ACT ‘Digebuk’, Lembaga Amal di Ujung Tanduk

“Sekali lagi, umat harus tetap mengawal proses tersebut agar dana umat yang jumlahnya fantastis tidak jatuh ke tangan pihak ‘yang mahakuasa’ di negeri ini. Hal ini bukan tanpa alasan. Jika dana umat sudah berada di bawah kendali pemerintah, maka bukan tidak mungkin bahwa dana tersebut akan digunakan untuk menambal defisit anggaran guna membayar darurat fiskal.”

Oleh. Sartinah
(Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tengah diguncang prahara. Lembaga filantropi yang banyak memberikan perhatian terhadap masalah kemanusiaan di dalam dan luar negeri tersebut, dituding melakukan penyelewengan dana umat. Tak main-main, tudingan tersebut telah menimbulkan reaksi yang luar biasa di tengah masyarakat. Bahkan, ada seruan memboikot pemberian dana ke ACT di sosial media.

Sejarah Lahirnya ACT

Aksi Cepat Tanggap (ACT) merupakan organisasi nirlaba profesional yang memusatkan kerja kemanusiaan pada penanggulangan bencana, mulai dari fase darurat sampai pada pemulihan pascabencana. Lembaga filantropi ini pertama kali melakukan kegiatannya pada 1994 di Liwa, Lampung Barat, saat terjadi gempa bumi di sana. (Wikipedia)

Lembaga ini secara resmi diluncurkan pada 21 April 2005 sekaligus dikukuhkan secara hukum sebagai yayasan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. ACT kemudian mengembangkan sayapnya pada ruang lingkup yang lebih luas, mulai dari kegiatan tanggap darurat, kemudian mengembangkan kegiatannya ke program pemulihan pascabencana, pemberdayaan dan pengembangan masyarakat, juga program dengan basis spiritual seperti kurban, zakat, dan wakaf.

Pada 2012, ATC mengukuhkan diri sebagai lembaga kemanusiaan global yang memiliki jangkauan lebih luas. Pada tingkat lokal, ACT telah mengembangkan jaringan ke semua provinsi baik dalam bentuk jaringan Relawan Masyarakat Indonesia (MRI), maupun dalam bentuk jaringan kantor cabang ACT. Jaringannya pun telah menjangkau 30 provinsi serta 100 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Sedangkan pada tingkat global, ACT telah mengembangkan jaringan dalam bentuk representatif person hingga menyiapkan kantor di luar negeri. Jangkauannya pun telah merambah ke 64 negara di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, Indocina, Timur Tengah, Eropa Timur, dan Afrika. Aktivitas globalnya pun diawali dengan terjun membantu dalam tragedi kemanusiaan di berbagai belahan dunia.

Dugaan Penyelewengan

Setelah melanglang buana ke berbagai belahan dunia membawa misi kemanusiaan, ACT seketika lumpuh diterpa dugaan penyelewengan dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Dugaan tersebut muncul pertama kali dari laporan Majalah Tempo dengan tajuk “Kantong Bocor Dana Umat”. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) beserta pihak kepolisian bahkan menyatakan, ada aliran dana yang mengalir ke kelompok teroris, hingga dana tersebut dikelola dari bisnis ke bisnis sebelum disalurkan. Beberapa tuduhan penyelewengan oleh ACT di antaranya:

Pertama, dana tersebut mengalir ke Al Qaeda. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, sesuai hasil kajian dan database dari PPATK. Namun, tudingan tersebut dibantah oleh mantan Presiden ACT, Ahyudin.

Kedua, dikelola dahulu dari bisnis ke bisnis. PPATK menduga dana sumbangan masyarakat yang dikumpulkan ACT tidak langsung disalurkan ke penerima, tetapi dikelola terlebih dahulu dari bisnis ke bisnis demi mendapatkan keuntungan.

Ketiga, pemotongan dana donasi sebesar 10-20 persen. Hal ini dikemukakan oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) tentang pemotongan dana donasi sebesar 10-20 persen (sekitar 6 hingga 12 miliar) untuk keperluan pembayaran gaji pengurus dan karyawan, juga digunakan untuk dana operasional oleh pembina dan pengawas ACT.

Terkait pemotongan dana sebesar 20 persen untuk gaji karyawan, Polri menyatakan ACT telah melanggar aturan. Pasalnya, pelaksanaan pemotongan sumbangan sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980. Dalam PP tersebut dijelaskan bahwa biaya operasional dari pemotongan sumbangan tidak boleh lebih dari 10 persen.

