"Jika kita lihat, persoalan haji saat ini bak centang perenang, serampangan. Mulai dari lamanya daftar antrean, pengurusan visa mahal dengan birokrasi rumit, pengelolaan dana haji yang tidak transparan, tambahan kuota ditolak membuat publik kian kecewa dan bertanya-tanya, “Apa sebenarnya yang sedang terjadi?“. Benarkah sekadar masalah teknis pemerintah menolak tambahan kuota Arab Saudi? Ataukah ada masalah lain yang menjadi penyebabnya, misal dana tidak ada?"
Oleh. Sarie Rahman
(Kontributor NarasiPost.com)
NarasiPost.Com- Pemerintah memutuskan menolak 10 ribu tambahan kuota haji dari pemerintah Arab Saudi, sontak membuat kecewa para calon jemaah. Padahal tahun ini hanya 100.051 jemaah haji yang bisa berangkat, dari 221 ribu jamaah gagal berangkat pada 2020 dan 2021. Ini menambah panjang daftar antrean calon jemaah haji yang saat ini nyaris 100 tahun lamanya.
Penolakan kuota tambahan bukan satu-satunya masalah dan bukan hanya menimpa haji reguler, lebih dari 4.000 jamaah haji furoda (haji khusus) tidak bisa berangkat tahun ini lantaran terkendala visa. Yang merupakan problem pelik tidak hanya di Indonesia dan bukan permasalahan haji saja, mulai dari birokrasi yang rumit hingga mahalnya harga pengurusan visa.
https://narasipost.com/2022/07/08/soal-dana-haji-mari-cari-solusi/
Keputusan pemerintah menolak tambahan kuota dari pemerintah Arab Saudi sangat disayangkan banyak pihak, salah satunya wakil ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW). Pasalnya sesuai penjelasan Kemenag, penentuan kuota haji tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Besaran haji reguler dan khusus bukan lagi melalui penandatanganan MoU antara dua negara melainkan melalui e-Haj Saudi. Alhasil, tidak ada celah bernegosiasi menentukan kuota, karena kuota diberikan langsung oleh pemerintah Arab Saudi. Terlebih lagi Komisi VIII DPR RI sebelumnya pernah mengusulkan kepada pemerintah agar melobi tingkat tinggi kepada pihak Arab Saudi untuk mendapatkan kuota haji tambahan, serta menyuarakan protes masyarakat tentang lamanya antrean calon jemaah haji. Lantas, kenapa ketika pemerintah Arab Saudi memberikan kuota tambahan pemerintah Indonesia justru tidak mengambilnya? Bahkan penolakannya tidak dimusyawarahkan secara resmi dan tidak melalui persetujuan konvensional Komisi VIII DPR RI?
Menurut Hidayat Nur Wahid jika alasan ditolaknya tambahan kuota karena waktu dan teknis terkait visa dan akomodasi di Saudi yang terlalu dekat, namun harusnya langsung dimusyawarahkan dengan DPR sejak hari pertama setelah disepakati pada (22/6/2022) dan langsung disampaikan pada pihak Arab Saudi bukan malah menolak sepihak.
Jika kita lihat, persoalan haji saat ini bak centang perenang, serampangan. Mulai dari lamanya daftar antrean, pengurusan visa mahal dengan birokrasi rumit, pengelolaan dana haji yang tidak transparan, tambahan kuota ditolak membuat publik kian kecewa dan bertanya-tanya, “Apa sebenarnya yang sedang terjadi?“. Benarkah sekadar masalah teknis pemerintah menolak tambahan kuota Arab Saudi? Ataukah ada masalah lain yang menjadi penyebabnya, misal dana tidak ada? Mengingat pembatalan haji bukan hanya sekali dialami calon jemaah, namun dua kali berturut-turut terjadi pembatalan, memunculkan tanya bagi publik, "Mengapa pembatalan pemberangkatan diputuskan sementara pihak Arab Saudi belum memutuskan?"
Wajar jika akhirnya rakyat mulai krisis kepercayaan terkait persoalan haji ini. Bila melihat dari pengelolaan dana haji sebesar Rp150 triliun per Mei sangat rawan mengalami kebocoran. Dan fakta di lapangan mengungkapkan adanya beberapa oknum Kemenag yang terciduk KPK atas dugaan penyelewengan dana haji. Meski uang haji dinyatakan aman oleh kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimanyu, tidak cukup membuat publik tenang. Lebih-lebih lagi dengan diinvestasikannya dana haji ke beberapa deposito perbankan syariah dan sukuk negara. Masalahnya, apakah seluruh jemaah setuju uangnya diinvestasikan?
