"Dari sini, kita mengetahui betapa luas cakupan ilmu. Karena itulah dikatakan bahwa yang menguasai ilmu adalah semua manusia. Sebab, masing-masing hanya mampu menguasai satu atau beberapa cabang ilmu. Tidak ada yang mampu menguasai seluruhnya."
Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setelah meniupkan ruh pada jasad Nabi Adam a.s., Allah Swt. pun mengajarkan nama-nama benda kepada bapak umat manusia itu. Itulah ilmu yang pertama kali diberikan oleh Allah Swt. kepada manusia. Seiring dengan semakin berkembangnya peradaban manusia, ilmu pengetahuan pun semakin berkembang. Semakin banyak macam dan ragamnya.
Di antara ilmu pengetahuan itu, ada ilmu yang dibutuhkan untuk mendapatkan dunia. Di samping itu, ada pula ilmu yang dibutuhkan untuk meraih akhirat. Ilmu yang disebut dengan ilmu duniawi dan ukhrawi. Ilmu duniawi mencakup pengetahuan umum seperti ilmu teknik, kedokteran, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu ukhrawi dibedakan menjadi 'uluum al-maqashid dan 'uluum al-wasail. 'Uluum al-maqashid adalah ilmu yang membahas hukum-hukum syariat yang dibutuhkan oleh seorang hamba dalam mengarungi kehidupan. Di dalamnya dibahas akidah, fikih, dan tasawuf.
'Uluum al-wasail adalah ilmu yang dibutuhkan untuk memahami nas-nas Al-Qur'an dan hadis Nabi. 'Uluum al-wasail membahas cabang-cabang ilmu bahasa, ilmu naqliyah (membahas Al-Qur'an dan hadis), serta ilmu aqliyah (ulumul Qur'an, usul, mantik, dan sebagainya).
Baik 'uluum al-maqashid maupun 'uluum al-wasail dibutuhkan dalam meraih rida Allah Swt. Dengan 'uluumul maqashid, seseorang dapat memahami berbagai syariat Allah Swt., sehingga dapat menjalankan ibadah dengan benar. Namun, pemahaman terhadap syariat ini tidak akan diperoleh jika tidak memiliki alat untuk memahami nas-nas syarak. Di sinilah peran 'uluumul wasail dibutuhkan.
Dari sini, kita mengetahui betapa luas cakupan ilmu. Karena itulah dikatakan bahwa yang menguasai ilmu adalah semua manusia. Sebab, masing-masing hanya mampu menguasai satu atau beberapa cabang ilmu. Tidak ada yang mampu menguasai seluruhnya. Bahkan, ulama seperti Imam As Suyuthi pun tidak mampu melakukannya.
Beliau memang seorang polymath. Beliau menguasai ilmu tentang Al-Qur'an dan hadis. Beliau juga telah menulis 600 kitab yang berkaitan dengan ilmu yang dikuasainya. Salah satu di antaranya adalah Tafsir Jalalain.
Meski demikian, beliau tidak mampu menguasai semua ilmu. Dalam salah satu karyanya, Al-Itqan Fii 'Uluum Al-Qur'an. beliau menghimpun 80 cabang 'uluum Al-Qur'an. Menurut beliau, jika seseorang ingin mempelajari seluruh cabang ilmu itu, ia tidak akan mampu menguasai semuanya, meskipun ia menghabiskan seluruh umurnya.
Karena itu, kita tidak boleh merasa sombong dengan ilmu yang kita miliki. Sebab, sejatinya ilmu yang kita miliki sangat sedikit. Sedangkan ilmu itu merupakan pemberian dari Allah Swt. Jika Allah Swt. berkehendak untuk mencabutnya darinya, tentu akan hilanglah ilmu itu.
Sebaliknya, kita harus bersikap tawaduk. Sebab, kita tidak akan pernah mampu menguasai ilmu yang tak terbatas ini. Rasulullah saw. bersabda,
من ظن أن للعلم غاية فقد بخسه حقه ووضعه في غير منزلته التي وصفه الله بها حيث يقول (وما أوتيتم من العلم إلا قليلا)
"Siapa saja yang mengira bahwa ilmu itu memiliki batas, sungguh ia telah mengurangi hak ilmu serta tidak menempatkannya di kedudukan yang disifatkan oleh Allah ketika Dia berfirman, 'Tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sedikit."
