“Sejak awal masyarakat memahami negeri ini melarang nikah beda agama. Namun, banyaknya instansi pemerintah yang membolehkan atas nama toleransi. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pernikahan beda agama sedang mengalami ketidakjelasan. Tentu saja ini menjadi persoalan krusial dari sisi norma hukum.”
Oleh. Yanyan Supiyanti, A.Md.
(Kontributor NarasiPost.Com dan Member Corak Karya)
NarasiPost.Com-Nikah beda agama menjadi kontroversi lagi setelah Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengabulkan permohonan pernikahan beda agama dua warga Surabaya, yaitu RA yang beragama Islam dengan EDS yang beragama Kristen.
Dilansir oleh Sindonews.com (24/6/2022), Putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang mengesahkan atau mengizinkan pernikahan beda agama menjadi kontroversi dan perhatian publik, yang dianggap akan menjadi lahirnya putusan yang sama pada masa depan.
Hakim memerintahkan pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya dalam putusan tersebut untuk mencatat perkawinan pemohon dalam register perkawinan setelah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menanggapi hal tersebut, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Tholabi Kharlie, mengatakan putusan tersebut akan menjadi acuan lahirnya putusan-putusan serupa bagi mereka yang menikah dengan pasangan yang berbeda agama. Pengesahan peristiwa nikah beda agama lainnya menjadi terbuka.
Menurutnya, kontroversi nikah beda agama akan terus muncul seiring terjadinya peristiwa pernikahan beda agama yang dilegitimasi oleh negara. Sebenarnya sudah ratusan atau bahkan ribuan peristiwa pernikahan beda agama yang mendapatkan legitimasi dari instansi terkait, hanya saja tidak terekspose ke publik. Fakta ini menunjukkan bahwa ada persoalan krusial dari sisi norma hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia.
Dalam konteks akidah Islam, jumhur ulama sepakat bahwa perkawinan beda keyakinan tidak dibenarkan. Oleh karena itu, UU Perkawinan mengakomodasikan dalam pasal 2 ayat (1) yang meniscayakan keabsahan suatu perkawinan hanya jika dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Demikian pula, pasal 8 menegaskan tentang ketidakbolehan perkawinan yang dilarang agama. Larangan ini juga sejatinya dianut oleh berbagai agama, meski dengan pengecualian atau dispensasi. Dia menyebut ada sejumlah celah hukum yang dimanfaatkan pelaku nikah beda agama sehingga norma ini tidak berfungsi. Misalnya, menundukkan diri pada agama salah satu pasangan, menikah di luar negeri untuk menghindari kerumitan aturan di negeri sendiri, menikah di bawah payung organisasi nonpemerintah (NGos), hingga ruang-ruang kepentingan administratif kenegaraan yang meniscayakan pencatatan dalam dokumen negara.
Kontroversi nikah beda agama di negeri ini kerap terjadi, dan bukan kali ini saja. Peristiwa nikah beda agama dalam beberapa waktu terakhir trennya cenderung meningkat. Pelaku nikah beda agama tak segan tampil di depan publik dengan berbagai cara hingga mendapatkan legitimasi dari instansi terkait. Hal ini tentu mengundang perhatian publik dalam batas-batas tertentu menciptakan keresahan di sebagian kalangan. Sejak awal masyarakat memahami negeri ini melarang nikah beda agama. Namun, banyaknya instansi pemerintah yang membolehkan atas nama toleransi. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pernikahan beda agama sedang mengalami ketidakjelasan. Tentu saja ini menjadi persoalan krusial dari sisi norma hukum.
Ketidakjelasan hukum menjadi tabiat dalam sebuah negeri yang berlandaskan sekularisme-liberalisme. Unsur kebebasan menjadikan individu-individu diberi ruang untuk taat ataupun maksiat. Agama dipermainkan, yang haram dilabeli halal dan sebaliknya yang halal diharamkan. Hasilnya, muncullah sosok-sosok liberal di masyarakat. Munculnya pihak-pihak dengan sikap toleransi kebablasan. Sebagai hasil program moderasi beragama yang berada di bawah payung liberalisasi. Pelaksanaan program moderasi Islam ini terus digaungkan yang merupakan proyek pesanan Barat demi menjauhkan umat Islam dari Islam ideologis. Dakwah Islam kaffah mereka tuding radikal. Orang yang melanggar agama justru mendapat apresiasi dan puja-puji.
