata uang yang digunakan adalah emas dan perak. Adapun sistem mata uang kertas tetap harus ditopang oleh emas sebagai logam mulia. Artinya jumlah uang yang beredar harus seimbang dengan jumlah emas yang ada. Mengapa? Karena emas memiliki nilai intrinsik yang stabil dan berlaku di seluruh dunia. Sehingga, akan sulit mempermainkan nilai mata uang yang dapat mengakibatkan inflasi. Sedangkan uang kertas tidak memiliki nilai intrinsik sama sekali. Sehingga, mudah dipermainkan nilainya oleh spekulan.
Islam juga menerapkan ekonomi nonribawi serta berfokus pada ekonomi sektor riil. Sehingga, jelas perputaran uang dan barang di tengah masyarakat. Karena Allah Swt. telah mengharamkan riba, seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 275 yang artinya, "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalisme yang lebih bertumpu pada sektor nonriil, seperti jual beli saham yang penuh dengan spekulasi. Sehingga, dengan sangat mudah dipermainkan dan menimbulkan mudarat bagi banyak orang.
Islam juga melarang praktik penimbunan dan monopoli perdagangan. Karena jelas akan merugikan rakyat. Penimbunan termasuk dalam kategori kejahatan ekonomi dan sosial. Ulama seperti Ibnu Hajar Al-Haitsami menganggap pelakunya sebagai pelaku dosa besar. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam, "Tidak akan menimbun barang kecuali dia seorang pendosa." (HR. Muslim).
Dalam mencegah hal ini maka khalifah sebagai kepala negara Khilafah akan memerintahkan bawahannya untuk mengatur distribusi barang dan jasa, sehingga tidak ada yang memonopolinya. Dengan begitu rakyat dapat dipenuhi kebutuhan pokoknya. Apabila ada yang mencoba untuk menimbun barang dan memonopoli perdagangan, maka akan dijatuhi sanksi tegas.
Inilah solusi Islam dalam mencegah dan mengatasi hiperinflasi. Solusi yang hakiki yang berasal dari Ilahi Rabbi. Serta hanya bisa diterapkan secara kaffah dalam naungan Khilafah Rasyidah.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]