“Inilah wujud neoimperalisme dan neokolonialisme di era modern. Menjajah tanpa perang, melainkan dengan senjata utang. Karena beban utang, negara (atas ‘titah’ negara pemberi utang) akan mengerek pajak, men-skip subsidi untuk rakyat, meliberalisasi aset-aset strategis seperti SDA dan migas kepada swasta, asing, dan aseng.”
Oleh. Pipit Agustin
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Belum lama ini, sejumlah lembaga internasional seperti IMF, World Bank, hingga UN PBB merilis laporan yang memprediksi akan ada 60 negara yang ambruk akibat krisis global. Bahkan, 42 di antaranya dipastikan sudah menuju ke sana dan Sri Lanka sebagai ‘pionirnya’.
Sebagaimana dilansir cnbcindonesia (22/6/2022), ada beberapa negara yang diramal akan alami resesi. Salah satunya Rusia yang tahun ini diperkirakan -8,9%. Amerika Latin juga alami kejatuhan ekonomi dibandingkan dengan tahun lalu. Antara Meksiko, Chili, Argentina, Kolombia, El Savador, Paraguay, hingga Peru. Sementara itu untuk kawasan Timur Tengah ada Lebanon dan Suriah yang alami kontraksi, di mana masing-masing -6,5% dan -2,6%. Nasib buruk juga diperkirakan menimpa Maroko. Negara lainnya adalah Ukraina dengan -45,1%, Kirgistan -2% dan Moldova -0,4%.
Bank Dunia telah memberi peringatan terhadap sejumlah negara yang berpotensi mengalami kebangkrutan seperti Sri Lanka. Terdapat sebanyak 9 negara yang berpotensi bernasib sama seperti Sri Lanka. Dalam laporan Crisis Response Group, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), 9 negara tersebut di antaranya, Afganistan, Argentina, Mesir, Laos, Lebanon, Myanmar, Pakistan, Turki dan Zimbabwe.
Jika prediksi lembaga internasional tersebut benar-benar menjadi kenyataan, lantas apa yang bisa dilakukan para pemimpin negara-negara di dunia? Bagaimana bentuk upaya berjaga-jaga, waspada, dan hati-hati yang diperlukan agar tidak tersambar resesi?
Gegara Utang
Penyebab kenapa Sri Lanka bisa bangkrut adalah kegagalan membayar utang luar negeri senilai 51 miliar dolar AS (Rp764,79 triliun). Pemerintah Sri Lanka juga kehabisan dolar, sehingga tidak mampu membiayai impor barang-barang pokok termasuk BBM. Kebangkrutan ekonomi Sri Lanka hari ini sesungguhnya mengingatkan kita pada peristiwa serupa yang menimpa lima negara lainnya yakni Zimbabwe (tahun 2008), Argentina (tahun 2001 dan 2014), Ekuador (tahun 2014), Yunani (tahun 2015), dan Venezuela (tahun 2017).
Penyebab utama kebangkrutan ekonomi negara-negara tersebut sekali lagi adalah utang, tepatnya utang ribawi yang gagal dibayarkan. Kebangkrutan itu menjelma dalam wujud antrean bahan bakar dan gas, pembatasan listrik, meroketnya harga pangan hingga lebih dari 80%. Ending-nya, terjadilah krisis politik yang memicu kerusuhan sosial tanpa bisa dikendalikan.
https://narasipost.com/2020/12/05/ledakan-utang-negara-bikin-bangga/
Wabah krisis yang melanda negara-negara di dunia saat ini tidak bisa dilepaskan dari pelopornya yakni negara-negara kapitalis Barat yang sudah mengalaminya terlebih dahulu. Sebut saja krisis kredit tahun 1772 di London, Inggris, lalu Great Depression yang berlangsung hampir satu dekade, yakni tahun 1929-1939 di AS. Kemudian krisis subprime mortgage tahun 2007-2008 yang lahir di AS dan mengungguli Great Depression. Wabah ini kemudian menular di Asia dan di seluruh dunia dengan beragam coraknya.
Krisis Asia pertama kali muncul di Thailand pada 1997 dan dengan cepat menyebar ke seluruh Asia Timur dan mitra niaganya, termasuk ke Indonesia. Indonesia sendiri sudah tiga kali mengalami krisis ekonomi, yakni tahun 1998, lalu 2003, dan 2013.