Sebagian ulama mengatakan bahwa seandainya kita menuntut ilmu untuk mencapai batasnya, maka kita telah memulai menuntut ilmu dengan menguranginya. Padahal, setiap kali kita menuntut ilmu, yang kita kurangi adalah kebodohan. Sedangkan ilmu kita semakin bertambah.
Sebagian ulama lainnya mengibaratkan orang yang mendalami ilmu seperti orang yang sedang berenang di tengah lautan. Dia tidak akan melihat bumi dan tidak melihat panjang maupun lebar lautan. Sepanjang mata memandang, yang dilihatnya hanya air laut. Seperti itulah orang yang menuntut ilmu. Ia tidak mampu melihat batas-batasnya atau pun ujung ilmu. Semakin ia belajar, semakin ia menyadari bahwa samudra ilmu itu sangat luas. Sedangkan ilmu yang dimilikinya teramat sedikit.
Memang, dalam praktiknya, ada tingkatan belajar dari mubtadi (pemula), mutawasit (menengah), hingga muntahi (tinggi). Namun, hal itu tidak menunjukkan bahwa ilmu itu terbatas. Adanya tingkat belajar itu hanya menunjukkan bagaimana tingkatan seseorang dalam mempelajari suatu ilmu. Sementara ilmu yang dipelajarinya tidak terbatas. Buktinya, setelah ia melewati tingkatan muntahi, ilmu yang dimilikinya akan terus berkembang.
Hal ini pun terjadi pada Imam Syafi'i. Mujtahid mutlak yang menjadi pendiri Mazhab Syafi'i ini dikenal keilmuannya. Pada usia 9 tahun beliau telah hafal Al-Quran 30 juz. Saat berusia 13 tahun, beliau mulai berguru kepada Imam Malik. Karena keilmuannya, beliau telah mendapatkan ijazah sebagai seorang mufti pada usia 14 tahun.
Meskipun demikian, bukan berarti beliau menguasai ilmu secara sempurna. Hal ini tampak pada pendapat-pendapat beliau yang dikenal dengan istilah qaul qadim dan qaul jadid. Qaul Qadim adalah pendapat Imam Syafi’i saat berada di Irak.
Sedangkan qaul jadid adalah pendapat beliau saat berada di Mesir. Qaul jadid ini muncul setelah beliau mendapatkan banyak tambahan ilmu saat berada di Mesir.
Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan manusia terhadap ilmu itu tidak sempurna. Karena itu, Imam Al-Mawardi dalam kitab Adabu Ad-Diin Wa Ad-Dunya menyatakan bahwa setiap ilmu itu mulia dan memiliki keutamaan masing-masing. Menguasai seluruhnya merupakan hal yang mustahil.
Maka, Abu Ja'far Harun Ar-Rasyid bin Muhammad Al-Mahdy juga mengungkapkan hal ini dalam syairnya,
Wahai jiwa, terjunlah ke dalam lautan ilmu, dan selamilah
Maka, manusia itu ada yang awam dan ada yang khusus
Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang kita kuasai
Kecuali penguasaan yang kurang dan dengan kekurangan
Karena itu, Imam Al-Mawardi berpesan, jika kita tidak mampu menguasai seluruh ilmu, wajib bagi kita untuk mengarahkan perhatian kita kepada pengetahuan yang lebih utama, yakni ilmu-ilmu agama. Sebab, dengan ilmu agama, manusia akan mendapatkan petunjuk. Dengannya, manusia dapat memahami berbagai ilmu terkait pelaksanaan ibadah yang
mendatangkan pahala baginya. Rasulullah saw. bersabda,
فضل العلم خير من فضل العبادة
"Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah."
Karena itu, ilmu agama wajib dimiliki oleh setiap mukalaf. Sebab, dengan ilmu itulah ia akan menjalankan berbagai kewajiban yang dibebankan kepadanya sebagai seorang hamba. Dengan ilmu itu pula, ia akan meraih rida Rabb-nya.
Wallaahu a'lam bishshawaab.[]