Cukai Rokok Maslahat untuk Rakyat?

“Dalam konteks negara kapitalisme, produksi rokok tidak akan mengacu pada nilai mudarat atau maslahat, melainkan adanya nilai keuntungan yang didapatkan dari konsumen atau masyarakat yang sengaja dibuat kecanduan dengan mengisap asap kenikmatan aroma tembakau tersebut.”

Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Pengertian cukai menurut Wikipedia adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, yaitu: konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif, untuk itu bagi pemakaiannya dikenai beban pungutan negara sebagai upaya keadilan atau keseimbangan.

Beberapa barang yang dikenai cukai seperti minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, kemudian hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan atau bahan pengganti atau ekstrak tambahan lainnya.

Cukai Primadona Kas Negara

Pendapatan dari cukai barang-barang tersebut sangat besar untuk penerimaan kas negara, terutama cukai tembakau yang jadi primadona di negeri ini. Seperti dilansir kontan.com, 22/12/2021, diperoleh data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatat realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) sampai dengan akhir November 2021 sebesar Rp161,7 triliun. Dan di akhir 2021 target pemerintah sebesar Rp173,7 triliun.

Hal yang wajar bila pemerintah berencana menaikkan kembali tarif cukai rokok di tahun 2023 sebesar rata-rata 12%. Secara mekanisme struktur tarif cukai rokok juga disederhanakan dari sebelumnya 10 layer menjadi 8 layer. Artinya dari cukai rokok diharapkan bisa diperoleh penambahan pendapatan kas negara yang lebih besar lagi secara lebih mudah.

Hal tersebut menjadi rencana Menkeu Sri Mulyani atas implementasi PMK Nomor 192 Tahun 2021 yang disinyalir sebagai upaya menggenjot pendapatan negara dari cukai agar perekonomian negara segera membaik di tengah tumpukan utang luar negeri saat ini yang kian mepet jatuh temponya agar tidak gagal bayar.

Sekali pun pemerintah memiliki alasan yang humanis mengenai kenaikan cukai rokok ini. Pertama, berkaitan dengan kesehatan masyarakat sehingga pemerintah perlu menekan prevalensi merokok, terutama pada anak-anak.

Kedua, mengenai tenaga kerja dan keberlangsungan industri rokok, terutama pada produsen rokok kretek tangan yang proses pelintingannya masih manual.

Ketiga, tentunya mengenai penerimaan negara karena cukai rokok memiliki kontribusi terhadap pendapatan negara setiap tahun.

Namun, alasan tersebut mendapat kritikan dari Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar yang menyatakan, jika pemerintah peduli terhadap keberlangsungan industri tembakau, seharusnya fokus terhadap pemberantasan rokok ilegal. Menurut Sulami, dikutip dari liputan6.com, 17/7/2022, “Keberadaan rokok ilegal telah membuat negara kehilangan pendapatan sekitar Rp53 triliun.”

Cukai Rokok Menurut Syariat Islam

Serupa tapi tidak sama dengan pajak, cukai hanya berlaku terhadap barang-barang dengan karakteristik dan sifat tertentu dan pungutan ini memiliki maksud utama, yaitu pengendalian dan pengawasan. Sementara pajak lebih bersifat umum atas harta yang dimiliki rakyat.

Upaya pengawasan atau pengendalian terhadap barang yang dikenai cukai disebabkan adanya dampak kerugian (idlrar) yang diderita oleh pihak lain, baik secara langsung (mubasyir) maupun tidak langsung (mutasabbib), baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kesimpulannya cukai bersifat sebagai bagian pertanggungan risiko kerugian pihak lain, maka akad cukai dalam fikih adalah masuk cabang dari akad dlaman (ganti rugi).

