"Klaim yang menyatakan bahwa hijab adalah budaya Arab, jelas sangat keliru. Atau mungkin yang menyatakan hal tersebut kurang ”piknik” atau bisa jadi adanya kurang pemahaman atau bisa juga disebabkan faktor lain, yaitu islamofobia akut."
Oleh. Rahmiani Tiflen, Skep
(Kontributor Narasipost.com)
NarasiPost.Com- Sejak beberapa waktu lalu sempat ramai di sosmed hingga menjadi trending topic soal kasus dugaan pemaksaan penggunaan jilbab di SMA Negeri 1 Banguntapan Bantul. Kasus itu terus bergulir hingga menggiring opini negatif terkait penggunaan hijab di tengah-tengah masyarakat. Bahkan kini banyak meme berseliweran dengan tulisan, ”Kembalikanlah standar seragam sekolah negeri kayak dulu. Reguler: Siswa kemeja lengan pendek, celana pendek (SD dan SMP), kemeja lengan pendek dan celana panjang (SMA), sedangkan untuk siswi kemeja lengan pendek dan rok batas area selutut.”
Seolah-olah hijab merupakan produk budaya Arab yang bertentangan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Tapi benarkah demikian?
Hijab Budaya Arab?
Sebagaimana diketahui bahwa dalam Islam hijab bukan saja sebagai atribut apalagi disebut-sebut sebagai produk budaya Arab, akan tetapi lebih dari pada itu, hijab merupakan perintah Allah Subhanahu wa ta'ala yang termaktub dalam QS. An-Nur : 31 dan QS. Al-Ahzab : 59, yang diturunkan Allah subhanahu wa ta'ala kepada Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam agar menjadi salah satu syariat yang wajib diterapkan dalam kehidupan seorang muslimah. Untuk itu, klaim yang menyatakan bahwa hijab adalah budaya Arab, jelas sangat keliru. Atau mungkin yang menyatakan hal tersebut kurang ”piknik” atau bisa jadi adanya kurang pemahaman atau bisa juga disebabkan faktor lain, yaitu islamofobia akut.
Terlebih, Indonesia merupakan negara hukum yang wajib menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk dalam beragama. Ini terbukti dalam pasal 18 Deklarasi Universal HAM, yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga berhak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hal itu pun selaras dengan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang juga menempatkan HAM pada porsi penting. Seperti tercantum dalam pasal 28E ayat satu menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 ayat 2 UUD NRI 1945, yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk itu, seharusnya pemerintah dapat hadir guna memenuhi kewajibannya dalam rangka menghormati, memenuhi dan melindungi, hak seluruh rakyatnya dalam menjalankan keyakinan dan beragama.
Maka dari itu, mengapa masih ada klaim yang menyatakan harus mengembalikan seragam sekolah seperti dulu? Bukankah pernyataan tersebutlah, yang justru mengarah pada intoleransi serta bukti adanya islamofobia?
Hijab dalam Pandangan Konstitusi Negara
Mencermati SKB 3 Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama) Nomor 02/KB/2021, Nomor O25-199 tahun 2021, Nomor 219 tahun 2021, tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah; maka ada pernyataan menarik yang disampaikan oleh Prof.Suteki melalui kanal YouTube-nya, yaitu bahwa dalam SKB 3 Menteri itu tidak akan ditemukan adanya pernyataan tentang pelarangan berseragam khusus (berhijab), justru yang ada adalah ketentuan yang melarang Pemda atau sekolah mewajibkan atau melarang peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berseragam dan beratribut khusus terkait dengan agama tertentu. Jadi, menurutnya memang tidak ada kewajiban dan juga tidak ada pelarangan terkait hal tersebut di atas.
Sebagaimana tertera dalam poin kesatu dari SKB 3 Menteri itu, menyatakan bahwa ”Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah berhak memilih untuk menggunakan pakaian seragam dan atribut: (a) Tanpa kekhasan agama tertentu; atau (b) dengan kekhasan agama tertentu, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Artinya, bahwa ketentuan berseragam sekolah diserahkan kembali pada aturan yang ditetapkan oleh sekolah itu sendiri, apakah sekolah hendak menggunakan seragam dengan kekhasan agama tertentu (misal, siswi tampil dengan menggunakan hijab) atau tidak.
Namun, jika dalam keputusan bersama pihak sekolah telah menentukan bahwa ingin memberlakukan seragam sekolah sesuai dengan kekhasan agama tertentu yang juga melibatkan tiga unsur yakni, peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan serta orang tua/wali murid, maka sekolah dapat menetapkan peraturan sesuai dengan kesepakatan bersama, yang mana seluruh pihak yang berkaitan dengan sekolah wajib menaati aturan tersebut. Sehingga hal itu pun sama sekali tidak bertentangan dengan HAM.
Kemudian pada poin kedua, tercantum bahwa ”Pemerintah daerah dan sekolah memberikan kebebasan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu.” Artinya diktum kedua ini akan gugur jika sesuai dengan diktum pertama, yang menyatakan bahwa seluruh warga sekolah telah memilih untuk menentukan seragam sekolah dan atribut khusus (sesuai dengan kekhasan agama tertentu).
