Pupusnya Harapan Generasi Akibat Biaya Pendidikan yang Tinggi

"Dari sinilah masalah bermula, karena PTN berbadan hukum akhirnya terdorong untuk mencari tambahan dana dari pihak swasta guna membangun infrastruktur kampus dan menjalankan berbagai aktivitasnya. PTN BH pun harus mau dimasuki para korporasi. Terjalinlah kerja sama bisnis seperti mendirikan SPBU, mal, restoran, jasa penyewaan gedung, dan lain sebagainya. Untuk itu, menaikkan biaya pendidikan tinggi pun dilakukan untuk menambah pendapatan."

Oleh. Irma Faryanti
(Kontributor NarasiPost.Com & Member Akademi Menulis Kreatif)

NarasiPost.Com-Dede Yusuf Macan Effendi selaku Wakil Ketua Komisi X DPR RI, menyatakan pandangannya dalam menyikapi tingginya biaya kuliah di tanah air. Adapun penyebab para orang tua tidak memasukan anaknya ke perguruan tinggi adalah karena kendala pembiayaan. Bahkan program pemerintah berupa beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang semula ditujukan untuk membantu uang semester, tidak dapat menutupi mahalnya biaya-biaya lainnya seperti uang bangku, uang duduk, uang bangunan dan lain-lain, yang jumlahnya bisa mencapai belasan juta. (KedaiPena.Com Senin 30 Juli 2022)

Ia menduga inilah penyebab biaya kuliah semakin mahal dan para orang tua merasa berat memasukan anaknya ke bangku kuliah. Untuk itu, diperlukan adanya peraturan khusus tentang biaya tambahan lainnya di kampus. Dalam hal ini, intervensi negara sangat diperlukan untuk memperoleh bonus demografi dan menembus industri 4.0. Peran pemerintah dalam hal pembiayaan diharapkan bisa mendorong angkatan kerja lulusan diploma atau sarjana sebesar 20% di tahun 2030. Oleh karena itu, Dede berharap agar Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti) mampu mengubah mindset bahwa pendidikan itu walau tidak gratis, tapi tidak mahal dan memberatkan.

Fakta mengenai mahalnya biaya kuliah memang bukan sekadar isapan jempol. Sebelumnya sekelompok mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) yang menamakan dirinya Amarah Brawijaya menggelar aksi protes dan menuntut adanya keringanan dan pembebasan biaya kuliah. Bahkan di medsos pun ramai diperbincangkan tentang mahalnya pembiayaan tersebut. Salah satu akun di Twitter mengunggah foto persyaratan Jaminan Kemampuan Keuangan (JKK) bagi calon mahasiswa yang hendak bersekolah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Di mana pada ketentuan tersebut, orang tua atau wali harus mencantumkan rekeningnya dengan jumlah nominal sebesar 100 juta rupiah.

Namun, di balik berbagai kontra, selalu ada sikap pro kebijakan. Ina Liem selaku Konsultan Pendidikan memandang bahwa tingginya biaya masuk jalur seleksi dikarenakan beberapa universitas negeri dituntut untuk berbadan hukum agar dapat menerima dana dari masyarakat dan mampu mengembangkan bidang-bidang strategis.

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Indonesia di tahun 2000, beberapa di antaranya telah berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) seperti UI, UGM, IPB, dan ITB. Di mana lembaga pendidikan tersebut memiliki otonomi penuh dalam mengelola anggaran rumah tangganya. BHMN sempat berganti menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah, karena mendapat protes berubah menjadi PT yang diselenggarakan oleh pemerintah. Status ini pun pada akhirnya diubah kembali menjadi PT negeri berbadan hukum, yang ujung-ujungnya menuai kritik akibat adanya pengurangan subsidi dari pemerintah.

Dari sinilah masalah bermula, karena PTN berbadan hukum akhirnya terdorong untuk mencari tambahan dana dari pihak swasta guna membangun infrastruktur kampus dan menjalankan berbagai aktivitasnya. PTN BH pun harus mau dimasuki para korporasi. Terjalinlah kerja sama bisnis seperti mendirikan SPBU, mal, restoran, jasa penyewaan gedung, dan lain sebagainya. Untuk itu, menaikkan biaya pendidikan tinggi pun dilakukan untuk menambah pendapatan.

Buntut dari semua itu tentu berdampak pada generasi penerus yang harus menghapus cita-citanya mengenyam pendidikan lebih tinggi, padahal mereka adalah aset berharga yang bisa memajukan negeri. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan mendasar, namun sayangnya kini berubah menjadi lahan bisnis para korporasi dan berorientasi pada keuntungan semata.

Demikianlah ketika liberalisasi telah mendominasi dunia pendidikan. Penguasa seolah berlepas tangan dalam mengayomi urusan rakyat dan mendudukan diri hanya sebagai regulator dan mengalihkan perannya pada pihak swasta. Demi terwujudnya pendidikan bertaraf internasional, diseretlah aspek ini dalam lingkaran bisnis para korporasi. Inilah fakta dunia pendidikan dalam pengayoman sistem kapitalis, alih-alih memajukan, justru membuatnya terpuruk dalam kemunduran.

Kapitalisme menjadikan negara hanya sebagai pembuat kebijakan dan korporasilah yang berwenang menyelenggarakan pelayanan. Sebagaimana prinsip Barat bahwa tidak ada makan siang yang gratis (no free lunch), maka semua pasti akan diperhitungkan secara materi dan disesuaikan dengan kepentingan para pemilik modal. Demikian juga dalam masalah biaya pendidikan, tentu akan dipertimbangkan masalah untung dan rugi.

Lain halnya dengan Islam, sistem ini menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan mendasar. Negara sebagai penyelenggara pendidikan dituntut untuk melaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat. Demikian pentingnya mengenyam pendidikan karena mampu menaikkan derajat seorang hamba, Allah Swt. dalam QS al Mujadalah ayat 11 berfirman, yang artinya:
"Allah mengangkat (derajat) orang-orang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan."

Sistem pendidikan juga mampu mewujudkan visi politik negara, menstimulasi inovasi, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara bertanggung jawab mendorong, mempermudah dan memfasilitasi terwujudnya perkembangan pendidikan, tanpa membebani para orang tua.

Adapun pembiayaannya diambil dari kas Baitulmal dari pos fai', kharaj, dan kepemilikan umum. Jika masih belum mencukupi, maka akan ditarik sumbangan berupa pajak dari kaum muslim yang kaya, dan jika hal itu masih belum mencukupi maka pembiayaan dibebankan pada seluruh kaum muslim. Penguasa tidak diperkenankan mengalihkan tanggung jawabnya kepada korporasi karena hal tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang diembannya. Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, negara sangat berkemampuan menyelenggarakan pendidikan murah bahkan gratis.

Oleh karenanya, berharap pengayoman yang bisa menyejahterakan dan penuh keadilan pada sistem kapitalis tak ubahnya seperti pungguk merindukan bulan. Hanya dengan diterapkannya Islam dalam sebuah institusi pemerintahan, segala permasalahan akan tertangani dan menjadi solusi bagi seluruh permasalahan kehidupan.

Wallahu a'lam Bishawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Irma Faryanti Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pekerja Migran: Mesin Uang yang Diabaikan
Next
Makan Tempe Bikin Awet Muda?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram