"Negara dalam Islam adalah negara yang memberlakukan syariat Islam kaffah, Khilafah. Bekerja ke luar negara Khilafah adalah boleh, meskipun status negara tujuan tersebut adalah darul kufur. Selama statusnya bukan negara yang memerangi Islam secara nyata (Kafir Harbi Fi’lan), Islam membolehkan jika ada rakyatnya yang akan bekerja ke luar negaranya. Hal ini membuktikan bahwa aspek keamanan, terpeliharanya jiwa warganya, sangatlah diperhatikan saat akan menuju negara luar."
Oleh. Putri Achmad
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sejak 13 Juli 2022, Indonesia menghentikan sementara pengirimaan PMI sektor domestik ke Malaysia karena Malaysia dianggap telah melanggar MoU tentang one channel system. Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) atau one channel system telah disepakati oleh Indonesia dan Malaysia sebagai sistem yang digunakan dalam penempatan dan perlindunagn PMI. Sistem ini dipercaya akan memudahkan Indonesia sebagai negara asal PMI untuk mengetahui nama majikan, besaran gaji para PMI, selain itu juga untuk mengetahui jaminan sosial yang diberikan kepada PMI.
Malaysia diduga menyalahi Mou tersebut dan masih menggunakan sistem lain, yaitu SMO (Sistem Maid Online). Indonesia menilai bahwa SMO menyulitkan pihaknya untuk memberikan perlindungan saat PMI mendapatkan masalah di tempatnya bekerja. Bahkan, menurut Fadjar Dwi Wisnuwardhani, Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan, untuk mengetahui data PMI saja pemerintah RI tidak bisa.
PMI atau Pekerja Migran Indonesia adalah istilah pengganti dari TKI yang telah resmi digunakan oleh pemerintah RI. Dalam aturan baru, UU No. 18, tahun 2017 disebutkan bahwa Pekerja Migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Indonesia.
SPSK digadang-gadang menjadi solusi atas problem yang sering dialami PMI selama ini. Namun, belum genap seumur jagung terjalinnya kesepakatan atau MoU tenaga kerja yang isinya tentang pemberlakuan SPSK, masalah muncul. Hal ini berimbas pada tertahannya sejumlah PMI untuk berangkat mencari penghidupan di negeri Jiran. Jika benar negara tujuan pengiriman PMI diduga telah melanggar kesepakatan, apakah tepat Indonesia memutuskan penghentian sementara pengiriman PMI ke Malaysia? Lalu, bagaimana Islam mengatur tentang pekerja migran?
Negara dalam Islam adalah negara yang memberlakukan syariat Islam kaffah, Khilafah. Bekerja ke luar negara Khilafah adalah boleh, meskipun status negara tujuan tersebut adalah darul kufur. Selama statusnya bukan negara yang memerangi Islam secara nyata (Kafir Harbi Fi’lan), Islam membolehkan jika ada rakyatnya yang akan bekerja ke luar negaranya. Hal ini membuktikan bahwa aspek keamanan, terpeliharanya jiwa warganya, sangatlah diperhatikan saat akan menuju negara luar.
Sebagai kepala negara Khilafah, Khalifah akan mengadakan perjanjian atau kesepakatan terlebih dahulu dengan negara tujuan. Semua isi kesepakatan harus sesuai sebagaimana aturan Islam tentang kontrak kerja. Jika negara tujuan terbukti melanggar kesepakatan, negara Islam harus membatalkan segera pengiriman pekerja dari warga negara Islam ke negara luar (daarul kufur), bukan pembatalan yang hanya sementara.
Pekerjaan yang dilakukan sebagaimana pekerja migran sektor domestik dalam kitab Nizhamul Iqtishadiy (Sistem Ekonomi Islam) terkategori kontrak kerja atau disebut ijarah. Ijarah dimaknai sebagai upaya seorang majikan mengambil manfaat berupa jasa dari seorang pekerja, dan upaya seorang pekerja untuk mengambil upah dari majikannya.
Kemudian, negara Islam akan memberlakukan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan kontrak kerja atau ijarah. Pertama, jenis pekerjaan. Selama pekerjaan yang akan dilakukan hukumnya halal, maka boleh untuk diterima. Kedua, waktu kerja. Dalam akad kontrak kerja antara majikan dengan pekerja harus ada kejelasan lamanya bekerja di negara tujuan. Misalnya, disebutkan selama berapa minggu, berapa bulan atau berapa tahun. Ketiga, upah atau gaji. Besarnya upah harus jelas dan sudah disepakati kedua belah pihak, majikan dan pekerja. Hal ini sebagaimana sasbda Rasul saw., "(Apabila salah seorang dari kalian mengontrak seorang pekerja, maka hendaklah ia memberitahukan gajinya kepadanya (pekerja).” (HR. Ad Daruquthni)
Selain itu, untuk pekerja wanita, negara dalam Islam akan memberlakukan aturan yang mengikat bagi para wanita, juga menjamin terpeliharanya jiwa dan kehormatannya. Contohnya, harus bersama mahram atau suaminya, terjaga auratnya, dan tidak melalaikannya dari tugas utama sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Bagian yang terakhir inilah yang biasanya tidak terpenuhi oleh negara-negara pengirim pekerja migran saat ini. Negara mudah melabeli para pekerja migran sebagai pahlawan devisa, tapi tidak memerhatikan apakah terjadi benturan antara tugas utama sebagai ibu, sekaligus istri dengan pekerjaannya di luar negeri.
Akhirnya, kita bisa membandingkan tanggung jawab negara terhadap warganya yang bekerja ke luar negeri antara negara saat ini dengan negara Islam, yaitu Khilafah. Negara-negara saat ini, terutama negara dunia ketiga yang banyak menyumbang pekerja migran hanya fokus pada penanganan masalah penempatan kerja, besarnya gaji dan kontrak kerja. Bagaimana negara memberikan jaminan keamanan, terjaganya kehormatan pekerja wanita dan tidak melalaikan tugas utamanya sebagai seorang ibu dan pengatur rumah tangga, masih sulit terwujud. Hal ini selaras dengan standar perbuatan di alam sekulerisme saat ini, yaitu manfaat. Selama sama-sama mendatangkan manfaat, baik untuk pekerja ataupun majikan, tak perlu menegakkan aturan agama. Wajar, jika akhirnya hasil dari pengaturan yang tidak berdasar syaraiat menimbulkan masalah dalam banyak hal.[]