"Utang luar negeri digunakan sebagai bagian dari penjajahan model baru yang merusak kedaulatan negara. Terhadap segala hal berbahaya dan merusak, maka utang luar negeri diharamkan. Utang tidak boleh dijadikan penopang ekonomi. Negara justru dituntut untuk mandiri dan menjauhi sifat boros sebagaimana dalam kapitalisme."
Oleh. Sartinah
(Penulis Inti Narasipost.Com)
NarasiPost.Com-Presiden Gotabaya Rajapaksa tengah menjadi bulan-bulanan massa. Kemarahan dan emosi rakyat Sri Lanka seolah tak mampu dibendung lagi. Frustrasi karena krisis ekonomi pun memuncak pada Sabtu waktu setempat ketika ribuan demonstran menerobos penjagaan bersenjata ke istana presiden pada Sabtu, 09 Juli 2022. Rajapaksa dan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe pun sampai diungsikan pada Jumat malam saat pengunjuk rasa tak bisa lagi dibendung.
Kediaman Presiden Gotabaya Rajapaksa di dearah Benteng Kolombo pun tak lepas dari amuk massa. Meski polisi sempat melepaskan tembakan ke udara, tetapi tidak mampu membendung massa yang emosinya telah memuncak di sekitar kediaman presiden. Kediaman presiden menjadi salah satu target seiring dengan tujuan rakyat Sri Lanka untuk menggulingkan sang Presiden dari tampuk kekuasaan. Mereka menuduh Rajapaksa telah korupsi, salah mengelola ekonomi, hingga mendorong negara itu menuju kebangkrutan.
Setelah didemo rakyatnya dan melalui banyak drama pelarian ke berbagai negara, Presiden Gotabaya Rajapaksa akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya secara resmi pada Jumat, 15 Juli 2022. Saat kabar pengunduran diri Rajapaksa tersebar, rakyat pun berkumpul di sekitar kantor presiden dan merayakannya. Mereka bersorak dan menari sambil mengibarkan bendera Sri Lanka.
Mengapa Sri Lanka bisa jatuh ke dalam krisis ekonomi parah hingga mengalami kebangkrutan? Apa pula pelajaran yang bisa dipetik oleh Indonesia atas kebangkrutan Sri Lanka?
Penyebab Krisis
Sri Lanka merupakan negara yang terletak di selatan India dengan jumlah penduduk sebanyak 22 juta orang. Negara di Asia Selatan itu kini tengah menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak merdeka dari Inggris pada 1948. Sri Lanka telah mengalami kebangkrutan setelah gagal bayar atas utang luar negerinya yang cukup besar.
Ketidakmampuan negara tersebut membayar utang karena elementer negerinya tidak mampu menopang dampak dari global. Hal ini pun diperparah dengan pemenuhan komoditas pangan untuk masyarakat yang seluruhnya diperoleh dari impor. Sehingga saat terjadi kenaikan harga global, maka defisit anggarannya pun membengkak karena tingginya jumlah belanja. Dampak dari krisis tersebut membuat sejumlah sekolah dan kantor pemerintahan tidak mampu lagi melayani masyarakat.
Sri Lanka yang membangun pertumbuhan ekonominya berbasis utang luar negeri justru menghasilkan pengeluaran yang lebih besar daripada pemasukan. Kondisi ini mengakibatkan Sri Lanka mengalami kekurangan bahan makanan, bahan bakar, dan listrik selama berbulan-bulan. Sampai akhirnya negara tersebut menyatakan kebangkrutannya. Titik kejatuhan Sri Lanka terjadi karena kebiasaan berutang yang sangat tinggi untuk infrastruktur, tetapi tidak diikuti kemampuan untuk membayar.
Sementara itu, gagal bayar utang luar negeri Sri Lanka adalah sebesar US$51 miliar atau Rp729 triliun dengan kurs Rp14.300,00 (Detiknews.com, 23/06/2022). Banyak pihak menilai, salah satu penyebab kebangkrutan Sri Lanka adalah akibat jebakan utang Cina. Dikutip dari Times of India pada Kamis, 23 Juni 2022, total pinjaman Sri Lanka ke Beijing mencapai US$8 miliar atau setara dengan Rp114,400 triliun yang dikucurkan melalui skema Belt and Road Initiative (BRI). Jumlah tersebut sekitar 1/6 dari total utang luar negerinya.