Tampak sekali jaminan kebebasan dalam kehidupan sekuler untuk bermaksiat (melanggar syariat), bukan untuk taat syariat. Kondisi ini seharusnya menyadarkan umat Islam untuk berislam kaffah. Hal ini membutuhkan sistem yang mendukung. Tidak bisa menjadi muslim kaffah sedangkan kehidupan masyarakat dan negara demikian sekuler dan liberal.
Sistem yang mampu mewujudkan Islam kaffah hanyalah Khilafah. Khilafah adalah institusi negara yang bertanggung jawab membentuk kepribadian Islam dalam diri warga negaranya. Khilafah tidak mengenal liberalisme. Masyarakat tidak diberi kebebasan berbuat, apalagi jika menyangkut kemaksiatan. Tak terkecuali kemaksiatan yang mungkin timbul dalam pernikahan.
Hukum menikah beda agama dalam Islam dibagi dalam dua pembahasan, pernikahan muslim dengan ahli kitab dan muslim dengan pemeluk agama lainnya. Imam Ibnu Katsir dalam juz 30 QS Al-Bayyinah ayat 1, ahli kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena kepada merekalah Allah menurunkan kitab melalui perantaraan para Rasul yakni Taurat melalui Nabi Musa a.s., dan Injil melalui Nabi Isa a.s.
Pendapat ini telah menjadi kesepakatan di antara para ulama berdasarkan dalil-dalil antara lain firman Allah QS Al-Maidah ayat 5, bahwa pernikahan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab yang menjaga diri, hukumnya adalah boleh. Sebaliknya, perempuan muslim diharamkan menikah dengan laki-laki ahli kitab. Larangan ini didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah ayat 10, perempuan ahli kitab yang dimaksud adalah perempuan yang menjaga kehormatannya. Perlu diingat kebolehan ini tidak berarti harus dilakukan. Menimbang banyak upaya untuk memurtadkan kaum muslimin dan anak-anak melalui perempuan-perempuan ahli kitab yang menikahi muslim. Pernikahan ini bukanlah pilihan. Sebab pendidikan anak berada di tangan seorang ibu. Pernikahan beda agama ini lebih banyak membawa mudarat dan kemaksiatan.
Adapun pernikahan seorang muslim dengan pemeluk agama di luar Islam, juga bukan pemeluk ahli kitab, hukumnya adalah haram secara mutlak. Baik pemeluk agama Hindu, Buddha, Konghucu, Majusi, dan sebagainya. Pemeluk agama seperti ini adalah orang-orang musyrik, yang diharamkan pernikahan dengannya sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 221, haramnya pernikahan dengan musyrik adalah hal yang tidak ada perbedaan lagi, karena nas-nas telah menjelaskan keharamanannya.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi negara untuk menolak pernikahan yang haram dalam pandangan agama karena negara wajib menjamin pelaksanaan hukum agama. Negara yang mengatur umat Islam hari ini bukanlah Khilafah, yang akan menerapkan sistem Islam, memberi perlindungan terhadap agama, dan yang menjadi maksud dari penetapan hukum syariat. Di sinilah pentingnya perjuangan mengembalikan kehidupan Islam kembali agar kesejahteraan dan keberkahan hidup akan terwujud dengan rahmat-Nya.
Wallahualam bissawab.[]
Ini kasus 2022. Skr 2023 kasus serupa terjadi lagi. Lagi dan lagi. Selama sistem dan paradigma kapitalisme sekuler dgn kerangka moderasinya dianut di negeri Muslim terbesar sedunia ini, nikah beda agama yang diharamkan syariat, akan senantiasa mendapat celah pelegalan dari lembaga negara.