Sehingga menurut Prof.Suteki, Pemda dan kepala sekolah itu tidak semestinya secara sepihak melakukan upaya pelarangan atau pun mewajibkan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk berseragam atau beratribut khusus agama tertentu. Namun, tentunya sebagai sesama muslim, kita pun tak lepas dari kewajiban beramar makruf nahi mungkar (dakwah). Yang mana berdakwah itu wajib dilakukan oleh seluruh umat Islam, termasuk dalam hal ini adalah pihak sekolah. Untuk itu, kiranya pihak sekolah patut memberi imbauan atau anjuran kepada anak didiknya terlebih khusus muslimah yang telah baligh agar dapat menutup aurat secara sempurna, termasuk dalam berseragam sekolah.
Upaya Islamofobia hingga Moderasi Islam
Namun lagi-lagi, publik kembali diramaikan dengan penggiringan opini yang kini telah menjurus pada upaya islamofobia hingga moderasi beragama (Islam). Para buzzer kembali melakukan manuver lewat sosial media yang mana pernyataan-pernyataan terkait penggunaan hijab justru menyudutkan kaum muslim bahkan syariat Islam. Berbagai narasi bernuansa kebencian turut diembuskan oleh mereka. Seolah syariat Islam ini sangat mengungkung bagi aktivitas seorang muslimah, ekslusif serta antikeberagaman dan juga intoleran. Maka, sudah barang tentu semua pernyataan tersebut tidak benar adanya, justru itu merupakan blaming victim, sinisme, serta upaya islamofobia.
Tolak ukur yang dijadikan serangan pada umat Islam Indonesia adalah Arab Saudi, padahal Islam itu bukan manifestasi dari Arab Saudi, sebab lagi-lagi syariat Islam ini diturunkan Allah Swt untuk seluruh umat manusia, serta membawa rahmat bagi seluruh alam. Jelaslah ini pun merupakan agenda Barat dalam rangka mencegah kebangkitan umat Islam hari ini, melalui program moderasi beragama (Islam). Sebagaimana definisinya, maka moderasi beragama dapat diartikan sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku yang selalu mengambil posisi di tengah-tengah, bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Hal itu termaktub dalam buku Moderasi Beragama yang diterbitkan Kementerian Agama (2019). Maka, sudah jelas moderasi beragama bukan pandangan yang lahir dari syariat Islam.
Parahnya, moderasi Islam kini telah menyusup bahkan menjadi proyek besar di negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Sehingga Barat terus berupaya memojokkan ajaran Islam hingga memisahkan agama dari sistem pendidikan hari ini. Untuk itu, umat Islam harus sadar bahwa semua itu adalah upaya Barat dalam rangka melunturkan pemahaman agama dari para generasi muda kita (sekularisasi). Upaya pendangkalan akidah tersebut dilakukan dengan cara proxy war maupun ghazwul fikri (perang pemikiran), yang salah satunya dengan moderasi Islam lewat kurikulum Merdeka Belajar. Yang dalam pelaksanaannya diharapkan siswa-siswi dapat lebih berpikiran terbuka, tidak fanatik, tidak radikal, dan bertoleransi tinggi. Padahal pandangan tersebut justru merupakan racun bagi generasi kita, yang dapat menghilangkan identitas sebagai seorang muslim/muslimah sejati, pun mengaburkan pemahaman generasi muda terhadap Islam. Salah satu contoh, dibolehkannya mengucapkan selamat pada hari raya agama lain, padahal hal tersebut terlarang dalam Islam.
Islam Kaffah adalah Solusi
Maka, untuk dapat meng- counter attack serangan tersebut, perlu adanya upaya penyadaran umat dengan memberikan pemahaman Islam secara kaffah di tengah-tengah masyarakat, sesuai dengan metode yang pernah diterapkan oleh Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam. Cara tersebut dilakukan dengan tahapan yaitu tatsqif (pembinaan/pengkaderan), kemudian tafa’ul ma’a al-ummah (interaksi dengan masyarakat), dan terakhir adalah istilâm al-hukm (penerimaan kekuasaan), yang prinsip pelaksanaannya la madiyah (tanpa kekerasan). Sehingga dari ketiga tahapan dakwah tersebut, akan mewujud pada satu institusi kaum muslimin ,yaitu Khilafah Islamiah.
Kemudian mengembalikan kurikulum sekolah pada Islam, sehingga dapat membentuk para siswa siswi bertakwa dan juga berkepribadian Islami (syakhsiyyah Islamiyyah). Para pelajar tangguh yang paham akan hakikat hidupnya di dunia. Dengan kurikulum berbasis Islam, maka akan terwujud generasi cemerlang sebagaimana generasi Salahuddin Al Ayyubi, Al-Khawarizmi, Abbas Ibnu Firnas, Muhammad Al Fatih, dan para tabi'in hingga tabi'ut tabi'in.
Dari sanalah diharapkan pemahaman Islam kaffah dapat menancap kuat pada diri setiap umat muslim, termasuk generasi muda. Yang dengannya, mampu menghadapi tiap serangan dari musuh-musuh Allah Subhanahu wa ta'ala, dan menebar rahmat bagi seluruh alam. Wallahu’alam bis showab.[]