"Keguncangan jiwa tanpa diundang datang dalam tiap aliran darah Nenek Sofia. Hatinya begitu terpukul harus kehilangan tiga orang yang dicintainya. Hingga ia pun keguguran. Ia melupakan kondisi kandungannya yang lemah saat itu karena tak siap ditinggal ketiga cintanya."
Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Burung-burung bertasbih di pagi hari. Sapaan sinar mentari menghangatkan jiwa-jiwa yang sepi. Tak ada lagi suara kidung tersaji. Kesunyian menyelimuti padepokan yang telah ratusan tahun berdiri. Bangunan kuno berdiri angkuh dan menjulang tinggi. Jeritan penyesalan menggema ke setiap sudut ruangan yang masih saja sepi.
Asap mengepul dari cawan yang berbaris di meja. Pemiliknya sedang termangu menembus kabut yang menyapa. Netranya menyapu tiap pucuk daun yang disinggahi tetesan embun. Suara burung yang bertasbih kian ramai menyapa gendang telinga Nenek Sofia. Sesekali tangannya mengipasi cawan berisi kahwa. Sampai dingin kahwanya, insan yang dinanti tak kunjung tiba.
Perasaannya diremas rasa rindu. Kepiluan menertawakan kesendirian yang menemani dalam syahdu. Nenek Sofia tak 'kan beranjak dari balkon hingga waktu duha. Itulah irama rutinitas tuan rumah yang telah lama ditinggal suami dan kedua putranya. Pikirannya akan mengembara menjangkau segala ingatan yang memilukan. Setiap hari, angin kesedihan menerpa juragan tanah itu.
Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi dua puluh lima tahun silam menelan kebahagiaannya. Ammar dan Yasir saat itu ikut dengan abah mengelilingi kebun teh dengan menunggang kuda. Sementara Nenek Sofia saat itu menyiapkan polo pendem dan kahwa robusta kesukaan mereka. Hidangan tersaji di balkon. Tugas rumah telah usai dijalankan, Nenek Sofia menanti suami dan kedua putranya sambil menyulam. Di waktu duha, kabar duka itu datang. Perbukitan yang menjadi lokasi kebun teh disapu banjir bandang dan tanah longsor.
Bahan rajut dan kain terkapar tak berdaya. Nenek Sofia saat itu langsung menuruni rumah dan mencari jejak tiga orang terkasihnya. Kahwa dan polo pendem membisu ditinggal sang tuan. Tim SAR baru datang tiga jam setelah kejadian. Proses evakuasi berjalan lamban karena komponen lahar berupa cellot yang sifatnya sangat lengket. Setelah sebulan evakuasi berjalan, semua warga yang tidak ditemukan dinyatakan wafat.
Keguncangan jiwa tanpa diundang datang dalam tiap aliran darah Nenek Sofia. Hatinya begitu terpukul harus kehilangan tiga orang yang dicintainya. Hingga ia pun keguguran. Ia melupakan kondisi kandungannya yang lemah saat itu karena tak siap ditinggal ketiga cintanya. Ammar yang baru lima tahun, Yassir dua tahun, dan suaminya juga dinyatakan wafat. Nenek Sofia yakin mereka masih ada. Penelusuran dan pencarian terus dilakukan oleh Nenek Sofia hingga kini. Ketika Hamid, orang suruhannya, datang di waktu duha, barulah Nenek Sofia melanjutkan aktivitas rumah tangga.
Laila, putri Hamid, sering datang mengunjungi Nenek Sofia jika libur mengajar pesantren. Laila sejak kecil menemani Nenek Sofia menyulam. Dengan penuh kesabaran, Laila mendengarkan kisah yang sama dari lisan Nenek Sofia. Rasa trauma masih banyak tertinggal dalam tubuh yang sudah renta. Dengan penuh kasih, Laila membantu Nenek Sofia melanjutkan tiap rajutan yang ditinggalnya. Sudah ada ratusan rajutan Ka'bah yang terangkai dari tangan dua wanita itu. Cita-cita Sofia muda adalah haji bersama keluarga tercinta.
Hanya pada Laila, Nenek Sofia menumpahkan segala rasa. Secara perlahan-lahan, Laila yang sudah mengkaji Islam kafah memberi komentar atas kisah yang dituturkan si Nenek. Meski tipis harapannya, Laila tak ingin memutus peluang datangnya hidayah dan kesembuhan pada sang Nenek. Di sela-sela penuturan kisah, Laila pasti akan berkomentar.
"Itulah garis hidup yang menjadi teka-teki. Semua memang kehendak Gusti Allah, nggih, Nek! Saya dan Nenek juga kelak akan pulang ke akhirat seperti Mas Ammar, Mas Yasir, dan abah. Itulah sejatinya tempat pulang."
Kata-kata itu selalu diulang Laila jika sampai pada kisah kematian. Sesekali Laila juga mengingatkan Nenek Sofia untuk rida terhadap qada agar ketiga orang terkasih nenek tenang di alam baka. Ia pun mengingatkan hakikat kehidupan pada sang Nenek. Dari mana mereka berasal, untuk apa hidup di dunia, dan akan ke mana setelah mati. Penyesalan akan dosa itu sangat dianjurkan, tapi menyesali kepergian abadi orang-orang tercinta, berarti tidak terima pada keputusan Sang Pencipta.
Delapan tahun lamanya, uqdatul kubro dijabarkan oleh Laila pada sang Nenek. Laila tak pernah bosan membahasakan penyelesaian tiga simpul besar itu sebagaimana nenek tidak bosan mengisahkan kematian tiga orang tercinta dan ketidakrelaannya atas kematian itu. Pagi ini, cawan-cawan berisi kahwa telah dingin total. Hamid sudah tiba di balkon rumah Nenek Sofia. Seperti biasa, dia membawa kabar bahwa ia tak menemukan jasad tuan muda dan abah.
"Hamid, cukup pencarianmu sampai di sini. Aku ikhlas sudah. Suruh Laila berhenti mengajar, akan aku buatkan pondok di padepokan ini. Biar dia mengajar di sini dan aku juga akan belajar Islam padanya. Harta dan jiwaku kuhibahkan untuk Allah. Biar Laila yang mengelolanya."
Ketegasan suara Nenek Sofia membuat Hamid ternganga. Seakan dapat hujan permata, air mata Hamid meleleh begitu saja mendengar pernyataan itu. Tuannya telah menginsafi kesalahan. Tanpa dikomando dua kali, Hamid bergegas menemui putrinya dan menyampaikan amanat Nenek Sofia. Sejak saat itu, rumah Nenek Sofia menjadi pondok bernama Mabda Islamiyah. Kahwa-kahwa di cawan yang mengepul tak sampai dingin. Kahwa itu langsung dinikmati oleh para santriwati. Binar kebahagiaan terus terpancar pada Nenek Sofi.
"Laila senang belajar dari kahwa ini, Nek. Ia terus jujur bahwa ia pahit dan dia rela ditakdirkan dengan rasa pahit itu. Dia malah bisa memberi manfaat pada manusia meskipun pahit."
Ucapan Laila tentang kahwa ini juga menjadi titik balik Nenek Sofia mengambil sikap. Dia menyesali ratapannya selama ini. Dia berjanji akan memenuhi semua ucapan Laila selama itu adalah kebenaran yang datang dari Allah. Di sisa usianya, azam untuk menjadi pejuang Islam tumbuh subur.[]