"Di satu sisi memperoleh penghargaan swasembada beras, namun di sisi lain bejibun problematika rakyat belum juga tuntas. Kita bisa merasakan harga kebutuhan pokok seperti, minyak goreng, gula, tepung, gas, BBM, listrik, pendidikan kesehatan, dan sebagainya makin dirasa mahal bahkan terkadang sulit didapatkan. Penghargaan tersebut sejatinya tidak layak diberikan hanya diukur dari tiga tahun negeri ini tidak mengimpor beras."
Oleh. Dewi Fitratul Hasanah
(Pegiat Literasi, Pemerhati Sosial, dan Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Indonesia dikabarkan menerima penghargaan ketahanan pangan swasembada beras dari lembaga dunia International Rice Research Institute (IRRI). Penghargaan tersebut diberikan lantaran Indonesia tidak impor beras selama 3 tahun berturut-turut, yakni periode 2019-2022. (Liputan6.com, 14/ 8/ 2022)
"Saya mengucapkan selamat, bagi, Indonesia, atas keberhasilannya yang luar biasa besar dalam mencapai swasembada beras, dan meningkatkan level ketahanan pangan," Ucap Direktur IRRI kepada Jokowi.
Presiden dan sejumlah menteri pun tampak bangga menyambut penghargaan tersebut. Dalam pidato HUT ke-77 RI di Jakarta, Selasa (16/8/2022), Jokowi pun memamerkan capaiannya dalam membangun infrastruktur penunjang pertanian selama tujuh tahun terakhir. "Kita telah membangun banyak bendungan, embung, jaringan irigasi. Seingat saya sampai hari ini sudah diresmikan 29 bendungan besar dan tahun ini akan selesai lagi total 38 bendungan dan sampai 2024 akan kita selesaikan 61 bendungan plus 4.500 embung dan 1,1 juta jaringan irigasi," Jelas Jokowi.
Lantas bagaimanakah sebenarnya kita menanggapinya? Turut bahagia dan puaskah kita atas penghargaan swasembada beras tersebut. Rupanya kita tak sebahagia presiden beserta jajarannya. Rasa aneh berkelindan dalam perasaan, keheranan pun berotasi dalam pikiran.
Pertanyaan demi pertanyaan menyeruak. Apakah arti sebuah penghargaan dengan jumawa dipertontonkan, jika mayoritas kehidupan rakyat dari tahun ke tahun masih diselimuti dengan berbagai kesulitan yang tak berkesudahan?. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), mengatakan bahwa saat kondisi petani Indonesia masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Saat memasuki musim panen yakni awal tahun 2022 ini saja petani justru banyak yang mengeluhkan pupuk bersubsidi.
Jumlah pupuk bersubsidi yang tersedia di Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) sangat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan para petani. Belum lagi, syarat untuk mendapatkan pupuk yang sangat menyulitkan para petani. Walhasil, petani tak mendapat jatah dan terpaksa terseok-seok membeli pupuk nonsubsidi dengan harga yang sangat mahal.
Besar pasak dari pada tiang, istilah yang tepat jika disematkan kepada para petani di negeri ini. Bagaimana tidak, modal yang dikeluarkan untuk pertanian tidak sebanding dengan perolehan yang didapat ketika panen. Inilah yang menimpa petani. Mereka seringkali tekor dan gigit jari bahkan mereka terkadang masih terbelit utang ketika meminjam uang untuk modal menanam. Betapa kehidupan para petani di negeri ini sangat jauh dari kesejahteraan.
Di satu sisi memperoleh penghargaan swasembada beras, namun di sisi lain bejibun problematika rakyat belum juga tuntas. Kita bisa merasakan harga kebutuhan pokok seperti, minyak goreng, gula, tepung, gas, BBM, listrik, pendidikan kesehatan, dan sebagainya makin dirasa mahal bahkan terkadang sulit didapatkan. Penghargaan tersebut sejatinya tidak layak diberikan hanya diukur dari tiga tahun negeri ini tidak mengimpor beras.Terlebih itu hanya beras yang diperuntukkan untuk konsumsi. Sementara fakta di lapangan, impor beras swasta dan industri, tetap dilakukan.
