”Melalui demokrasi, negeri-negeri muslim khususnya tak lagi terikat dengan ketentuan syariat. Dengan begitu Barat khususnya dengan mudah mempengaruhi proses legislasi (penetapan peraturan perundang-undangan) baik secara langsung melalu draf undang-undang maupun secara tidak langsung melalui kaki tangan mereka di parlemen atau di pemerintahan.”
Oleh. Siti Amelia Q. A
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Irak saat ini tengah kacau kembali, karena adanya kekosongan kursi Perdana Menteri. Pemilu yang digelar 10 bulan lalu, tepatnya 10 Oktober 2021 menyebabkan konflik politik yang berkepanjangan, demonstrasi terus saja terjadi di Irak.
Hasil akhir yang diumumkan komisi pemilu Irak mengukuhkan bahwa ulama Syiah Muqtada Al-Sadr merupakan pemenang pemilu. Al-Sadr menguasai 73 dari 329 kursi di parlemen, sedangkan partai Sunni yang dipimpin ketua parlemen Mohamed Al Halbousi berada di urutan kedua dengan jumlah 37 kursi.
Namun, banyak penduduk Irak yang memboikot pemilu ini, setelah kehilangan kepercayaan pada sistem demokrasi yang dibawa oleh invasi Amerika Serikat pada tahun 2003, terlebih lagi hasil pemilu kali ini sudah diprediksi bahwa yang memenangkan hasil pemilu adalah kubu yang tengah berkuasa di Irak yakni Islam Syiah, sehingga hasil pemilu tidak akan mengubah keseimbangan kekuasaan apa pun. Walaupun Al-Sadr menang mutlak pada pemilu kali ini, namun tidak membuatnya memegang tampuk kekuasaan di Irak.
Belajar dari FIS Aljazair
Jejak rekam yang ada, menelisik kembali kejadian lama mengenai pemilu FIS Aljazair, sebuah pembelajaran berharga untuk partai Islam di dunia secara umum. FIS Aljazair adalah sebuah gerakan Islam yang sangat konsisten menyeru kepada Islam, FIS sangat diterima oleh masyarakat Aljazair yang telah lama hidup dalam belenggu sistem sekuler, hadirnya FIS membawa angin segar untuk mereka. Pada pemilu 1991, FIS mampu meraup suara sebanyak 54 % dan mendapat 188 kursi di parlemen atau menguasai 81 % kursi. Suatu pencapaian yang fantastis pada saat itu dan pada pemilu putaran kedua FIS dinyatakan menang telak, umat Islam Aljazair menyambut gembira kemenangan FIS tersebut.
Namun, rakyat Aljazair tidak sadar bahwa mereka hidup dalam sistem demokrasi sekuler, yang apa saja dapat terjadi. Kemenangan FIS dijegal oleh kubu lawan dan dinyatakan sebagai partai politik terlarang, ribuan anggota dan pendukung FIS ditangkap dan dijebloskan ke penjara, bahkan ada yang sampai dibunuh. Dominasi sekuler dan dukungan barat pada saat itu begitu besar mampu membendung suara rakyat di Aljazair.
Berlalunya FIS Aljazair, tidak juga menjadikan sebuah kesadaran untuk umat Islam sampai detik ini juga, bagaimana sistem demokrasi tidak akan pernah sejalan dengan Islam, bahwa Islam tidak akan bisa hidup dalam sistem yang bukan tempatnya.
Konsep Awal Demokrasi
Konsep demokrasi lahir dari Yunani kuno yang dipraktikkan dalam hidup bernegara, yakni antara abad ke-4 sebelum Masehi sampai dengan abad ke-6 sebelum Masehi. kata demokrasi pertama muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-negara Athena yang dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 507-508 sebelum Masehi. Cleisthenes disebut sebagai "Bapak demokrasi Athena".
Salah satu konsepsi awal demokrasi pada masa Yunani tertuang dalam pemikiran filosof Yunani seperti Aristoteles dalam Politea-nya. Namun, konsepsi demokrasi modern dimunculkan pada masa Abad Pertengahan oleh para pemikir Barat Montesquieu (1689-1755), lalu ada John Locke dengan Trias Politika dan JJ Rousseau dengan Du Contract Social.
Seiring perjalanannya, secara konseptual tidak ada teori demokrasi yang baku. Bentuk pemerintahan demokrasi atau republik atau kerakyatan menjadi tren dunia pasca sekularisme politik di Eropa, yakni selepas perjanjian Westphalia 1648. Kekuasaan politik benar-benar dilepaskan dari kekuasaan agama (sekularisme), hal ini dilakukan agar dapat benar-benar berjalan sesuai dengan idealitas rasionalitas manusia. Dengan demikian ide sekularisme adalah fondasi dasar dari demokrasi.
Setelah berkembang di Barat, demokrasi kemudian diekspor ke negara-negara dunia ketiga, yakni Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Demokrasi semakin mengglobal pasca runtuhnya Uni Soviet dengan ideologi komunisme yang menjadi pesaingnya. Kini demokrasi diterapkan secara luas hampir meliputi semua negara di dunia, termasuk Indonesia.
Demokrasi dalam Pandangan Islam
Demokrasi telah menjadi suatu ideologi politik yang paling luas pengikutnya, termasuk di negeri-negeri Islam. Demokrasi dipercaya sebagai ideologi terbaik dan satu-satunya yang dapat menghantarkan pada tatanan masyarakat egalitarian, adil, dan sejahtera.
Prinsip dasar dalam demokrasi adalah menetapkan kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Prinsip ini jelas sangat bertentangan dengan Islam, di mana kedaulatan dalam Islam adalah mutlak milik Allah Swt., bukan di tangan rakyat. Jika kedaulatan di tangan rakyat, maka wakil rakyat yang menjadi representasi dari rakyat, dinilai berhak membuat hukum atau aturan, sedangkan jika dilihat dalam kacamata Islam aturan atau hukum sudah jelas tertuang dalam Al-Qur'an yakni hukum-hukum syarak atau syariat Islam. Dalam Islam penetapan benar salah, halal-haram hanya ditangan Allah bukan rakyat atau wakil rakyat.
Bahaya paling mendasar dari demokrasi adalah bahwa sistem ini secara tidak sadar telah merusak akidah seorang muslim dengan merampas hak Allah Swt. untuk membuat hukum dan menyerahkan hak itu kepada aturan manusia. padahal seorang muslim jelas diperintahkan untuk taat akan syariat dan berislam secara menyeluruh, seperti firman Allah dalam surah Al-Baqarah 208 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 208)
Melalui demokrasi, negeri-negeri muslim khususnya tak lagi terikat dengan ketentuan syariat. Dengan begitu Barat khususnya dengan mudah mempengaruhi proses legislasi (penetapan peraturan perundang-undangan) baik secara langsung melalu draf undang-undang maupun secara tidak langsung melalui kaki tangan mereka di parlemen atau di pemerintahan.
Seperti itulah fakta yang terjadi di negeri-negeri kaum muslim saat ini, berkaca dari FIS Aljazair, Irak, Palestina, Indonesia maupun negeri-negeri muslim lainnya, tidakkah kita memetik ibrah darinya, bahwa Islam tidak akan bisa menyatu dengan demokrasi, karena sejatinya demokrasi telah cacat sejak lahir yakni bertentangan dengan akidah Islam.
Islam agama yang sempurna lagi paripurna, sudah tentu jelas bahwa Islam memiliki aturan yang terperinci untuk membangun sebuah negara beserta hukum-hukumnya, tidak lain sistem pemerintahan Islamlah yang mampu mewadahi agar hukum-hukum Allah diterapkan di muka bumi, dan tentu saja tugas kita sebagai seorang muslim untuk berjuang menegakkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Wallahu a'lam bishawab.[]