"Sungguh, keberadaan BBM dan gas yang terjangkau adalah hal yang perlu perhatian serius. Sayangnya dalam sistem kapitalisme suatu bentuk layanan diposisikan sebagai komoditas yang harus menghasilkan keuntungan."
Oleh. Syukrika Putri
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Belum usai huru hara mengenai masalah penggunaan MyPertamina sebagai alat pembayaran bagi BBM jenis pertalite dan solar yang mulai diujicobakan pada awal bulan Juli, kini Pertamina kembali mengeluarkan kebijakan yang tak enak di hati dan juga di dompet yaitu menaikkan harga sejumlah produk Bahan Bakar Khusus (BBK) atau BBM nonsubsidi, Minggu (10/7/2022). Kenaikan harga meliputi pertamax turbo, pertamina dex, dan dexlite, serta LPG nonsubsidi, seperti Bright Gas. (tirto.id)
Kalau menurut Pertamina, kenaikan harga ini mengacu pada harga minyak dunia saat ini dan kenaikan ini sudah sesuai aturan yang berlaku. Aturan yang dimaksud adalah Kepmen ESDM 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga jenis bahan bakar umum (JBU). Jadi, dengan mengacu pada aturan ini penyesuaian harga akan terus dilakukan mengikuti tren harga pada industri minyak dan gas dunia. Nah, kebetulan nih, harga minyak dunia memang sedang naik. Harga minyak ICP per Juni menyentuh angka 117,62 dolar AS/barel atau lebih tinggi 37% dari harga ICP pada Januari 2022. Begitupun dengan LPG. Tren harga (CPA) gas pada bulan Juli ini mencapai 725 dolar AS/Metrik Ton (MT) atau lebih tinggi 13% dari rata-rata CPA sepanjang tahun 2021.
Maka, dengan serangkaian proses perhitungan berdasarkan pada peraturan tadi (Kepmen ESDM 62/K/12/MEM/2020) didapatkanlah penyesuaian harga di angka sekitar Rp2.000, baik per liter untuk BBM atau per kg untuk gas. Berhubung kenaikan ini terjadi kepada bahan bakar nonsubsidi yang dimana juga berarti penggunanya adalah kalangan menengah ke atas, maka pemerintah beranggapan bahwa kenaikan harga sekitar Rp2.000 ini tak akan memberatkan sehingga daya beli masyarakat terhadap bahan bakar nonsubsidi akan tetap terjaga. Namun, kalau dipikir-pikir lebih tepatnya masyarakat dibuat tidak punya banyak pilihan selain bertahan dengan bahan bakar nonsubsidi meskipun harganya mahal karena untuk mendapatkan bahan bakar subsidi harus melalui drama MyPertamina dan antrean yang melelahkan. Keadaan ini otomatis akan mengakibatkan meningkatnya pengeluaran yang akan memengaruhi daya beli masyarakat. Bila daya beli tergerus, aktivitas konsumsi rumah tangga bisa terganggu, sehingga berimbas pada laju pertumbuhan ekonomi yang tertahan.
Belum lagi bicara kemungkinan bangkitnya mafia-mafia penimbun atau pengoplos yang memanfaatkan keadaan untuk memproduksi bahan bakar yang jauh lebih murah, tak perlu ribet untuk mendapatkannya namun tentu bahayanya juga nggak main-main.
Sungguh, keberadaan BBM dan gas yang terjangkau adalah hal yang perlu perhatian serius. Sayangnya dalam sistem kapitalisme suatu bentuk layanan diposisikan sebagai komoditas yang harus menghasilkan keuntungan. Seperti itulah BBM dan gas diatur dalam sistem ini. Selama ini bahan bakar subsidi dianggap membebani negara, sementara harga bahan bakar nonsubsidi dianggap tidak sesuai dengan harga keekonomian alias tidak menguntungkan.
Sungguh miris. Padahal, Rasulullah saw telah mengingatkan dalam suatu hadisnya: “Al-muslimuna syuraka’u fi tsalatsin, al-ma’u wa al-kala’u wa an-naru” (Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api) (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam hadis tersebut api adalah sumber-sumber energi, seperti gas dan minyak bumi. Barang-barang ini tak boleh dikelola dengan prinsip bisnis untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Kembali lagi, penguasa dalam Islam adalah ra’in atau pengurus rakyat. Sehingga hubungan penguasa dan rakyat adalah hubungan pelayanan bukan hubungan penjual dan pembeli. Terlebih lagi, dalam hadis di atas telah ditetapkan bahwa padang rumput, air, dan api itu adalah milik rakyat. Jadi, semestinya kompensasi yang dibayarkan oleh rakyat kepada negara hanyalah biaya produksinya saja. Dengan begitu, maka tentu BBM dan gas akan dinikmati oleh rakyat dengan harga yang sangat terjangkau bahkan murah.
Hanya saja, konsep pengelolaan seperti ini hanya dapat terjadi dalam sistem politik yang menerapkan Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah Islamiah. Semoga umat segera sadar akan rusaknya sistem kapitalisme dan beralih kepada sistem Khilafah yang penuh berkah dan menyejahterakan. Wallahu a’lam.