Syndrom 'Ngutang' telah menjalar di seluruh kawasan negara di dunia, terutama dunia ketiga. Indonesia sendiri berulang kali melakukan penerbitan utang pemerintah dan jumlahnya selalu bertambah tiap tahunnya selama periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada 2016, penerbitan utang sebesar Rp660,8 triliun, kemudian bertambah menjadi Rp726,3 triliun pada 2017. Setahun kemudian, penerbitan utang pemerintah menjadi Rp782,3 triliun dan Rp921,5 triliun pada 2019 lalu. Selama pandemi Covid-19, pemerintah menambah utang hingga Rp1.530,8 triliun. Bukannya menyusut, utang Indonesia kian membengkak. Posisi utang hingga 31 Mei 2022 mencapai Rp7.002,24 triliun. Peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban yang tidak semestinya pada generasi mendatang.
Utang tersebut memiliki konsekuensi yakni pembayaran pokok utang jatuh tempo maupun bunga utang setiap tahunnya. Ahli Ekonomi menyebut bahwa Indonesia saat ini sudah masuk dalam debt trap, yakni harus utang untuk bayar utang. Gali lubang tutup lubang. Kondisi ini sudah relatif berat. Karenanya, harus waspada tingkat dewa.
https://narasipost.com/2021/06/15/hampir-ambruk-negeri-ini-berada-di-ujung-tanduk/
Tingkat utang pemerintah yang cukup tinggi terbukti telah menurunkan pengaruh politis negara di kancah global. Dari beberapa kebijakan ekonomi dan politik, kita merasakan aroma asing dalam mendikte sebuah negara yang mempunyai beban utang sangat tinggi.
Inilah wujud neoimperalisme dan neokolonialisme di era modern. Menjajah tanpa perang, melainkan dengan senjata utang. Karena beban utang, negara (atas ‘titah’ negara pemberi utang) akan mengerek pajak, men- skip subsidi untuk rakyat, meliberalisasi aset-aset strategis seperti SDA dan migas kepada swasta asing dan aseng.
Tak cukup sampai di situ, pemberi utang juga menebar rayuan untuk pembangunan infrastruktur atas nama investasi. Ending-nya bisa kita lihat sekarang. Banyak insfrastruktur mangkrak sebelum finishing dan terpaksa dijuak demi membayar bunga utang. Miris.
Inilah watak penguasa yang terdidik dalam atmosfer kapitalisme neoliberal. Watak pemboros anggaran dan bergaya hidup wah di tengah kondisi rakyat yang sedang susah. Lihat saja polemik anggaran gorden istana, hingga rencana renovasi kantor petinggi BRIN. Benar-benar fantastis nirempatinya.
Kita Bisa Apa?
Ibarat labirin, peliknya problematik negeri ini. Ancaman krisis akibat utang yang menggunung tinggi dan kemiskinan yang meluas samudera, di manakah jalan keluarnya?
Jika kita cermati, tak ada negara yang benar-benar bisa selamat dari ‘bedil’ utang luar negeri. Ini merupakan karakter ekonomi kapitalisme yang ribawi. Riba tidak pernah membawa kemaslahatan bagi suatu negeri. Hal ini telah disampaikan oleh pemimpin umat Islam, Nabi Muhammad saw. dalam sabda beliau, “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah." (HR Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani).
Karenanya, sebagai negeri muslim terbesar, semestinya Indonesia mengoreksi diri bahwa kemajuan dan modernitas yang ditawarkan Barat melalui utang dan investasi adalah resep beracun bagi kedaulatan negara. Bertahan dengan mindset kapitalisme dalam mengelola negara sama saja menyiapkan akselerasi kematian bangsa. Bangsa ini membutuhkan perubahan mindset, dari kapitalisme neoliberal menuju syariat Islam.https://narasipost.com/2021/03/24/bahaya-utang-bagi-kedaulatan-indonesia/
Islam memiliki solusi mengakar untuk menciptakan perekonomian yang tangguh. Risalah Islam yang luhur menawarkan visi politik alternatif agar terlepas dari jerat krisis dan kemiskinan serta penjajahan ekonomi negara-negara kapitalis imperialis. Visi politik Islam memiliki single leadership untuk umat Islam di seluruh dunia yakni Khilafah Islam. Khilafah akan mengangkat beban ekonomi yang terlampau berat dari pundak umat lalu memindahkannya ke atas bahu sang Khalifah yang kuat.
