”Selama negara ini masih membebek dan menerapkan sistem kapitalisme, selama itu pula sektor pendidikan diperlakukan layaknya sektor bisnis. Siapa pun yang ingin menikmati, maka harus mampu membiayai.”
Oleh. Ummu Azka
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kebangkitan sebuah bangsa sangat erat kaitannya dengan kondisi generasi muda yang terdidik secara mental dan intelektual. Namun, faktanya jauh panggang dari api saat banyak di antara mereka menjadi pesimis melihat biaya tingginya pendidikan.
Inilah isu yang tengah ramai di media sosial. Seorang netizen yang merupakan calon mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri mengeluhkan tingginya biaya pangkal untuk mahasiswa yang masuk dari jalur mandiri. Ironi semakin bertambah saat ada syarat tambahan yakni setiap calon mahasiswa jalur mandiri wajib melampirkan nominal rekening orang tuanya dengan jumlah minimal Rp100 juta.
Cuitan pun ramai berantai antarnetizen. Mereka mengeluarkan keluhan yang hampir sama terkait tingginya biaya kuliah meskipun di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Padahal sebelumnya, PTN adalah lembaga yang menjadi harapan masyarakat untuk menikmati kuliah dengan biaya yang relatif terjangkau.
Pengamat pendidikan Ina Liem mengungkapkan tingginya biaya pangkal dan biaya UKT PTN disebabkan sejumlah PTN tengah didorong menjadi badan hukum, agar bisa menerima dana dari masyarakat. Menurutnya, hal ini dilakukan seperti subsidi silang sesuai prinsip ”Yang mampu memberi subsidi pada yang kurang mampu”. Dengan demikian, PTN tidak sepenuhnya menggantungkan dana dari pemerintah.
Sampai di sini jelas sudah pengelolaan pendidikan di negeri ini kental dengan aroma kapitalisasi. Pemerintah mulai lepas tangan terhadap sektor strategis yang semestinya menjadi hak bagi semua warga negara.
Padahal sejatinya, Indonesia memiliki bonus demografi yang jika dikelola dengan baik dari sisi pendidikan, maka negeri ini punya banyak stok pemuda yang akan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Sementara terkait pembiayaan, secara potensi kekayaan alam yang dimiliki negeri ini selayaknya bisa menjadi modal bagi keberlangsungan hidup masyarakat termasuk di dalamnya pembiayaan sektor pendidikan.
Namun, hal tersebut sulit diwujudkan ketika kini kapitalisme liberal menjadi asas dalam mengatur sektor pendidikan. Semua dipandang layaknya bisnis yang harus menghasilkan keuntungan. Pemerintah dalam pandangan sistem kapitalis tak boleh banyak turut campur baik dari segi pembiayaan maupun kebijakan otoritatif pendidikan. Hasilnya? Biaya pendidikan murni dibebankan kepada rakyat dengan nominal yang memberatkan.
Jika disandingkan dengan kondisi ekonomi yang sedang mengimpit masyarakat saat ini, maka wajar jika banyak generasi muda dan orang tua yang membatasi pendidikan anaknya karena tidak mampu membayar. Jangankan untuk membayar biaya kuliah yang selangit, untuk makan saja mereka sulit.
Lantas, sampai kapan pendidikan negeri ini terus dikapitalisasi? Selama negara ini masih membebek dan menerapkan sistem kapitalisme, selama itu pula sektor pendidikan diperlakukan layaknya sektor bisnis. Siapa pun yang ingin menikmati, maka harus mampu membiayai. Berbeda halnya dengan sistem Islam, yang memandang pendidikan merupakan sektor publik yang menjadi tanggung jawab negara kepada rakyatnya.
Bukti empiris keberhasilan sistem Islam dalam menerapkan pendidikan yang layak bagi seluruh warga negaranya terbukti pada masa Kekhilafahan Daulah Abbasyiyah. Pada masa itu pendidikan berkembang pesat, banyak perguruan tinggi didirikan Khilafah untuk dinikmati oleh rakyat dengan gratis. Bahkan, seluruh rakyat didorong mencari ilmu sebagai salah satu bentuk pelaksanaan syariat. Rasulullah saw. bersabda yang artinya : "Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim." (HR. Ibnu Majah)
Khilafah bahkan memberi penghargaan luar biasa bagi para ulama dan intelektual. Hasil karya mereka ditimbang dan beratnya ditukar setara emas murni 24 karat. Dukungan Khilafah dalam sektor pendidikan bahkan sudah terasa sejak masa Khalifah Umar bin Khathtab. Pada masa itu guru mendapatkan apresiasi tinggi dengan mendapatkan gaji sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikonversikan dengan harga emas saat ini berarti gaji guru kurang lebih sekitar 60 juta rupiah per bulan.
Demikianlah Islam mengatur sektor pendidikan sebagai hak bagi seluruh warga negara. Karenanya, tak ada pilihan lain bagi umat Islam selain berupaya memperjuangkan Islam sebagai satu-satunya syariat yang layak mengatur kehidupan. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]