”Seperti pernyataan dari Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas), dikatakannya bahwa saat ini kondisi petani Indonesia sangat miris, sebab masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Kondisi itu diperparah lagi dengan berkurangnya luas lahan persawahan.”
Oleh. Rahmiani. Tiflen, Skep
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Indonesia boleh berbangga, sebab baru-baru lalu menerima penghargaan dari sebuah organisasi dunia. Katanya negeri ini telah berhasil mencapai swasembada pangan. Namun jika menilik faktanya, BPS merilis data bahwa Indonesia masih melakukan impor beras secara besar-besaran. Sementara itu, para petani kian terpuruk dalam garis kemiskinan, sedangkan lahan garapan mereka pun makin berkurang. Lalu, apa artinya swasembada jika petani sendiri tidak sejahtera?
Penghargaan IRRI
Melansir dari Liputan6.com, 14/08/22, bahwa organisasi dunia yakni International Rice Research Institute (IRRI), telah memberikan penghargaan kepada Presiden RI Joko Widodo. Penghargaan tersebut diberikan atas keberhasilan Indonesia dalam mencapai ketahanan pangan, khususnya swasembada beras, serta mengurangi jumlah impor jagung dan tidak lagi mengimpor beras selama 3 tahun.
Menurut Jokowi, hal tersebut tak lepas dari peran pemerintah dalam pembangunan infrastruktur pertanian yang hingga kini terus digencarkan. Tercatat pula saat ini lebih dari 29 bendungan besar yang telah diresmikan, jumlahnya akan terus bertambah menjadi 38 bendungan. Yang mana sampai 2024, diharapkan akan selesai 61 bendungan. Kemudian ada juga sekitar 4.500 embung serta lebih dari 1,1 juta irigasi yang sudah dibangun sejak 2015.
Impor Jalan Terus, Petani pun Terpuruk
Namun di tengah euforia itu, ada sebuah fakta yang cukup mencengangkan. Sebagaimana rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) yang di-update pada 14/8/2022, tercatat Indonesia masih mengimpor beras dari sejumlah negara. Tahun 2021, jumlahnya bahkan mencapai 407.741,4 ton naik dari tahun 2020 yang hanya 356.286,2 ton.
Adapun perincian impor tahun 2021 adalah: 215.386,5 ton dari India; 69.360 dari Thailand; 65.692,9 ton dari Vietnam; 52.479 ton dari Pakistan; 3.790 dari Myanmar; 230,3 ton dari Jepang; 42,6 ton dari China; dan dari negara lainnya sejumlah 760,1 ton.
Kemudian, untuk tahun 2019 jumlah impor beras Indonesia adalah 444.508,8 ton. Pakistan merupakan pengimpor beras terbesar waktu itu dengan jumlah 182.564 ton. Kemudian pada tahun yang sama, Indonesia juga mengimpor 166.700,6 ton beras dari Myanmar dan 53.278 ton beras dari Thailand (CNBC, 15/08/22).
Semestinya impor tidak selalu menjadi kebijakan alternatif untuk menambah jumlah pasokan barang, sebab hal tersebut dapat membebani APBN negara. Terlebih ketika negara terus memasukkan bahan pangan dari luar negeri, yang mana hal itu pun dikhawatirkan dapat menyebabkan matinya ekonomi petani lokal. Selain itu kecenderungan tersebut pun dapat menyebabkan negara hilang kendali dalam mengamankan pangan dalam negeri sebab harus bergantung pada negara lain. Tentu hal ini sangat berbahaya karena dapat membuka peluang intervensi negara luar terhadap kedaulatan negara.
Catatan mencengangkan di atas, ternyata masih menyisakan berbagai persoalan. Seperti pernyataan dari Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas), dikatakannya bahwa saat ini kondisi petani Indonesia sangat miris, sebab masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Kondisi itu diperparah lagi dengan berkurangnya luas lahan persawahan.
Sementara pada awal tahun 2022, di mana saat itu tengah memasuki musim panen, namun para petani mulai mengeluhkan adanya kelangkaan pupuk bersubsidi. Sedangkan di sisi lain, mereka pun tak sanggup membeli pupuk nonsubsidi karena harganya cenderung mahal. Disinyalir penyaluran pupuk subsidi yang akan diberikan kepada kelompok tani, tidak berjalan terbuka sehingga penyalurannya pun tidak merata.
Kendati penyaluran pupuk subsidi tersedia melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), akan tetapi stoknya tetap saja terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan para petani. Ditambah lagi banyaknya persyaratan yang ditetapkan agar bisa mendapat pupuk subsidi, makin membuat mereka kehilangan kesempatan untuk mendapat jatah. Sedang untuk beli yang nonsubsidi harganya sangat mahal.
Selain itu, petani pun membutuhkan obat-obatan yang akan digunakan dalam mengelola lahan pertaniannya. Namun lagi-lagi, harga obat-obatan semprot pun ikut mahal, misalnya obat semprot pembasmi hama dan rumput. Konon kisaran harga obat semprot di pasaran adalah antara 80 ribu hingga 90 ribu rupiah per liter.https://narasipost.com/2021/09/07/petani-merintih-di-tengah-pandemi/
Maka sudah barang tentu, para petani akan mengalami keterpurukan, sebab tak sanggup menahan arus gempuran dalam sistem kapitalisme saat ini. Terlebih pemerintah yang seharusnya menjadi ra’in, justru berlepas tangan dari tanggung jawabnya dalam mengurusi urusan rakyat, dan hanya bertindak sebagai regulator saja.
Cara Khilafah dalam Menciptakan Swasembada Pangan
Sesungguhnya suatu negara dikatakan mandiri, jika ditunjang oleh ketahanan pangan yang baik, serta aturan Islam yang menjadi landasannya. Dalam sistem Islam, kebijakan impor bukanlah solusi dalam memenuhi kebutuhan pangan, sebab dalam Islam pangan dipandang sebagai kebutuhan pokok publik. Artinya negara wajib menyediakannya dengan harga terjangkau serta tidak merugikan para petani.
Untuk itu dalam merealisasi hal tersebut, Khilafah Islamiah akan menetapkan sejumlah mekanisme dalam mewujudkan kemandirian pangan tanpa bergantung pada negara lain, yaitu dengan cara;
Pertama, melakukan optimalisasi terhadap kualitas produksi pangan, hal ini dapat dilakukan dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Adapun ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan kembali tanah mati atau yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama 3 tahun.
Dalam Islam yang dimaksud tanah mati adalah, tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu dikelola. Dengan kata lain, jika tanah tersebut dapat dihidupkan oleh siapa saja, baik dengan cara memagari agar dapat mengelola atau menanaminya, maka tanah tersebut secara otomatis akan menjadi milik orang yang menghidupkan tanah tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ”Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.”_ (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)
Sementara jika terdapat tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama 3 tahun, dengan sendirinya hak kepemilikan atas tanah itu akan hilang. Negara akan mengambil alih tanah tersebut, dan mendistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya. Dengan demikian tidak ada istilah lahan kosong yang dibiarkan tanpa ada pemanfaatan bagi kemaslahatan rakyat.
Kemudian intensifikasi dilakukan dengan peningkatan kualitas benih, pemanfaatan teknologi, hingga membekali SDM petani dengan pengetahuan yang mumpuni. Semua aspek tersebut akan mendapat dukungan dan fasilitas dari negara.
Kedua, Dengan melakukan mekanisme pasar yang sehat, di mana negara melarang penimbunan, penipuan, praktik riba, dan monopoli pasar. Adapun kebijakan terkait harga, dilakukan melalui mekanisme pasar yaitu dengan pengendalian supply and demand, bukan dengan kebijakan pematokan harga.
Ketiga, manajemen logistik, yaitu negara akan memasok cadangan lebih di saat panen raya. Artinya, negara akan mendistribusikan secara selektif bila ketersediaan pangan berkurang.
Keempat, yaitu terkait pengaturan kebijakan ekspor impor antarnegara. Di mana ekspor boleh digunakan apabila kebutuhan pokok seluruh rakyat telah terpenuhi. Adapun impor berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri, karena itu selain berdasarkan kebutuhan maka aspek yang perlu dilihat adalah pelaku perdagangan bukan sekadar barang yang diperdagangkan. Jika pelaku perdagangan adalah negara atau warga negara kafir muharib (yang memerangi) maka tidak diperbolehkan melakukan aktivitas perdagangan dengannya.
Kelima, prediksi cuaca, yaitu dengan melakukan kajian mendalam terkait perubahan iklim dan cuaca. Hal ini didukung oleh teknologi mutakhir, misal antisipasi perubahan cuaca ekstrem dalam mempengaruhi produksi pangan.
Keenam, mitigasi kerawanan pangan, yaitu negara menetapkan kebijakan antisipasi jika bencana kekeringan atau bencana alam lainnya. Demikianlah beberapa langkah strategis Khilafah Islamiah dalam mengantisipasi kerawanan pangan. Tak hanya berbangga atas capaian semu ala kapitalisme, akan tetapi lebih memprioritaskan kesejahteraan para petani dan juga rakyat.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).[]