Selain utang, Sri Lanka juga kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata akibat terjangan pandemi Covid-19, hingga semakin menambah kolapsnya negara itu. Ditambah pula dengan inflasi yang tinggi akibat hasil pokok negara berupa beras menurun drastis. Beras yang biasanya diekspor, kini tak bisa lagi dilakukan. Sri Lanka malah berbalik menjadi negara pengimpor beras besar-besaran saat pandemi.
Bisa dibayangkan bagaimana beratnya pemerintah Sri Lanka harus memberi makan 22 juta penduduknya yang semuanya harus dibeli. Negara itu sampai kehabisan devisa untuk membiayai impor baik makanan, bahan bakar, serta obat-obatan, hingga akhirnya tak mampu lagi membeli beras untuk makan rakyatnya.
Terjerat 'Jebakan Utang'
Salah satu negara yang dituduh sebagai dalang kebangkrutan Sri Lanka adalah Cina. Sebagaimana diketahui, Cina merupakan salah satu negara kreditur terbesar Sri Lanka. Dalam satu dekade terakhir, negeri Tirai Bambu itu telah meminjamkan dananya kepada Sri Lanka lebih dari US$5 miliar untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur termasuk jalan, bandara, hingga salah satunya pembangunan pelabuhan Hambantota. Sayangnya, pembangunan proyek-proyek tersebut justru tidak memberi manfaat secara ekonomi untuk Sri Lanka.
R Ramakumar, seorang Profesor Ekonomi di Tata Institute of Social Sciences, menulis di Channel News Asia. Dia menyoroti bahwa 'jebakan utang' Cina bertanggung jawab secara singular atas situasi ekonomi yang mengerikan di Sri Lanka. Dalam laporan tersebut dikatakan, gagal bayar atas pinjaman terkait infrastruktur Cina ke Sri Lanka, terutama disebabkan oleh pembiayaan pelabuhan Hambantota, yang disebut-sebut berkontribusi terhadap krisis. (WartaEkonomi.co.id, 19/04/2022)
Diketahui, pembiayaan pembangunan pelabuhan Hambantota dilakukan oleh Bank Exim Cina dengan bantuan dana segar sebesar US$361 juta (sekitar Rp5 triliun). Dalam perjalanannya, pelabuhan yang dibangun pada tahun 2008 itu justru mengalami kerugian, sehingga Sri Lanka harus melepaskan dan menyewakannya kepada Grup Pedagang Cina selama 99 tahun. Mereka membayar kepada Sri Lanka sebesar US$1,12 miliar.
Padahal, Hambantota merupakan pelabuhan laut dalam utama milik Sri Lanka yang diharapkan mampu membangkitkan ekonomi negara itu. Namun, utang yang menggunung dan utang investasi Cina yang besar untuk membangun pelabuhan, ternyata tak bisa dibayar oleh Sri Lanka. Hal ini berakibat pada berpindahnya pengelolaan pelabuhan tersebut. Jika Sri Lanka bangkrut karena dicengkeram utang luar negeri, lantas bagaimana nasib Indonesia yang juga terjerat utang ke Cina?
Bahaya Utang Luar Negeri
Meski sebagian pengamat mengatakan bahwa Indonesia masih 'jauh' dari yang dihadapi Sri Lanka, tetapi hal ini tidak boleh dianggap enteng. Pasalnya, posisi utang Indonesia per Mei 2022 telah mencapai Rp7.002 triliun atau 38,88 persen dari produk domestik bruto (PDB). Utang tersebut tidaklah sedikit, terlebih ditambah dengan cicilan bunga utang yang terus bertambah. Seharusnya kebangkrutan Sri Lanka menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Sebab, Indonesia juga menjadi negara pecandu pinjaman. Bukan tidak mungkin, ke depannya Cina pun akan mengambil alih satu per satu aset negeri ini.
Beberapa bahaya nyata dari utang luar negeri, di antaranya:
Pertama, semakin kuatnya hegemoni asing. Dalam kamus kapitalisme berlaku ungkapan no free lunch alias tidak ada makan siang gratis. Suatu negara yang memberikan utang kepada negara lain, maka mereka akan menancapkan pengaruhnya pada negara pengutang. Bahkan, ketika negara pengutang tak mampu membayar pinjamannya, negara pemberi utang akan terus menawarkan pinjaman. Hal ini dilakukan agar negara pengutang terus bergantung dan menjadi pecandu pinjaman.
Kedua, utang luar negeri adalah alat penjajahan dan penindasan. Negara asing yang memberikan kucuran dananya dipastikan akan mendikte negara pengutang dengan dikte-dikte politik yang menekan. Utang merupakan awal dari penjarahan dan penjajahan. Seperti diketahui, bunga utang yang lebih tinggi daripada pokoknya, memaksa banyak negara untuk menjual aset-aset negara dan mencabut subsidi bagi rakyatnya.
Ketiga, menjadi jalan perampokan kekayaan negara, baik SDA maupun aset-aset strategis lainnya. Dengan alasan utang, mereka melakukan legitimasi politik dan ekonomi. Salah satunya dengan mengapitalisasi sumber daya alam kepada negara pemberi utang. Setelah SDA dikuasai, langkah selanjutnya adalah memberi pinjaman pada proyek-proyek infrastruktur. Bayangkan saja jika proyek tersebut berasal dari utang luar negeri, lalu negara tersebut tidak mampu membayar utang, maka besar kemungkinan aset infrastruktur tersebut menjadi milik asing.
Keempat, menciptakan jebakan utang. Pinjaman luar negeri yang tidak mampu dibayar, maka negara pengutang akan mencari utang baru guna menutup utang yang lama. Ini seperti gali lubang tutup jurang. Hal inilah yang membuat negara pengutang terjerat dalam lingkaran setan utang dan sulit melepaskan diri.
Demikianlah, kesengsaraan hakiki akan menimpa negara mana pun jika masih menggantungkan pembangunan ekonominya dengan basis utang. Meski kondisi krisis akibat utang akan berbeda-beda pada setiap negara, tetapi dampaknya terhadap rakyat sejatinya adalah senada. Utang hanyalah memperkaya negara-negara Barat, tetapi mencekik ekonomi negara-negara miskin dan mendorong mereka untuk berutang lebih lanjut. Inilah gambaran sistem kapitalisme yang penuh dengan konsekuensi dan membawa bencana bagi banyak negara.
Solusi Islam
Islam mampu menjawab seluruh persoalan yang melanda dunia, termasuk soal utang luar negeri. Hal ini tidak lepas dari keunggulan sistem ekonomi Islam yang menyandarkan segala sesuatunya berdasarkan syariat Islam. Pasalnya, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sehingga, solusinya pun akan mendatangkan kebaikan bagi manusia.
Sistem ekonomi Islam secara tegas menolak bunga dan model pertumbuhan ekonomi yang berbasis utang. Islam juga melarang penimbunan barang dan monopoli kekayaan serta mewajibkan distribusi kekayaan yang merata, sehingga semua orang dapat menikmati standar hidup yang lebih berkualitas.
Kemudian yang berikutnya, Islam melarang privatisasi SDA seperti minyak, gas, dan air. Sebab, Islam menempatkan aset tersebut sebagai kepemilikan umum, sehingga pendapatan yang dihasilkan dari SDA harus digunakan untuk seluruh masyarakat. Rasulullah saw. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api."
Selain itu, Islam juga menolak utang luar negeri. Namun, ketika utang tersebut dilakukan oleh negara dalam bentuk utang luar negeri, maka ini menjadi persoalan yang berbeda. Jika ditelisik lebih mendalam dari kacamata Islam, ada beberapa hal yang rusak terkait ULN ini.
Pertama, utang luar negeri tidak bisa dilepaskan dari riba. Padahal, Islam secara tegas telah mengharamkan riba beserta ancaman terhadap mereka yang terkait dengannya. Sebagaimana termaktub dalam hadis al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani, "Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah."
Kedua, utang luar negeri digunakan sebagai bagian dari penjajahan model baru yang merusak kedaulatan negara. Terhadap segala hal berbahaya dan merusak, maka utang luar negeri diharamkan.
Ketiga, utang tidak boleh dijadikan penopang ekonomi. Negara justru dituntut untuk mandiri dan menjauhi sifat boros sebagaimana dalam kapitalisme.
Keunggulan sistem ekonomi Islam telah dibuktikan selama masa Rasulullah saw. Defisit anggaran saat itu hanya terjadi ketika penaklukan Kota Makkah, tetapi dapat segera diatasi pada periode perang Hunain di tahun yang sama.
Khatimah
Kebangkrutan Sri Lanka hanyalah salah satu contoh kerusakan ekonomi kapitalisme yang semakin tampak. Apabila kapitalisme tetap dijadikan acuan dalam mengatur ekonomi, maka kebangkrutan negara-negara lain hanya tinggal menunggu waktu. Sungguh, hanya dengan meninggalkan sistem kapitalisme dan kembali pada sistem ekonomi Islam sebagai solusi, negeri-negeri di dunia termasuk negeri muslim mampu keluar dari jerat utang luar negeri.
Wallahu a'lam bish shawab[]