Menyeruaknya dugaan penyelewengan oleh lembaga kemanusiaan Islam membuat pemerintah begitu tanggap. Hanya dalam hitungan hari, pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) mencabut izin Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) atas ACT pada Rabu, 6 Juli 2022. Tak hanya itu, PPATK pun segera bertindak dengan menghentikan sementara transaksi di 141 CIF pada lebih dari 300 rekening yang dimiliki ACT. Jumlah tersebut tersebar di 41 penyedia jasa keuangan (PJK). (Detiknews.com, 07/07/2022)

Mungkinkah ada motif lain di balik pembekuan aset ACT, mengingat dana yang mengalir dalam arus kas lembaga tersebut begitu fantastis? Mengapa pula kasus-kasus yang pelakunya berkaitan dengan simbol Islam begitu masif diberitakan?

Pengelolaan Dana Fantastis

Sudah menjadi rahasia umum jika ACT mengelola dana yang sangat besar. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyebut, jumlah dana yang dikelola lembaga filantropi tersebut mencapai Rp1 triliun setiap tahunnya (Tempo.co, 06/07/2022). Setelah dicabut izin PUB-nya dan kemudian dibekukan lebih dari 300 rekeningnya oleh PPATK, ACT kini berada di persimpangan. Akankah lembaga tersebut tetap menjadi penyambung amal antarmasyarakat, atau justru pupus dan bubar?

PPATK memang memiliki hak independen untuk membekukan rekening milik ACT berdasarkan pasal 65 ayat (1), UU NO. 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Namun, besarnya dana umat yang kini dibekukan harus tetap dikawal baik-baik oleh masyarakat. Hal ini sebagai langkah antisipasi tidak terulangnya kasus-kasus pemblokiran rekening sebelumnya.

Pasalnya, dalam UU TPPU pasal 67 ayat (2) disebutkan, jika dalam waktu tiga puluh hari kerja penyidik dan tidak dapat membuktikan pelaku atau tindak pidana yang didugakan terhadap ACT, maka penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memasukkan harta dalam rekening tersebut sebagai harta milik negara atau dikembalikan pada yang berhak.

Jika penyidik dan pengadilan memutuskan bahwa rekening tersebut dimasukkan sebagai harta milik negara, ini artinya dana umat yang diblokir tersebut berada di bawah kendali pemerintah terkait status pengelolaan dan pemanfaatannya. Jika hal ini terjadi, maka pihak yang akan dirugikan adalah para donatur dan ACT sendiri.

Sekali lagi, umat harus tetap mengawal proses tersebut agar dana umat yang jumlahnya fantastis tidak jatuh ke tangan pihak ‘yang mahakuasa’ di negeri ini. Hal ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, hingga saat ini defisit APBN sebesar Rp840,2 triliun, defisit neraca primer Rp462 triliun. Ini artinya, pemerintah harus mengambil utang baru untuk membayar cicilan bunga utang lama. Sementara, utang negara sendiri berjumlah Rp8.068 triliun. Jika dana umat sudah berada di bawah kendali pemerintah, maka bukan tidak mungkin bahwa dana tersebut akan digunakan untuk menambal defisit anggaran guna membayar darurat fiskal.

Peran Media

Pemberitaan terhadap dugaan penyelewengan dana umat begitu masif diberitakan media. Apalagi, saat oknum pelakunya berkaitan dengan simbol keislaman. Seperti kasus yang tengah menimpa ACT. Tekanan politik media hanyalah satu sisi. Di sisi lain, gempuran akan datang dari sebagian pihak yang dikangkangi kepentingan politik melalui drama hukum yang melelahkan. Sasarannya tentu bukan hanya ACT, tetapi upaya menjatuhkan kepercayaan umat terhadap Islam.

Mengapa media begitu masif memberitakan jika oknum pelakunya berkaitan dengan simbol keislaman? Mengutip “Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategi”, setidaknya ada dua tujuan mendasar:

Pertama, media didorong untuk memublikasikan secara masif tentang kesalahan oknum atau lembaga seperti korupsinya, kemunafikan, dan tindakan tidak bermoral lainnya. Tujuannya untuk memutus mata rantai kepercayaan masyarakat terhadap tokoh atau lembaga kemanusiaan Islam.

Kedua, memunculkan ke hadapan publik untuk mengaitkan tokoh atau pengelola lembaga dengan kelompok yang selama ini dicap teroris, radikal, dan ekstremis. Tujuannya tentu agar masyarakat menjauhi lembaga tersebut dan menjadi waspada untuk menyumbangkan dananya.

Negara Lepas Tangan

Siapa pun sepakat jika terjadi penyelewengan dan kesalahan di tubuh lembaga filantropi, maka seharusnya diperbaiki, bukan dihabisi. Terlepas dari dugaan penyelewengan dana umat, lembaga filantropi semacam ACT menjadi jembatan bagi mereka yang berpunya untuk berbagi kepada yang kekurangan.

Di saat lembaga kemanusiaan mampu menciptakan sebuah sistem yang menjembatani masyarakat untuk saling menolong, pemerintah justru terkesan membebani masyarakat melalui berbagai kebijakan yang mencekik. Seperti pencabutan berbagai subsidi, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, pajak yang mencekik, cicilan bunga-pokok utang yang menggunung, dan lain-lain.

Padahal, urusan pemenuhan hidup rakyat bukanlah menjadi tanggung jawab lembaga filantropi, tetapi menjadi tanggung jawab negara secara mutlak. Seharusnya negaralah yang lebih cepat tanggap menangani urusan kemanusiaan termasuk bencana alam, kemiskinan, kelaparan, dan sebagainya. Sayangnya, kebijakan politik dan ekonomi pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat justru telah menciptakan pemiskinan struktural di negeri ini.

Inilah konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang meniscayakan lepas tangannya negara dalam mengurus rakyat. Di satu sisi, pemerintah terus mendorong masyarakat untuk membantu meringankan beban negara melalui berbagai sumbangan, tetapi di sisi lain, pemerintah secara struktural justru melanggengkan derita rakyat melalui berbagai kebijakannya.

Pengelolaan Dana Umat dalam Islam

Sistem Islam tidak hanya digdaya secara politik, tetapi juga kokoh secara ekonomi. Segala urusan telah diatur secara sempurna berdasarkan syariat Islam, termasuk pengelolaan harta umat. Dalam Islam, harta-harta umat seperti zakat, infak, dan sedekah, telah diatur secara sempurna peruntukannya. Sementara, lembaga yang mengelola harta umat dikenal dengan nama Baitulmal.

Seorang khalifah adalah penanggung jawab seluruh urusan rakyat. Karena itu, semua problematik masyarakat dari yang kecil hingga yang besar menjadi tanggung jawab negara. Kewajiban ini tidak boleh dialihkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain. Karena itu, Rasulullah saw. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Imam/khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.”

Karena penanggung jawab rakyat adalah negara, maka negaralah yang seharusnya lebih ‘cepat tanggap’ terhadap penderitaan rakyatnya. Negara pula yang seharusnya mengelola harta umat demi mewujudkan kemaslahatan rakyat. Sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam hal pengelolaan harta umat semisal zakat. Khalifah Umar tak hanya dikenal sebagai sosok yang egaliter, sederhana, sabar, adil, tetapi juga terkenal sebagai pembela kaum duafa. Hal ini ditunjukkan dengan selalu mengutamakan kaum duafa sebagai penerima zakat.

Pada masa itu, zakat diperuntukkan bagi mereka yang sudah pikun dan orang-orang lumpuh. Termasuk mereka yang miskin, yang memiliki penyakit dan tidak mampu bekerja, serta bagi peminta-minta yang membutuhkan makanan. Sehingga terpenuhi seluruh hajat mereka dan tidak meminta-minta lagi. Tak hanya itu, zakat juga diprioritaskan bagi tahanan Islam yang tidak memiliki keluarga, pekerjaan, rumah, dan terlunta-lunta di jalanan.

Bahkan, seorang ahli hadis pada masa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz yang bernama Imam al-Zuhri, memerintahkan agar khalifah mendistribusikan zakat kepada fakir miskin yang memiliki utang, serta para musafir yang tidak memiliki keluarga dan kehabisan bekal. Keberhasilan pengelolaan zakat pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dibuktikan saat amil zakat dari Afrika melaporkan bahwa Baitulmal mereka penuh dengan harta zakat. Kemudian khalifah pun memerintahkan agar zakat digunakan untuk membayar utang bagi mereka yang memiliki utang.

Khatimah

Demikianlah seharusnya tanggung jawab seorang pemimpin terhadap urusan rakyatnya. Penguasa tidak lepas tangan dalam memikul amanahnya. Hubungan penguasa dengan rakyat pun dibangun berdasarkan prinsip ri’ayah, bukan seperti pedagang dan pembeli yang berhitung untung dan rugi. Rakyat sudah sepatutnya menyandarkan harapannya kepada penguasa, bukan pada lembaga filantropi sebagaimana saat ini. Prinsip ri’ayah seperti ini hanya akan terwujud dalam sistem Khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Wallahu a’lam bi ash shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Sri Lanka, Membawa Pesan Bahaya
Next
Kupendam Rasa, Kugenggam Asa
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram