"Para tetangga telah berkumpul. Mereka datang menyiapkan segala keperluan untuk menyambut jenazah bapak dari rumah sakit. Azan Asar berkumandang di antara hiruk pikuk di rumahku. Aku gunakan kesempatan itu untuk meminta kekuatan dan ampunan-Nya. Aku ingin sendiri mencerna situasi yang tengah terjadi. Ada kehampaan dan kelegaan di saat bersamaan. Aku sangat sedih karena bapak telah tiada, namun aku juga merasa lega karena bapak sudah tak sakit lagi. "
Oleh. Deena Noor
(Tim Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- “Kring… kring… kring…” Suara telepon mengagetkan aku yang tengah mencuci botol. Bergegas kutaruh botol di dalam bak bersama sikatnya. Kusambar lap di meja dekat kulkas untuk mengeringkan tanganku yang basah. Buru-buru kulempar kembali lap itu ke tempatnya semula. Setengah berlari aku menghampiri meja telepon.
“Halo, assalamu’alaikum” terdengar sebuah suara yang familier di seberang sana. Tumben masku menelpon. Hatiku langsung merasa tak enak. Firasatku mengatakan pasti ada sesuatu. Pikiran buruk tak bisa kucegah memunculkan gelisah. Ada kabar apa dari rumah sakit? Apakah kondisi bapak menurun?
Bapakku tengah dirawat di rumah sakit dengan ditemani ibu. Stroke membuat bapak tak berdaya. Kondisi fisiknya naik turun seiring dengan psikisnya yang sering tak stabil. Beberapa hari sebelumnya sempat membaik, namun tiba-tiba Kamis dini hari kemarin bapak kejang-kejang.
“Iya, wa’alaikumsalam. Ada apa, Mas?” jawabku dengan tak sabaran bercampur cemas. Di saat-saat seperti inilah setiap hal menjadi lebih sensitif. Aku khawatir mendapat berita buruk dari rumah sakit.
“Tidak ada apa-apa. Kamu sudah salat, belum?” tanyanya lagi. Aneh. Kenapa menelepon hanya untuk tanya itu? Suaranya juga terdengar mencurigakan seolah ada yang disembunyikan. Apa bapak …?! Ah, aku tak mau membayangkan hal buruk itu.
“Sudah, tidak ada apa-apa, kok! Segera salat! Sudah jam berapa ini? Jangan lupa baca surah Yasin juga, ya!” pintanya.
“Lho, kenapa? Memangnya ada apa?” tanyaku makin cemas. Kuulang pertanyaan itu, namun masku tetap berkata tidak ada apa-apa. Hatiku makin kuat meyakini akan ada sesuatu yang terjadi.
Kulihat jam di ruang tamu menunjukkan pukul 13.35 WIB. Astagfirullah, sudah jam segini! Dengan bergegas aku berlari ke belakang untuk mengambil wudu. Terlampau sibuk berbenah membuatku lupa waktu. Pikiran untuk menyiapkan rumah agar rapi dan bersih sepulangnya bapak dari rumah sakit mendorong semangatku bekerja. Namun, apakah semua baik-baik saja kini?
Yang aku takutkan sungguh terjadi. Bagai dihantam petir saat menerima kabar itu. Bapakku pergi. Bapak telah berpulang untuk selamanya. Pembawa kabar duka itu adalah Bu Karba’i, tetanggaku. Dengan hati-hati beliau menyampaikan bahwa bapak telah meninggal dunia tadi pukul 13.30 WIB. Itu adalah lima menit sebelum masku menelpon! Ya, Allah…
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun… Berita duka… Telah meninggal dunia…” suara Pak Marjuki menyiarkan berita meninggalnya bapak dari masjid. Pengumuman yang biasanya menyebut nama orang lain, kini nama bapakku yang disebutkan lewat toa masjid. Air mataku mengalir antara rasa percaya dan tidak. Ya, Rabbi… Kuatkanlah hamba…
Para tetangga telah berkumpul. Mereka datang menyiapkan segala keperluan untuk menyambut jenazah bapak dari rumah sakit. Azan Asar berkumandang di antara hiruk pikuk di rumahku. Aku gunakan kesempatan itu untuk meminta kekuatan dan ampunan-Nya. Aku ingin sendiri mencerna situasi yang tengah terjadi. Ada kehampaan dan kelegaan di saat bersamaan. Aku sangat sedih karena bapak telah tiada, namun aku juga merasa lega karena bapak sudah tak sakit lagi.
“Nduk, Bapakmu sudah tidak ada …” tangis ibuku pecah begitu sampai dari rumah sakit. Aku pun turut menangis dalam dekapannya. Tubuh ibu terasa lemah seolah separuh beratnya melayang. Paklik mencoba menghibur dan menenangkan kami berdua.
“Sing sabar, Mbakyu! Diikhlaskan saja. Ini sudah yang terbaik dari Gusti Allah. Sekarang yang dibutuhkan Mas adalah doanya njenengan dan anak-anak, biar Mas bisa tenang di sana,” nasihat Paklik terdengar pilu. Nasihat yang entah sudah berapa kali kudengar sejak meninggalnya bapak beberapa jam lalu.
Matahari sore kian menua. Sinar lembutnya membawa bapak pulang kembali ke rumah ini. Namun, kini tiada lagi yang sama darinya. Tak akan bisa kulihat lagi senyumnya. Tiada lagi guyonannya yang amat garing. Dan, motor bebek merah itu kini sudah tak lagi bertuan. Siapa yang nanti akan menaikinya? Siapa yang akan memboncengku keliling kota di atas bebek merah itu? Semakin banyak aku mengingatnya, semakin air mata ini tak terbendung.
Para pelayat datang dan pergi. Mereka bergantian menyalatkan bapak dan menguatkan kami, yang ditinggalkannya. Keluarga besar telah berkumpul semua. Segala persiapan untuk pemakaman bapak telah rampung, namun senja yang kian menggelap membuatnya terpaksa ditunda. Sekarang saatnya salat Maghrib dulu.
Melalui berbagai pertimbangan yang dipimpin Paklik sebagai yang tertua di keluarga, akhirnya diputuskan pemakaman dilaksanakan seusai salat Isya. Bila pemakaman dilakukan setelah Maghrib, maka terlalu mepet dengan waktu salat Isya. Kami semua menyetujui bagaimana baiknya saja.
Obor telah dinyalakan. Cahayanya begitu terang. Dialah yang akan menerangi jalan kami menuju peristirahatan terakhir bapak. Tiada pernah kusangka di saat pertama kalinya kulihat obor secara langsung dalam hidupku, adalah di hari kepergian bapak. Seperti menegaskan bahwa inilah hidup. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada pertemuan, ada perpisahan.
Dalam barisan pengantar jenazah, berkali-kali aku mencoba menyadarkan diri. Langkahku seolah tak menapak di bumi. Aku bagai di alam mimpi. Benarkah ini yang sedang terjadi?
Perjalanan malam ini adalah perjalanan terakhir bagi kami menemani bapak. Sejumlah orang berdiri di pinggir jalan melihat rombongan pengantar jenazah ini. Kendaraan menepi memberi jalan bagi kami.
Di sepanjang jalan menuju makam, cahaya remang bulan menemani. Mendekati kompleks pemakaman, jalanan makin sepi. Tak banyak rumah penduduk karena pemakaman berada di tengah persawahan.
Obor yang berada di baris paling depan rombongan masih terus memancarkan terangnya. Kobarnya sebagai penuntun jalan. Cahayanya menjadi penanda bagi siapa saja. Tiada air mata, namun hatiku tersedu mengingat memori tentang bapak. Sekuat tenaga aku kuatkan langkah mengiringi bapak menuju rumah barunya.
Pohon kamboja menyambut kami di depan makam. Harum bunganya mencoba menawarkan damai untuk hati yang lara kehilangan. Inilah akhir perjalanan terakhir dengan bapak. Tibalah saatnya berpisah.
Satu kehidupan telah usai kini dan ia kembali pada Sang Pencipta. Kematian menjadi akhir perjalanan kehidupan dunia. Satu fase yang pasti ditemui oleh setiap yang bernyawa. Tiada satu pun yang bisa menghindarinya. Semua sedang menunggu giliran untuk dijemput oleh malaikat pencabut nyawa utusan-Nya.
Sesungguhnya, kematian adalah nasihat terbaik dalam hidup. Dengan mengingat kematian, manusia akan bersungguh-sungguh dalam mempersiapkannya. Dunia yang tampaknya penuh kesenangan, gemerlap dan segala keindahannya ini hanyalah fana. Keabadian adalah di akhirat kelak. Kebahagiaan sebenarnya adalah bila berada di dalam surga-Nya yang indah sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 185: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah diberikan disempurnakan pahalamu. Maka siapa saja yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia telah beruntung. Dan tidaklah kehidupan dunia itu melainkan kesenangan yang memperdaya.”
Wallahu a’lam bish-shawwab