Beberapa prinsip Khilafah yang dapat mengeluarkan Indonesia dari labirin krisis sekaligus mengembalikan wibawa negara antara lain:
Pertama, visi ekonomi independen yang akan menjaga kedaulatan ekonomi. Negara Khilafah tidak akan tunduk pada asing mana pun, baik pemerintah maupun MNC. Karenanya, Khilafah tidak akan menerima utang luar negeri ataupun perjanjian-perjanjian yang mencederai kedaulatan negaranya. Hal ini karena syariat Islam memiliki konfigurasi khas dalam mengatur hubungan internasional yang niscaya akan mengeliminasi setiap intervensi atau dominasi asing.
Kedua, Khilafah mengontrol secara penuh penguasaan dan pengelolaan SDA milik umat serta mengontrol perjanjian dagang internasional. Semua kekayaan SDA dikelola oleh Khilafah dan dipergunakan untuk kepentingan umum rakyat sehingga seluruh rakyat merasakan manfaat dari aset-aset penting. Hasil pengelolaan SDA secara mandiri akan dibelanjakan untuk pendidikan, kesehatan, pertahanan, infrastruktur, dan pengentasan kemiskinan. Ini di satu sisi. Sementara di sisi lain, Khilafah tidak menoleransi segala jenis penimbunan kekayaan dan memastikan bahwa kekayaan beredar di tengah masyarakat. Tidak boleh ada investasi asing dalam pembangunan infrastruktur, pertanian, teknologi, dan industri. Perjanjian dagang internasional dikontrol demi memperkuat stabilitas politik dalam negeri, dakwah Islam, dan perekonomian dalam negeri.
Ketiga, Khilafah akan menjalankan politik ekonomi Islam. Hal ini terwujud dalam berbagai kebijakan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan primer individu rakyat, serta terjaminnya pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kapabilitas tiap individu rakyat.
Khilafah Islam Memberi Bukti, Tak Sekadar Teori
Abu Ubaidah dan kitab Al-Amwal adalah mahakarya sekaligus bukti orisinal kredibilitas Khilafah dalam membangun perekonomiannya. Ensiklopedia Keuangan Publik atau Kitab Al-Amwal merupakan sebuah karya tentang ekonomi yang ditulis oleh Abu Ubaid Al-Qasim. Kitab ini menekankan beberapa materi mengenai perpajakan, zakat, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional.
Salah satu kutipan dari Kitab Al-Amwal adalah sebagai berikut:
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman.
Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata, "Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga." Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu."
Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, "Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut."
Abu Ubaidah juga menceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata kepada pegawainya yang membagikan sedekah, “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”. Beliau melanjutkan, “Berilah mereka itu sedekah berulang kali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus onta”.
Masyaallah, Umar bin Khattab menerapkan politik ekonomi yang mengedepankan rakyat. Prinsip kebijakan yang diimplementasikan Khalifah Umar belasan abad yang lalu ini menjadi bukti bahwa Khilafah adalah harapan untuk perekonomian global di masa mendatang. Khilafah di abad modern akan memiliki kebijakan yang tidak hanya memastikan individu rakyat terpenuhi kebutuhannya, tetapi juga menjadikan mereka mandiri melalui mekanisme hibah atau pinjaman tanpa bunga, baik untuk mengelola pertanian mereka maupun untuk merintis bisnis.
Kuncinya adalah berpedoman pada Al-Qur'an dalam seluruh pengambilan kebijakan. Hari ini, ketika umat tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai tuntunan, wajar jika kehidupan mereka begitu jauh dari keberkahan. Kemiskinan struktural, krisis berjilid-jilid menjadi lekat dengan kehidupan umat Islam. Bahkan, wibawa mereka hilang di hadapan umat dan bangsa-bangsa lain.
Sungguh hanya dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an, jaminan rahmat dan kemuliaan akan kita dapatkan. Dan ini adalah wujud nyata iman dan takwa.
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Qur’an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Al-A’raf: 52)
Wujud keimanan kepada Al-Qur'an meniscayakan ketundukan dan kepatuhan dengan mengimplementasikan isinya dalam bentuk undang-undang yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dan hal itu harus terus-menerus diperjuangkan.
Jika Amerika menghabiskan ratusan juta dolar untuk mengatasi krisis ekonominya, maka Islam menangkal krisis hanya dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan berpedoman pada Al-Qur'an, akan ada jalan keluar dari setiap persoalan. Wallahu a'lam[]