Menurut mazhab fikih Asy-Syafii, dijelaskan bahwa dlaman itu adalah:

وَالْأَحْسَن أَن يُقَال الِالْتِزَام حَتَّى يَشْمَل إِحْضَار من عَلَيْهِ الْحق إِذا ضمنه

Secara mudahnya, dlaman merupakan suatu akad yang bersifat diikatkan (pada pihak yang melakukan kerugian) sehingga masuk di dalam akad itu perlunya menghadirkan pihak yang memiliki hak menerima ganti rugi. Lebih lengkapnya dalam kitab Kifayatu al-Akhyar, halaman 165.

Sementara berkaitan dengan rokok itu sendiri hukum asalnya mubah, karena rokok termasuk benda (al-asy-ya)_ yang dapat dihukumi kaidah fikih yang berbunyi, “Al- _ashlu fi al-asy-ya al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim” . Yaitu hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, seperti pendapat Ibnu Hajar ‘Asqalani dalam Kitab Fathul Bari, 20/341.

Dengan demikian, rokok mubah karena tak ada dalil khusus yang mengharamkan tembakau (at-tabghu; at-tanbak). Adapun hukum rokok menjadi haram, kaitannya dengan dharar (bahaya) tertentu, sedangkan rokok itu sendiri tetap mubah bagi selain mereka. Dalilnya adalah kaidah fikih yang berbunyi:” Kullu fardin min afrad al-amr al-mubah idza kaana dhaarran aw mu`addiyan ilaa dhararin hurrima dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan”.

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Kitab Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/457, menjelaskan kaidah di atas, bahwa setiap kasus dari sesuatu (benda/perbuatan) yang mubah, jika berbahaya atau mengantarkan pada bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan, sedangkan sesuatu itu tetap pada hukum semula, yaitu mubah.

Berdasarkan hal ini, rokok dihukumi haram hanya bagi individu tertentu yang terkena bahaya tertentu, semisal kanker jantung atau paru-paru. Namun, tidak menjadikan hukum rokok lalu haram seluruhnya, tetapi tetap mubah bagi selain mereka.

Merokok menjadi dharar (bahaya), jika mengakibatkan kematian atau dikhawatirkan mengakibatkan kematian. Hal semacam ini haram karena termasuk bunuh diri (QS An-Nisaa` : 29). Kategori bahaya lainnya, jika merokok sampai meninggalkan perkara yang wajib, kecanduan yang membuat seseorang melakukan keharaman.

Jika bahaya merokok belum sampai pada kriteria di atas, maka rokok tetap mubah. Namun, lebih menjaga diri untuk meninggalkan kebiasaan merokok. Mereka yang merokok (tadkhin) dalam kondisi ini (tak menimbulkan kematian atau meninggalkan yang wajib), namun tetap tindakannya dalam jangka panjang menimbulkan bahaya pada diri sendiri yang hukumnya makruh.

Dalam konteks negara kapitalisme, produksi rokok tidak akan mengacu pada nilai mudarat atau maslahat, melainkan adanya nilai keuntungan yang didapatkan dari konsumen atau masyarakat yang sengaja dibuat kecanduan dengan mengisap asap kenikmatan aroma tembakau tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan kekhilafahan Islam yang akan selalu melindungi rakyatnya dari segala kemudaratan dari apa yang dikonsumsinya. Negara tidak akan mengambil bea cukai, apalagi menjadikan komoditas industri pada barang-barang yang sekiranya dapat membahayakan baik secara individu, apalagi masyarakat secara umum.

Wallahu’alam bish Shawwab.[]


Photo : Unsplash

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Maman El Hakiem Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pembajak dan Pembebek
Next
BRIN: Alokasi Dana Salah Sasaran, kok Bisa?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Yuli Juharini
Yuli Juharini
2 years ago

Perokok pasif kadang punya penyakit paru-paru, sementara yg aktif merokok malah sehat-sehat saja. Itu yg terjadi pada tetanggaku. Kasihan, dia tdk merokok tapi terkena imbasnya, akibat menghirup asap rokok dari org2 yg merokok secara terus menerus.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram