”Sementara negara-negara non-NWS, termasuk Indonesia, seperti peribahasa “gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah”. Mereka hanya mampu menjadi penonton dan merasakan dampaknya saja. Ditambah lagi kedua kekuatan antara Cina dan Barat saat ini memang sedang berusaha menjadi penguasa kawasan Indo-Pasifik.”
Oleh. Dwi Indah Lestari
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dilatari oleh adanya proyek kapal selam nuklir yang diluncurkan oleh Australia bersama dengan Amerika Serikat dan Inggris dalam program AUKUS, Indonesia mengajukan Indonesian Paper kepada PBB. Proposal tersebut bertujuan untuk mengisi kekosongan aturan hukum internasional terkait kapal selam bertenaga nuklir, membangun kesadaran atas potensi risikonya, serta upaya menyelamatkan nyawa manusia dan kemanusiaan (cnnindonesia.com, 1/8/2022).
Indonesia patut merasa khawatir. Pasalnya, kerentanan risiko yang ditimbulkan dari proyek kapal selam nuklir tersebut dengan posisi geografisnya yang merupakan negara kepulauan, sangat besar. Malaysia berdiri di samping Indonesia dalam menentang AUKUS. Sebab, proyek ini dinilai berpotensi menimbulkan kompetisi senjata di Indo-Pasifik dan memicu tindakan agresif dari kekuatan lainnya. Untuk itulah Indonesia mengajukan proposal aturan pengembangan program itu (cnnindonesia, 1/8/2022).
Pro dan Kontra Proyek Kapal Selam Nuklir
Telah diketahui bahwa perkembangan program kapal selam bertenaga nuklir oleh negara-negara di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini, telah berlangsung sangat pesat. Pro kontra pun muncul seiring dengan masifnya hal itu dilakukan. Kubu negara yang pro, memandang program ini masih sejalan dengan komitmen nonproliferasi nuklir maupun perjanjian internasional lainnya, serta masih sesuai dengan ketentuan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Sementara negara yang menentang berargumen program tersebut telah melanggar perjanjian nonproliferasi nuklir serta memberi peluang terjadinya kerja sama negara pemilik nuklir dengan negara nonnuklir. Selain itu adanya risik pencemaran bila terjadi kebocoran nuklir dapat membahayakan lingkungan dan manusia. Ditambah lagi kemungkinan penyalahgunaan material nuklir menjadi senjata dapat memicu lahirnya perang nuklir.
Indikasi Pelanggaran Perjanjian Nonproliferasi Nuklir
Dikutip dari wikipedia.org, pada tanggal 1 Juli 1968, telah disepakati sebuah perjanjian untuk melakukan pembatasan kepemilikan senjata nuklir, di mana 187 negara telah turut menandatanganinya, yang kemudian disebut perjanjian nonproliferasi nuklir. Perjanjian tersebut tidak dibatasi waktu dan syarat, dengan menjadikan tiga hal, yaitu nonproliferasi, perlucutan, dan hak menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai, sebagai fokus utamanya.
Tudingan bahwa AUKUS telah melanggar perjanjian ini sebenarnya tidak berlebihan. Sebab, banyak menyalahi poin-poin yang telah disetujui pada tiga pokok utama yang termaktub dalam perjanjian tersebut. Pada pokok utama nonproliferasi, telah disepakati bahwa negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States) tidak boleh mentransfer teknologi nuklirnya kepada negara non-NWS. Sedangkan negara non-NWS setuju untuk tidak meneliti dan mengembangkan senjata nuklir.
Hal ini jelas telah dilanggar oleh ketiga negara dalam AUKUS yang ikut menyepakati perjanjian nonproliferasi nuklir. Sebab, Amerika Serikat dan Inggris merupakan negara NWS sementara Australia adalah negara non-NWS. Semestinya tidak ada kerja sama dalam bidang pengembangan senjata nuklir di antara ketiganya. Namun kenyataannya hal itu dilakukan.
Pada bidang perlucutan pun, sebenarnya telah disetujui bahwa negara NWS akan berusaha mengurangi dan membekukan simpanan nuklirnya. Pada faktanya negara-negara tersebut justru mengembangkannya. Meski dalam perjanjian tersebut diperbolehkan untuk menggunakan teknologi nuklir, namun dibatasi hanya untuk kepentingan damai semata. Hanya saja hal ini pun tak ditepati oleh AUKUS, dengan mengembangkan kapal selam nuklir yang notabene adalah persenjataan untuk perang.
Adu Kekuatan Negara Besar
Keberanian Indonesia mengajukan Indonesian Paper, patut diacungi jempol. Bagaimana pun keberadaan negara-negara di sekitarnya yang memiliki kekuatan nuklir tentu sangat patut diwaspadai. Apalagi Australia merupakan negara yang dekat posisinya dengan Indonesia. Keberadaan kapal selam dengan senjata nuklir yang canggih tentu bisa mengancam wilayah teritorial baik secara keamanan politik maupun kelestarian sumber daya laut.
