Pendar Cinta Aleyah

"Sekitar jam 8 malam, keluarga Salim tiba di rumahku. Aba dan uma menyambut kedatangan mereka. Sementara aku masih di kamar menunggu dipanggil. Sekitar sepuluh menit berlalu, aku pun dipanggil uma untuk ke depan menemui tamu. Kulihat ada Salimah beserta ayah ibunya dan laki-laki yang akan melamarku, Salim."

Oleh. Naina Yanyan
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kuayunkan langkah menuju taman kompleks di sore hari yang cerah itu. Entah mengapa hati ini berdegup tidak menentu ketika Salimah menelepon mengajakku bertemu. Tidak biasanya ia seperti itu. Kupercepat langkah untuk sampai ke tempat tujuan. Aku tidak mau orang lain menunggu.

Aku tiba lebih awal. Pandangan ini mengitari taman, tetapi Salimah belum tampak juga. Kurang lebih sepuluh menit kemudian, tampak sosok yang ditunggu dari kejauhan berjalan mendekat. Senyumnya semringah, lalu duduk di sebelahku.

"Assalamualaikum," ucap Salimah sembari salaman dan cipika-cipiki.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawabku.

"Al, aku bahagia hari ini," ucap Salimah kegirangan.

"Alhamdulillah. Mau dong dibagi rasa bahagianya," sambutku.

"Aleyah Nur Azizah, selamat menjadi bagian dari keluargaku," ucap Salimah setengah berteriak.

Aku bingung dengan maksud ucapan Salimah. Akhirnya ia menjelaskan bahwa kakaknya yang bernama Salim akan melamarku besok. Tentu saja aku kaget mendengar kabar yang tidak kuduga sebelumnya. Aku dan Salim baru satu kali bertemu ketika acara pernikahan sepupunya. Setelah itu tidak pernah bertemu lagi karena dia kembali ke Kairo untuk melanjutkan kuliahnya.

Salim yang kuindra adalah sosok pemuda yang saleh, selalu menundukkan pandangan pada yang bukan mahram, dan yang menarik darinya adalah wajahnya bersih dan perawakannya tegap yang bisa membuat para wanita kelepek-kelepek. Sebagai wanita normal, tentu aku pernah mengaguminya. Namun, itu hanya selintas saja. Aku sadar bahwa itu tidak halal bagiku. Setelah itu, aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Ternyata hari ini aku mendengar langsung dari adiknya sendiri bahwa dia akan melamarku. Bagaimana aku tidak kaget? Perasaan ini jadi campur aduk, antara senang dan terharu.

"Al, kok diam aja, sih?" Salimah mengagetkanku.

"Aku …." ucapku bingung.

"Aku bahagia, dong." Salimah menggoda hingga membuatku tersipu.

"Sal, aku boleh nanya?" izinku.

"Tentu, boleh banget. Pertanyaan tentang Kak Salim, 'kan?" tanya Salimah kembali.

"Bagaimana dia memutuskan melamarku, sedangkan dia baru bertemu sekali denganku?" tanyaku penasaran.

"Kan adiknya hampir tiap hari bertemu dengan calon istrinya, juga orang tuanya sesekali bertemu," jelas Salimah.

"Wah, semua tentangku terbongkar sudah, termasuk cacatku," ucapku berusaha menggali informasi lebih.

"Kamu wanita yang hampir sempurna, Al. Aku sebagai wanita pun kagum padamu, apalagi laki-laki. Makanya, Kak Salim memilihmu," terang Salimah.

"Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Allah telah menutupi cacatku. Aku banyak kekurangannya, Sal," jujur

"Iya, Aleyah. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Itu sudah sunatullah," ucap Salimah membenarkan.

"Aku bahagia kamu jadi kakak iparku, Al. Eh, nanti aku manggilnya bukan Aleyah lagi, tapi jadi kakak atau mbak. Hehehe." Salimah menggodaku lagi, refleks kucubit tangannya. Dia menjerit lalu hendak membalas cubitanku, tetapi aku keburu kabur.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Pikiran jadi tidak fokus. Orang tuaku harus tahu soal ini, mereka pasti kaget juga sepertiku ketika pertama kali diberitahu Salimah. Entah uma dan aba bahagia mendengarnya ataukah tidak. Pertanyaan itu melintas di pikiranku saat ini. Aku pun memutuskan untuk memberitahu mereka ketika makan malam tiba.

"Uma, Aba, Aleyah mau menyampaikan sesuatu," ucapku mengawali percakapan.

"Silakan, Sayang," kata uma. Kulirik aba, ia menganggukkan kepala tanda setuju.

"Besok akan ada yang datang ke sini untuk melamar Aleyah." Aku menjeda, mengapa lidah ini kelu untuk melanjutkannya.

"Masyaallah. Alhamdulillah … anak Uma dan Aba akan segera menikah. Tidak terasa gadis kecil kami sudah beranjak dewasa. Siapakah laki-laki beruntung itu, Nak?" tanya Uma.

"Namanya Salim, kakaknya Salimah, Uma, Aba," jawabku.

"Masyaallah. Yang kuliah di Mesir itu?" tanya uma kembali. Aba seperti biasa tidak banyak berbicara.

"Iya, Uma, Aba," jawabku membenarkan.

Kulihat raut wajah uma dan aba bahagia mendengar kabar tersebut. Mereka segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut tamu istimewa esok hari. Terima kasih uma dan aba yang selalu ada untukku. Sejujurnya, hati ini deg-degan menghadapi hari esok. Malam ini aku tidak bisa segera tidur seperti hari biasanya. Apakah orang lain seperti ini juga jika mau ada yang melamar? Ada rasa yang berbeda, tetapi entah apakah itu.

