"Kekerasan seksual terhadap para santri tentu bukanlah kesalahan dari pondok pesantren, tetapi kesalahan dari individunya sendiri. Hal tersebut bisa terjadi tentu tidak luput dari sekularisme yang tertanam dari sang guru. Sistem kapitalisme yang memiliki asas sekuler telah berhasil menghancurkan moral manusia, termasuk guru agama."
Oleh. Sri Retno Ningrum
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setelah menjadi buronan selama 6 bulan atas kasus pencabulan terhadap 5 santriwati di pondok pesantren milik ayahnya sendiri yakni Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang. Akhirnya, Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Bechi menyerahkan diri pada Kamis, 7 Juli 2022 tengah malam. Atas tindakannya tersebut pelaku dijerat pasal 285 KUHP tentang perkosaan jo pasal 65 KUHP ancaman pidana 12 tahun, atau pasal 289 KUHP jo pasal 65 ancaman pidana 9 tahun, atau pasal 294 ayat 2 P2KP jo pasal 65 KUHK dengan ancaman pidana 7 tahun penjara. (Suara Sumsel 8/7/2022)
Sebelumnya pernah terjadi pula kasus pencabulan di Pondok Pesantren Madani Boarding School di Cibiru Bandung, Jawa Barat terhadap 13 santriwati yang dilakukan Herry Wiarawan dan akhirnya divonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung. (Republika.co.id 8/7/2022)
Dari berbagai peristiwa kekerasan seksual di pondok pesantren sekarang ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi orang tua, khususnya anaknya yang berada di pondok pesantren. Padahal, pondok pesantren menjadi salah satu cara agar anak-anak atau generasi memiliki tsaqofah Islam yang mumpuni di tengah gempuran liberalisme yang terjadi sekarang ini.
Tak bisa dimungkiri, bahwa setiap pondok pesantren pasti memberikan pelajaran agama yang terbaik bagi santriwan dan santriwati. Guru-guru pun memiliki tsaqofah Islam yang mumpuni. Namun, ketika dijumpai kasus kekerasan seksual terhadap para santri tentu bukanlah kesalahan dari pondok pesantren, tetapi kesalahan dari individunya sendiri. Hal tersebut bisa terjadi tentu tidak luput dari sekularisme yang tertanam dari sang guru. Sistem kapitalisme yang memiliki asas sekuler telah berhasil menghancurkan moral manusia, termasuk guru agama. Sekularisme menganggap bahwa urusan agama harus dipisahkan dari kehidupan manusia. Artinya, agama tidak boleh mengatur manusia dalam menjalankan muamalah dengan orang lain. Akibatnya, ketika di luar ibadah ritual, maka manusia berhak melakukan apa pun sesukanya tanpa ada syariat yang membatasinya atau melarangnya, sehingga wajar tindakan asusila seperti itu bisa terjadi di pondok pesantren.
Sekularisme pun telah berhasil melahirkan masyarakat yang bebas sekalipun merugikan orang lain. Adapun macam-macam kebebasan adalah kebebasan beragama, kebebasan berekspresi atau bertingkah laku, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan berpendapat. Adapun terkait kasus pencabulan merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi atau bertingkah laku yang mengakibatkan santriwati kehilangan keperawanannya. Keinginan orang tua agar anaknya sekolah lulus dari pondok pesantren menjadi generasi faqih fiddin pun lenyap seketika karena trauma berat yang dialami korban.
Lebih dari itu, maraknya kekerasan seksual yang terjadi di negara ini, khususnya pondok pesantren diperparah oleh media-media liberal, baik media cetak, elektronik maupun media sosial. Semua konten diperbolehkan masuk tanpa ada penyaringan dari negara, khususnya di media sosial. Di media tersebut seseorang bisa membuat konten apa pun meski pada akhirnya merusak generasi dan memunculkan gharizahtun na’u, namun penyalurannya melanggar hukum syarak. Naudzubillah!
Islam memandang bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan yang berdosa. Adapun untuk mencegah adanya kekerasan seksual maka perlu adanya sistem pergaulan dalam Islam. Adapun ketika Islam pernah jaya lebih dari 1300 tahun yang lalu dalam bentuk Khilafah Islamiah, negara menerapkan aturan bergaul antar individu, yakni sebagai berikut:
- Larangan ikhtilat atau campur baur dengan lawan jenis.
- Larangan khalwat atau berdua-duaan tanpa didampingi mahram.
- Larangan safar lebih dari 24 jam tanpa didampingi mahram.
- Larangan tabarruj atau berdandan berlebih-lebihan.
- Wajib menutup aurat di hadapan selain mahramnya. Sebagaimana firman Allah Swt. di surat an-Nur ayat 31.
- Menundukkan pandangan ketika bertemu dengan lawan jenis selain mahramnya. Sebagaimana firman Allah swt. dalam surah an- Nur ayat 30. Sehingga ketika kaum muslim menerapkan hal itu, maka akan terjaga dari hal-hal yang menjerumuskan pada kemaksiatan. Dengan cara seperti itu, insyaallah kaum muslim akan terhindar dari kasus kekerasan seksual. Adapun sanksi yang pernah diterapkan khilafah adalah bagi orang yang berzina, pezina yang belum menikah (ghair muhsan) dijilid 100 kali cambukan. Adapun pezina yang sudah pernah menikah (muhsan) dirajam hingga mati. ( Sistem Sanksi dalam Islam , Abdurrahman Al-Maliki dan Ahmad Ad-Da’ur, halaman 29).
Maka dari itu, tidak ada lagi pilihan bagi kaum muslim untuk bersegera meninggalkan sistem kapitalisme kemudian beralih pada sistem Islam atau Khilafah. Maka, diperlukan peran dari kaum muslim untuk mewujudkan kembali sistem Islam yang dulu pernah ada. Dengan Khilafah, niscaya kasus pencabulan khususnya di pondok pesantren tidak akan terulang lagi. Sebaliknya, lewat pondok pesantren akan lahir generasi-generasi yang gemilang buah dari keagungan peradaban Islam. Wallahu’alam Bisshowab.[]