Sebagaimana dikutip dari data Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa Indonesia telah mengimpor 407.741 ton beras pada 2021. Dimana nilai tersebut naik dari sebelumnya yakni 356.286 ton pada 2020. Bahkan Dalam laporan terbaru yang dirilis USDA pada 29 Juni 2022, India jadi eksportir beras terbesar ke Indonesia di tahun 2021 dengan porsi beras mencapai 53%. Padahal di tahun 2020 hanya 3%.
Sudah menjadi rahasia umum, dalam sistem demokrasi-kapitalisme, pencitraan masif dipertontonkan demi menutupi kesalahan kinerja para penguasa/pemangku kebijakan. Apalagi menjelang tahun pemilu, secuil kesempatan untuk bisa mencuri simpati rakyat takkan mungkin rela dilewatkan. Tidak demikian dengan Islam ketika diterapkan dalam institusi negara. Islam memosisikan kebutuhan pangan sebagai hal primer yang mutlak diutamakan. Oleh karenanya, pertanian sangat diperhatikan. Terdapat empat pilar ketahanan pangan yang tegak dalam negara bersistem Islam ;
- Ketersediaan. Negara menjamin ketersediaan semua komoditas bahan pangan yang dibutuhkan rakyat.
- Stabilitas. Bahan pangan yang dibutuhkan rakyat tetap dalam kondisi stabil, tidak sampai kehabisan baik di musim hujan atau kemarau.
3.Akses. Rakyat tidak kesulitan menjangkau bahan pangan karena bahan pangan akan menyediakan fasilitas tranportasi/alat angkut serta yang mendistribusikan secara merata pada tiap daerah.
4.Gizi, kualitas, dan keamanan pun akan sangat diperhatikan.
Berlandaskan ketakwaan, Islam memaknai swasembada pangan sebagai kewajiban, bukan pencitraan. Mengelola sumber daya alam dan memberdayakan sumber daya manusia untuk memproduksi berbagai kebutuhan pangan secara maksimal dan berdaulat. Rasulullah telah mengajarkan tata cara pengelolaan lahan dengan jelas, lengkap lagi rinci. Tata cara menghidupkan tanah mati, tata cara pembagian hasil bercocok tanam antara pemilik lahan dan pengelola lahan, dan sebagainya.
Selama 14 abad, Islam pernah diterapkan sebagai sistem bernegara dan terbukti berjaya dalam segala bidang tak terkecuali swasembada pangan. Selama itu, Islam berhasil membawa kemajuan dalam kondisi sosial, material, ekspansi, ketahanan, dan pencapaiannya. Bahkan, seorang sejarawan peradaban berkata: “Saya belum pernah mendengar bahwa muslim, di mana pun mereka menetap, mengimpor makanan dari luar negara-negara dunia Islam. Umat muslim juga menulis tentang properti tanah dan cara menghasilkan kompos, memperkenalkan perbaikan substansial dalam metode pembajakan, pertanian, dan irigasi.” (Ahmad Amin, 1966).
Demikianlah kesuksesan sebenarnya. Kesuksesan yang tentu didapat bukan dari satu komoditas pangan saja. Namun, kesejahteraan dan kemakmuran dalam segala aspek dan dirasakan seluruh umat. Kesuksesan dalam pemenuhan dan pengayoman segala hajat rakyat. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya)" (HR. Bukhari dan Muslim) []
Maka jelas, saat ini kita belumlah berbangga atas perolehan penghargaan, sebab realitanya rakyat masih banyak yang hidup miskin dan sengsara. Sungguh yang kita perlukan adalah penerapan Islam dalam Institusi negara. Niscaya swasembada ketahanan pangan benar-benar terwujud nyata. Waallahua'lambishshawab.[]