Keesokan harinya, uma dan aba terlihat sibuk bersiap-siap untuk menyambut keluarga Salim. Aku bingung mau mengerjakan apa. Uma menghampiriku seperti tahu apa yang menjadi kebingungan anaknya ini. Uma menyarankanku pergi ke salon untuk perawatan dan luluran.

"Kok kayak mau nikahan aja, Uma?" tanyaku keheranan.

"Kamu 'kan calon pengantin. Meskipun baru mau dilamar, tidak ada salahnya perawatan dulu, supaya Salim mempercepat menikahimu, Nak," goda uma.

Aku jadi tersipu mendengarkan saran uma. Namun, benar juga apa yang dikatakan uma. Akhirnya aku pun pamit pergi ke salon khusus muslimah yang berada di seberang gerbang kompleks. Sekitar satu jam aku perawatan di salon. Setelah itu aku langsung pulang. Terbesit ingin segera malam hari, tetapi deg-degan juga. Mengapa aku jadi salah tingkah begini?

Tiba di rumah, aku langsung mencari uma. Ternyata uma sedang memasak di dapur. Uma memasak sayur asem komplet dengan ayam goreng, tahu dan tempe goreng, serta tidak lupa sambal terasi, sungguh membuatku jadi lapar. Aku menawarkan bantuan kepada uma, akan tetapi uma bilang tidak perlu. Malah menyuruhku istirahat, supaya nanti malam segar katanya. Aku pun beranjak ke kamar. Namun, aku justru tidak bisa tidur walau mata ini disuruh terpejam. Entah jam berapa akhirnya aku tertidur juga, dan terbangun saat azan asar berkumandang. Aku bergegas mandi sekalian berwudu dan menunaikan salat asar. Setelah semua itu selesai, aku kemudian menuju dapur menemui uma.

"Belum selesai, Uma? Aleyah bantuin, ya. Jadi enggak enak membiarkan Uma mengerjakan semuanya sendiri."

"Alhamdulillah … acara masaknya sudah beres, tinggal acara tata menata. Sekarang boleh bantu nih calon pengantinnya."

"Iih, Uma." Uma terus saja menggodaku.

Tidak terasa azan magrib pun tiba. Aba salat berjemaah di masjid, sedangkan uma dan aku salat berjemaah di rumah. Setelah salat, kami pun menyelesaikan sesi tata menata yang sedikit lagi beres. Akhirnya semua selesai bertepatan dengan kumandang azan isya. Kami pun salat isya berjemaah. Sedangkan aba masih di masjid sejak salat magrib tadi. Selesai salat isya, uma menyuruhku bersiap-siap untuk menyambut tamu istimewa. Serasa dalam alam mimpi, kami masih tidak percaya akan semua ini.

Sekitar jam 8 malam, keluarga Salim tiba di rumahku. Aba dan uma menyambut kedatangan mereka. Sementara aku masih di kamar menunggu dipanggil. Sekitar sepuluh menit berlalu, aku pun dipanggil uma untuk ke depan menemui tamu. Kulihat ada Salimah beserta ayah ibunya dan laki-laki yang akan melamarku, Salim. Tak sengaja mata kami berserobok, Salim langsung menundukkan pandangannya, demikian denganku.

"Ini anak kami, Aleyah," ujar aba kepada Salim dan orang tuanya.

"Apakah benar yang akan kamu lamar adalah Aleyah ini?" Aba menegaskan kembali kepada Salim.

"Benar, Aba," jawab Salim mantap setelah melirik kepadaku.

"Alhamdulillah." Semua serempak berucap.

"Jika sudah cocok satu sama lain tinggal kita tentukan kapan akad nikahnya. Lebih cepat lebih baik. Bagaimana kalau sebulan lagi, Nak Salim siap?" jelas Aba.

"Siap, Aba." Salim spontan menjawab pertanyaan aba. Semua tersenyum mendengarnya mengucap tanda setuju. Termasuk aku yang saat ini sangat bahagia, meski dengan senyum tersipu.

Hari bahagia pun tiba. Keluargaku berkumpul di rumah sepekan sebelum acara. Ada kakek, nenek, uwak, paman, bibi, sepupu, keponakan, semua berkumpul untuk menyaksikan hari pernikahanku. Mereka ikut bahagia ketika diberitahu jika aku akan menikah.

Semalaman aku tidak nyenyak tidur, selalu terbangun entah mengapa. Apakah ini terjadi juga kepada calon pengantin lainnya? Entahlah, aku belum menemukan jawabannya.

Setelah salat subuh, aku didandani oleh perias pengantin yang telah kami booking. Dandananku pun selesai jam 7 pagi. Acara akad nikahnya akan dilangsungkan pada pukul 8 pagi. Satu jam lagi aku akan sah menjadi istri dari seorang laki-laki bernama Salim.

Waktu akad nikah pun tiba, akan tetapi calon pengantin pria dan keluarganya belum tiba di tempat. Mengapa perasaan tidak enak itu datang lagi?

Satu jam kemudian ada berita jika mobil yang membawa calon pengantin mengalami kecelakaan. Mereka semua dibawa ke rumah sakit terdekat. Salimah beserta ayah dan ibunya selamat, sedangkan Salim tidak bisa diselamatkan. Mendengar semua itu, tubuhku lemas dan netraku terlihat gelap.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Naina Yanyan Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Terorisme Lagi? Islam Punya Solusi!
Next
Tuduhan Keji yang Memojokkan Umat Islam
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram