Filantropi Islam dalam Pusaran Stigmatisasi

“Pola eksekusi ‘diktator’ macam ini pernah dilakukan pemerintah pada dua ormas yang dibubarkan dengan kesemena-menaan. Keteguhan keduanya dalam memperjuangkan syariat Islam membuat pembencinya meradang. Rupanya islamofobia sudah merasuki petinggi negeri ini. Kini giliran lembaga pemegang sekaligus penyalur aset umat beserta pengurusnya yang lekat dengan simbol keislaman menjadi sasaran empuk.”

Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Masyarakat dikejutkan dengan terbongkarnya kasus penyalahgunaan dana donasi publik yang dilakukan salah satu lembaga filantropi populer. Sebab, selama ini masyarakat menaruh harapan dan kepercayaan besar pada lembaga penyalur bantuan nonpemerintah ini. Berulangnya kasus korupsi dan penyaluran bantuan dengan prosedur yang berbelit, bahkan tidak tepat sasaran menjadi alasan kuat publik enggan menitipkan donasinya pada lembaga pemerintah.

Sebagaimana dilansir dari Cnnindonesia.com (10/7/2022) diduga terjadi penyelewengan dana publik oleh lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dana yang telah digalang, ‘diputar' terlebih dahulu hingga menghasilkan ‘cuan’ kemudian disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Namun sayang, aliran dana itu bocor pula mengisi pundi-pundi para petingginya.

Lantas bagaimanakah sepak terjang lembaga filantropi di Indonesia? Tepatkah sikap pemerintah dalam mengeksekusi kasus ini? Mengapa skandal yang melibatkan oknum pelaku dan lembaga yang religius dan kental dengan simbol keislaman saat ini santer diberitakan? Bagaimana pandangan Islam terkait aktivitas filantropi berikut lembaganya?

Perbedaan Filantropi, Charity, dan CSR

Great! Indonesia didaulat sebagai negara paling dermawan di dunia versi World Giving Index pada tahun 1998 dan 2021 yang dirilis Charities Aid Foundation (CAF). Indikatornya pada aktivitas menyumbang pada orang asing (tak dikenal) dan kegiatan volunteer. Direktur Filantropi Indonesia Hamid Abidin mengungkap rahasia di balik keberhasilan Indonesia meraih penobatan ini.

Pertama, kentalnya pengaruh ajaran agama dan tradisi lokal yang berkaitan dengan gotong royong dan aktivitas derma. Terbukti, donasi berbasis keagamaan seperti zakat, infak, dan sedekah menjadi penggerak utama kegiatan filantropi, terlebih di masa pandemi.

Kedua, keberhasilan pegiat filantropi dalam mentransformasikan kegiatan filantropi dari konvensional menjadi digital. Ketiga, meningkatnya keterlibatan kalangan muda dan key opinion leader (influencer) dalam kegiatan filantropi (Filantropi.co.id, 15/06/2021).

Jika kita telusuri asal usul filantropi ini, ternyata kemunculan istilah dan aktivitasnya bermula dari Yunani. Filantropi berasal dari dua kata, yakni philos (cinta) dan anthropos (manusia). Maknanya cinta pada sesama manusia atau peduli pada kondisi manusia lain yang diejawantahkan pada perilaku berderma. Tradisi ini telah eksis sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno ketika mereka mendonasikan harta bendanya untuk perpustakaan dan pendidikan. Begitu pula Mesir Kuno yang rela mewakafkan lahannya untuk dimanfaatkan oleh para pemuka agama.

Seiring perkembangannya, filantropi diartikan secara meluas sebagai upaya untuk berbagi dalam menyalurkan sumber daya dan berderma secara terorganisir untuk kepentingan jangka panjang, strategis, dan berkesinambungan. Misalnya pemberdayaan ekonomi, perempuan, advokasi buruh migran, dan lainnya. Sedangkan charity sifatnya direct giving dan sebatas menangani symptom (gejala). Berbeda pula dengan CSR (Corporate Social Responsibility) yang hanya terbatas pada core bisnis tertentu dari suatu perusahaan saja.

Bak cendawan di musim hujan, keberadaan lembaga filantropi menjadi oase bagi masyarakat. Namun sayang, tingginya rasa charity di Indonesia tidak didukung penuh dengan regulasi yang ada. Regulasi terkait filantropi tidak update, nihil apresiasi, bahkan cenderung restriktif.

Pertama, terkait UU Penggalangan Uang dan Barang No.9 tahun 1961 ini dianggap kolot dan tidak relevan sehingga menghambat proses penggalangan dana. Salah satu isinya mengenai aturan fund raising yang mesti diperbaharui per 3 bulan sekali, hal ini yang justru merepotkan. Belum lagi terkait kategorisasi filantropi atau fund raising lokal, regional, dan nasional yang justru amat mengekang di era digital sat ini.

Kedua, aturan mengenai insentif pajak. Belum ada gebrakan menonjol dalam hal insentif pajak sebagaimana negara lain, seperti tax exception (pengecualian pajak terhadap sumbangan sebagai objek pajak) atau tax deduction (sumbangan sebagai pengurang penghasilan kena pajak). Di negeri ini, insentif pajak yang diberikan masih minim yakni 5 persen, sedangkan negara lain bisa mencapai 200 persen.

Profil ACT

ACT (Aksi Cepat Tanggap) merupakan salah satu lembaga filantropi berbentuk yayasan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Kegiatannya meliputi aksi tanggap darurat, program pemulihan pascabencana, pemberdayaan masyarakat, dan program berbasis spiritual seperti kurban, zakat, dan wakaf. Lembaga ini rilis secara resmi pada 21 April 2005.

Seluruh kegiatan lembaga ini didanai oleh donatur publik dari kalangan masyarakat yang peduli terhadap kemanusiaan serta partisipasi perusahaan dalam program CSR (Corporate Social Responsibility). Sebagai bukti transparansi dalam pengelolaan dana abadi umat ini, ACT secara rutin menyerahkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik kepada para donatur dan pihak yang berkepentingan, pun dipublikasikan melalui media massa.

Sejak tahun 2012 ACT mengembangkan dirinya menjadi sebuah lembaga kemanusiaan global, dengan jangkauan aktivitas yang meluas. Mengepakkan sayapnya di 30 provinsi dan 100 kota/kabupaten di Indonesia dengan jejaring MRI (Masyarakat Relawan Indonesia) dan kantor cabang ACT. Tak berhenti sampai sana, ACT pun berkibar di kancah internasional dalam bentuk representative person dan kantor, jejaringnya sudah merambah 22 negara (act.co.id)

Dugaan Pelanggaran ACT

Tak disangka lembaga filantropi populer ini dilanda badai prahara. ACT ‘ditebas' sedemikian rupa oleh penguasa negeri ini dengan beberapa dugaan pelanggaran. Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendy begitu sigap mencabut izin pengumpulan uang dan barang ACT berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Tak berhenti sampai sana, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPAT) Ivan Yustiavandana pun langsung memblokir 60 rekening atas nama lembaga tersebut.

Adapun dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga ACT. Pertama, pasal terkait pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil pengumpulan sumbangan. Sedangkan ACT menggunakan rata-rata 13,7 persen untuk dana operasional termasuk gaji pengurus. Presiden lembaga ACT Ibnu Hajar membenarkan hal tersebut, bahkan gaji presiden ACT pernah mencapai Rp250 triliun per bulan pada awal 2021. Namun, diturunkan pada September 2021 dikarenakan donasi berkurang. Perihal banyaknya pemotongan dana yang dilakukan ACT, perlu diketahui bahwa ACT bukanlah lembaga amal yang perizinannya dari Baznas atau Kemenag. Tapi ACT merupakan lembaga kemanusiaan berbentuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mengantongi izin dari Kementerian Sosial.

Kedua, pasal terkait pembebasan pajak untuk yayasan pengumpulan donasi yang diatur dalam PP Nomor 29 Tahun 1980 Pasal 6 ayat 2. Lembaga ACT diduga tidak langsung menyalurkan donasi, namun melakukan ‘perputaran uang’ terlebih dahulu. Praktik bussiness to bussiness ini ‘haram’ dilakukan lembaga amal sebab lembaga ini terbebas dari pajak. Sedangkan lembaga usaha ‘wajib’ dipungut pajak.

Ketiga, pasal 38 ayat 1 UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Yakni yayasan dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi/perusahaan yang berafiliasi dengan pengurus yayasan. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan bahwa ACT berafiliasi dengan sejumlah perusahaan (PT) yang didirikan oleh pendiri lembaga tersebut.

Keempat, terindikasi adanya aliran dana ke beberapa wilayah/negara yang merupakan hotspot aktivitas terorisme dan anggota Al-Qaeda. Hal tersebut dilakukan oleh salah satu pegawai ATC yang pernah diringkus oleh kepolisian Turki karena terkait Al-Qaeda. Dalam hal ini, PPATK akan menggandeng BNPT dan Densus 88.

Tim legal lembaga ACT Andri menilai ketetapan pemerintah terkait pencabutan izin ACT tampak reaktif. Padahal, ada regulasi lain yakni Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 8/2021 Pasal 27 yang menjelaskan sanksi administrasi bagi penyelenggara PUB yang mengantongi izin Kemensos dilakukan dalam 3 tahapan yakni teguran secara tertulis (maksimal 3 kali dengan jangka waktu seminggu jarak antara satu teguran dengan teguran selanjutnya), penangguhan izin, dan pencabutan izin. Faktanya, tanpa ada teguran tertulis lembaga langsung ‘ditebas’ dalam sekejap mata. Beberapa tuduhan seperti keterkaitan dengan kelompok teroris pun dianggap tidak relevan dengan faktanya.