Pelaksanaan haji bukan sesuatu yang baru, terlepas ada atau tidaknya penyelewengan dana haji, harusnya problem penolakan kuota haji tidak terjadi, karena haji merupakan program rutin tahunan. Mestinya pemerintah sudah kapabel mengatasi setiap permasalahan yang berkenaan dengan pelaksanaan haji, agar umat mudah menunaikan ibadahnya.
Pengurusan haji berikut masalah pemberangkatan tidak bisa dianggap sebatas persoalan teknis. Pelayanan yang baik dan sempurna kepada jemaah haji merupakan jalan pemerintah memudahkan warganya yang akan beribadah agar mereka khusyuk menjalankannya tanpa terbebani masalah teknis lainnya. Karenanya penguasa yang amanah secara otomatis akan menjadi regulator yang memudahkan umat menunaikan ibadahnya dengan khusyuk. Misalnya dengan membenahi administrasi, seperti mekanisme keberangkatan diatur sedemikian rupa agar mengutamakan yang sudah mampu. Alasannya karena belum jatuh kewajiban bagi mereka yang belum mampu berhaji. Tidak diperbolehkan adanya dana talangan haji, karena selain berbasis riba dana ini dapat menyebabkan daftar antrean makin panjang. Oleh karenanya, dibutuhkan departemen khusus yang terkonsolidasi dari daerah hingga pusat untuk mengurus urusan haji.
Di samping itu, ongkos naik haji (ONH) juga harusnya disesuaikan dengan biaya kebutuhan para jemaah, bukan dihitung untung rugi apalagi digunakan untuk investasi bisnis. Jika perhitungan ONH berdasarkan orientasi bisnis, ditambah biaya hotel, alat transportasi dan lainnya yang terlampau mahal akan membuat tarif ONH kian membubung tinggi.
Karut-marut persoalan haji di samping ketidaksiapan, disebabkan pula lemahnya diplomasi Indonesia di hadapan Arab Saudi. Misalnya masalah 10 ribu kuota, jika penyebab tidak bisa berangkatnya haji reguler karena urusan birokrasi harusnya pemerintah bisa melobi Arab Saudi agar kuota dilimpahkan pada haji khusus yang sebagian besar saat ini gagal berangkat. Atau masalah visa, untuk mempercepat keluarnya mestinya pemerintah bisa melobi pihak terkait. Akan tetapi semua itu tidak tersolusi karena diplomasi Indonesia yang terlihat lemah pada semua pihak terkait.
Hanya Kesatuan Politik yang Mampu Menyelesaikan Polemik Haji
Kompleksnya masalah haji mulai dari birokrasi, visa, daftar antrean yang panjang serta tingginya ongkos naik haji solusinya hanyalah kesatuan politik. Saat ini umat tersekat-sekat batas konseptual negara (nation states) yang mempersulit urusan haji. Mestinya seluruh negeri muslim mempunyai paradigma sama dalam mempermudah urusan berhaji.
Seperti pada masa kekhilafahan Utsmani, Khalifah Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istanbul sampai Madinah untuk mengangkut jamaah haji dari berbagai pelosok, untuk memudahkan pelaksanaan haji para jemaah.
https://narasipost.com/2022/07/11/karut-marut-ibadah-haji-dalam-asuhan-kapitalisme/
Adapun Khalifah Harun ar Rasyid pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Beliau membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Mekkah-Madinah), dan di masing-masing titik dibangun pos pelayanan umum, yang menyediakan logistik serta dana zakat, diperuntukkan bagi jamaah yang kehabisan bekal.
Jika saja negeri-negeri mayoritas muslim bersatu dalam naungan satu institusi daulah Islamiah, muslim sedunia tidak akan kesulitan menunaikan ibadah haji, karena daulah akan memberikan regulasi yang baik terkait haji, tidak ada lagi biaya mahal ataupun urusan diplomasi. Dari sini dapat di simpulkan bahwa urusan haji butuh kesatuan politik umat Islam, kita buka sekat nasionalisme yang justru menghalangi umat muslim menunaikan ibadah haji.[]
Photo : pinterest