Namun nyali tersebut akan diuji oleh posisi negara-negara AUKUS yang merupakan negara adidaya. Apalagi program kapal selam bertenaga nuklir tersebut disinyalir merupakan upaya AS dan Inggris untuk dapat menandingi kekuatan Cina di kawasan Indo-Pasifik. Seperti diketahui, Cina juga merupakan negara pemilik senjata nuklir serta aktif dalam pengembangannya. Bahkan, rumornya senjata nuklir Cina lebih berbahaya daripada yang dimiliki AS.
Bila demikian, mungkinkah Indonesian Paper mampu meredam ajang unjuk gigi negara-negara besar tersebut? Apalagi diketahui, AS, Cina, dan Inggris merupakan negara-negara yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan hak veto yang dimilikinya. Mustahil rasanya bila keputusan PBB nantinya akan melewatkan kepentingan negara-negara tersebut. Sementara dalam persoalan nuklir ini, negara-negara tersebut memiliki kepentingan besar untuk terus dapat mengembangkannya.
Sementara negara-negara non-NWS, termasuk Indonesia, seperti peribahasa “gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah”. Mereka hanya mampu menjadi penonton dan merasakan dampaknya saja. Ditambah lagi kedua kekuatan antara Cina dan Barat saat ini memang sedang berusaha menjadi penguasa kawasan Indo-Pasifik. Sementara negara non-NWS terbelenggu dengan perjanjian, hingga lemah dalam kekuatan militernya.
Kehebatan Militer Khilafah
Persoalan nuklir yang kini terjadi di dunia, seharusnya menyadarkan kaum muslim, bahwa negara-negara besar itu selamanya hanya akan mengutamakan kepentingannya sendiri. Isu menjaga perdamaian yang selama ini mereka dengung-dengungkan tidak ada artinya ketika menyangkut hajatnya. Apalagi berkaitan dengan keberlangsungan hegemoninya di antara negara-negara lain di dunia.
Perjanjian demi perjanjian yang mereka inisiasi itu, tidak lain hanyalah jerat untuk membelenggu negara lainnya agar tunduk di bawah pengaruhnya, sehingga mudah dieksploitasi. Inilah yang terjadi pada negeri-negeri kaum muslim saat ini. Penjajahan terhadap potensi umat di berbagai wilayah terus berlangsung. Sementara kaum muslim tak berdaya, dan hanya menjadi bulan-bulanan mereka saja.
Padahal, Allah sudah menegaskan keharaman untuk memberikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai umat Islam.“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS. Al-Nisâ’ [4]: 141)
Keadaan kaum muslim saat ini sangat jauh dibandingkan saat mereka masih memiliki Khilafah sebagai institusi negaranya. Khilafah justru membangun kekuatan militernya dengan personil yang memiliki kemampuan tempur yang hebat didukung oleh persenjataan yang canggih. Bahkan, hal ini ditunjang dengan aspek industri dalam Khilafah yang berpijak pada politik perang. Sebab, jihad dan perang membutuhkan persenjataan pada tingkat yang optimal.
Hal ini sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat memerintahkan pendirian industri manjaniq (senjata pelontar) dan dababah (semacam tank dari kayu). Kemudian Rasulullah bersama kaum muslim mengepung penduduk Thaif dan menggempurnya dengan menggunakan manjaniq tersebut.
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah itu adalah untuk memenuhi perintah Allah Swt.,“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).” (TQS. Al Anfal: 60)
Ayat tersebut menegaskan kewajiban bagi negara untuk mempersiapkan apa saja yang dapat membuat musuh gentar, termasuk di antaranya adalah mempersiapkan persenjataan yang canggih. Sebab, hal itu akan membangun citra kekuatan Khilafah sebagai negara dengan kekuatan militer yang tak tertandingi. Semua itu akan membuat negara lain tak berani berbuat macam-macam terhadap Khilafah.
Bargaining position Khilafah juga semakin kokoh di mata dunia internasional dengan politik luar negeri yang dibangun berdasarkan akidah Islam. Berbagai perjanjian maupun kesepakatan yang dibuat dengan negara lain tidak boleh bertentangan dengan syarak dan merugikan kemaslahatan umat. Keanggotaan di lembaga internasional yang diindikasikan dapat mengancam kedaulatan Khilafah tidak akan diikuti. Sehingga, Khilafah tidak akan mudah dikontrol oleh negara lain.
Inilah yang pernah diwujudkan pada masa kekhalifahan Muhammad Al-Fatih, dalam mempersiapkan penaklukan Konstantinopel. Pada saat itu tercipta meriam yang luar biasa besarnya untuk dapat menjebol tembok benteng Konstantinopel yang terkenal sangat kuat. Hingga akhirnya berhasil merengkuh kota itu dalam kekuasaannya. Begitu pula ancaman dari Sultan Abdul Hamid II yang akan mengerahkan pasukan kaum muslim hingga Prancis pun membatalkan drama yang melecehkan Nabi.
Begitulah yang terjadi andai saja Khilafah masih tegak dan menaungi kaum muslim. Ia akan menjadi perisai yang melindungi kaum muslim dari ancaman dan makar jahat kaum kafir. Dengannya pula marwah umat Islam akan terjaga dan Islam sebagai rahmat akan mampu tersebar ke seluruh penjuru dunia. “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (TQS. Al Anbiya: 107)
Wallahu’alam bisshowab.[]