Nasib Dana Umat

Jika perkara ACT ini berlanjut ke pasal penipuan atau UU Tipikor, besar kemungkinan semua aset ACT disita negara. Namun, hal ini justru akan memicu masalah baru karena aset tersebut bukan milik perseorangan atau yayasan/lembaga semata, tapi aset umat yang harus didonasikan. Persoalannya, apakah pemerintah punya sistem mekanisme pengelolaan aset hasil tindak pidana untuk didistribusikan kembali sesuai mekanisme penyaluran bantuannya?

Patut dicurigai, jika aset umat ini masuk ke kantong pemerintah maka besar kemungkinan akan dialokasikan untuk pos lain yakni pembayaran cicilan bunga utang. Mengingat kondisi negeri yang sedang dililit utang mencapai Rp8.068 triliun. Bukan tidak mungkin digunakan pula untuk menambal defisit APBN Rp840,2 triliun. Tak dimungkiri, negeri ini sedang morat-marit dalam hal keuangan. Maka aset fantastis ACT bak oase di tengah gurun pasir.

Tak ayal, perampasan aset umat oleh negara jelas akan merugikan pihak donatur dan masyarakat. Niat baik untuk berbagi kepada sesama terjegal oleh regulasi negara. Ahli Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Paku Utama memandang, sebaiknya pemerintah mengedepankan upaya deteksi dan pencegahan. Jika pun terbukti bersalah, berikan sanksi hukum yang tegas pada semua oknum yang terlibat tanpa harus membubarkan yayasan/lembaga apalagi merampas asetnya. Perkuat monitoring terhadap aliran transaksi organisasi sejenis. Agar kasus yang sama, tidak terulang kembali.

Framing Jahat

Publik mempertanyakan betapa sigapnya pemerintah dalam menangani kasus ACT. Sebagaimana kita tahu, banyak kasus-kasus serupa yang ‘menggantung’ bahkan 'lenyap' ditelan bumi. Namun, kenapa pemerintah dan media begitu ‘cepat tanggap' merespons kasus ini?

Pola eksekusi ‘diktator’ macam ini pernah dilakukan pemerintah pada dua ormas yang dibubarkan dengan kesemena-menaan. Keteguhan keduanya dalam memperjuangkan syariat Islam membuat pembencinya meradang. Rupanya islamofobia sudah merasuki petinggi negeri ini. Kini giliran lembaga pemegang sekaligus penyalur aset umat beserta pengurusnya yang lekat dengan simbol keislaman menjadi sasaran empuk.

Mengapa pula media begitu getol menggoreng isu ini sedemikian rupa? Jika kita menilik kembali salah satu karya Cheryl Bernard yang berjudul “Cicil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategy” disebutkan dua poin. First, encouraging journalists to investigate issues of corruption, hypocrisy, and immorality. Media diformat sedemikian rupa untuk ‘menggoreng’ secara masif terkait kesalahan berikut kelemahan para tokoh religius yang mengelola lembaga yang lekat dengan simbol keislaman. Seperti tindak penyelewengan dana, pelecehan seksual, kemunafikan dan lainnya. Fungsinya untuk memutus public trust pada semua hal yang bernuansa Islam.

Second, exposing their relationships with illegal groups and activities. Media pun diplot untuk mengekspos keterkaitan para tokoh dan pengelola lembaga Islam dengan jaringan ilegal yang dicap radikal, dan teroris. Tujuannya agar masyarakat alergi terhadap lembaga tersebut dan enggan mengalirkan donasinya.

Oleh karena itu, masyarakat mesti mawas diri dan menyiapkan filter dalam menangkap pemberitaan media-media mainstream. Sebab, mereka bekerja bukan atas dorongan materi semata, namun ada motif ideologis di baliknya.

Gegara Kapitalisme

Sebenarnya masyarakat sudah jengah dan lelah berjuang sendiri. Bagaimana tidak, kebijakan-kebijakan yang digulirkan pemerintah dari waktu ke waktu makin tak berpihak pada kepentingan rakyat. Tak henti-hentinya kita disuguhkan kenaikan harga, kelangkaan barang pokok, rumitnya mekanisme bantuan dan subsidi bagi rakyat, ditambah sikap egoisme dan ketidakpiawaian para pemangku negeri dalam mengurus rakyatnya. Inilah dampak dari sistem sekuler-kapitalisme yang merasuki negeri ini.

Berangkat dari fakta tersebut, nurani masyarakat yang berkecukupan bahkan berlebih menyeruak ingin mengulurkan tangan bagi yang kurang mampu. Dorongan iman pun terus memompa rasa charity itu, namun mereka enggan untuk terjebak pada rumitnya prosedur bila menyalurkannya lewat lembaga resmi negara. Tak pelak, keberadaan lembaga filantropi menjadi alternatif yang kian digandrungi semua kalangan.

Pada hakikatnya, memenuhi kebutuhan masyarakat adalah tugas negara, bukan individu atau kelompok masyarakat. Pengambilalihan tugas ini justru akan melalaikan para penguasa akan kewajibannya. Namun, pencabutan izin dan perampasan aset lembaga ACT ini sebenarnya bukan dalam rangka merebut kembali wewenang pemerintah pada tempatnya. Namun, diduga kuat ada niat terselubung yang mendasarinya, mengingat aliran dana yang dikelola lembaga ini sangat fantastis dan menggiurkan. Pengelolanya digebuk, dananya direbut.

Filantropi dalam Pandangan Islam

Islam dan filantropi bagai dua sisi mata uang, tak terpisahkan. Banyak sekali dalil yang memuat tentang perintah zakat, berinfak, dan bersedekah. Allah Swt. berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 103: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka”. Rasulullah saw. pun bersabda: “Sedekah tidak akan mengurangi harta” (HR. Tirmizi). Sungguh, harta yang didermakanlah yang akan menjadi tabungan berharga kita di akhirat kelak. Inilah yang menjadi motivasi muslim dalam membagi hartanya dengan kaum papa.

Tak hanya sekadar perintah, filantropi ini dikelola oleh lembaga resmi negara yang disebut Baitulmal. Khilafah (sebutan bagi negara yang secara normatif dan formal menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupannya) satu-satunya pihak yang berwenang mengelola Baitulmal. Lembaga ini menjadi kekuatan ekonomi Islam, wujud implementasi dari perintah Allah dalam Al-Qur’an tentang pengelolaan keuangan umat. Bukan hanya sebagai lembaga resmi penyalur keuangan umat yang karitatif, tapi mengatur keuangan negara yang bersifat praktis dan produktif.

Baitulmal menampung harta milik umum berupa pengelolaan sumber daya alam, berikut harta zakat; infak; dan sedekah, pun harta milik negara berupa ganimah, fa’i, kharaj, khumus, dan lainnya. Namun, keduanya tersimpan dalam ‘brankas’ berbeda dan dikelola sesuai peruntukannya berdasarkan tuntunan syarak. Pemanfaatannya meliputi program-program pembangunan ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dakwah, jihad dan semua kebutuhan masyarakat dan negara. Kecuali harta zakat, hanya dikhususkan untuk disalurkan pada 8 ashnaf saja, tak boleh keluar dari track itu. Fungsi Baitulmal sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara Islam dan khalifah merupakan pihak yang berkuasa penuh terhadap harta Baitulmal.

Memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat merupakan tugas Khilafah, dananya diambil dari Baitulmal. Wewenang ini ‘haram’ dilimpahkan pada pihak lain, sebab ini merupakan kewajiban negara. Namun demikian, masyarakat boleh saja jika ingin melakukan direct giving kepada sesama. Namun, tidak membentuk lembaga filantropi yang dapat ‘melalaikan' negara.

Sejatinya, Baitulmal sudah ada sejak zaman Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin, hingga kekhilafahan terakhir, Khilafah Utsmaniyah di Turki. Luar biasa kepiawaian dan kejujuran Khalifah Umar bin Khattab dalam mengelola Baitulmal. Beliau berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan dua potong pakaian musim dingin, serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seorang di antara orang-orang Quraisy biasa. Dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.”

Sang Khalifah memilih kehidupan yang bersahaja, namun teguh menerapkan keadilan termasuk urusan ekonomi melalui pengelolaan Baitulmal. Pada masanya, ketika ada yang terluka atau kehilangan kapabilitas untuk bekerja, maka negara bertanggung jawab menanggung nafkahnya. Keamanan sosial pun dijamin atas lansia, menua dengan bahagia. Bahkan, bayi-bayi tanpa orang tua dipelihara oleh negara.

Khatimah

Sejatinya, jika pemimpin bertanggung jawab atas masyarakat yang dipimpinnya, maka kehidupan akan berjalan normal, bahagia, dan berkah. Hubungan yang terjalin antara keduanya akan semakin harmonis. Masyarakat tak perlu mengandalkan lembaga filantropi, sebab ada pemimpin yang ‘menawarkan bahunya' untuk bersandar.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Kemuning
Next
Wisata Pantai Selatan yang Masih Perawan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Umi Hafidz
Umi Hafidz
2 years ago

Sistem Kapitalisme memberikan ruang kemaksiatan terbuka lebar, namun tidak dengan Khilafah yang justru akan membuat masyarakat terikat dengan hukum syara di bawah kepemimpinan yang amanah...

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram