“Berdirinya perjanjian yang tidak bisa bebas dari kepentingan pihak masing-masing hanya akan memperbesar celah yang tumpang tindih. Konflik kepentingan, klaim-klaim sepihak yang berujung pada “adu mulut” dua negara menjadi tak terelakkan.”
Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Aktivitas militer adalah hal yang penting bagi sebuah negara dan dalam perspektif hubungan internasional, aktivitas militer sangat bisa menjadi lahan penguatan kemitraan antara dua negara atau lebih. Tapi adalah sebuah keniscayaan juga jika kemitraan yang terbangun itu malah menjadi ancaman bagi pihak lain. Bila adagium yang terkenal adalah “the enemy of my enemy is my friend” alias “musuh dari musuhku adalah temanku”, maka dalam konteks ini berubah menjadi “the friend of my enemy is my enemy”, yang berarti “teman dari musuhku adalah musuhku”.
Hal ini terjadi langsung pada Cina dan Jepang, dua negara di Asia Timur yang saat ini sama-sama sedang menggencarkan pertumbuhan ekonomi mereka untuk bersaing dalam kancah global. Pasalnya, di perairan yang keduanya sengketakan, Cina secara agresif memasuki wilayah “haram” tersebut. Perairan yang bagi Jepang bernama Senkaku, namun bagi Cina disebut Diaoyu adalah wilayah yang telah lama menjadi rebutan keduanya. Sengketa wilayah perairan sangatlah lumrah terjadi antara dua negara atau lebih dalam kultur pragmatis seperti hari ini.
Klaim serta standar yang berbeda dari masing-masing pihak yang bersengketa umumnya akan menyebabkan berlarutnya persengketaan. Apalagi jika dibumbui dengan manuver-manuver yang “provokatif” dari pihak tersebut, maka akan sangat mungkin sengketa itu menemui jalan buntu. Kapal perang Rusia sebagai pihak yang dianggap dekat dengan Cina terpantau melakukan pergerakan di sekitar perairan Jepang pada awal Juli yang juga disempurnakan dengan manuver kapal fregat milik Cina di dekat perairan Senkaku (CNN Indonesia, 4/7/22).
Sebagaimana yang terjadi antara Cina dan Jepang, sengketa atas perairan Senkaku-Diaoyu ini bahkan sudah berlangsung sejak tahun 1970-an, setelah pada tahun 1960-an Komisi Ekonomi Persatuan Bangsa-bangsa untuk Asia dan Timur Jauh mengumumkan keberadaan cadangan minyak dan hidrokarbon di perairan ini (E-IR, 23/6/22). Jepang secara de facto menguasai perairan Senkaku ini sejak 1895 berdasarkan landasan legal, sementara Cina mengeklaim bahwa perairan ini merupakan bagian dari Taiwan yang juga dianggap sebagai bagian integral dari Cina. Lantas, adakah pelajaran yang dapat diambil oleh kaum muslimin sebagai umat yang sebetulnya juga memiliki visi maritim?
Bukti Lemahnya UNCLOS
Jangan disangka berbagai konflik dan sengketa perbatasan maritim disebabkan karena tak adanya peraturan yang mengatur semuanya. Justru, dunia hari ini hampir semuanya berkiblat pada satu peraturan yang konon disepakati oleh semua negara anggotanya untuk menjadi landasan dalam pengaturan wilayah perairan nasional masing-masing. UNCLOS (United Nations Convention on Law of the Sea) atau Konvensi Hukum Laut Internasional eksis bahkan sejak tahun 1970-an akhir. Sesuai namanya, konvensi atau perjanjian ini mengatur tentang penggunaan wilayah laut para negara anggotanya alias mengatur aktivitas kemaritiman internasional, termasuk di dalamnya adalah menentukan batas pesisir dan maritim; mengatur eksplorasi dasar laut, hingga pendistribusian pendapatan dari eksplorasi tersebut.
Hanya saja, meskipun regulasi yang termuat dalam UNCLOS tampak begitu apik dan komprehensif karena mengatur kompleksitas urusan kelautan, namun tidak sedikit persengketaan maritim yang terjadi hari ini. Hal ini jelas menunjukkan betapa nisbinya UNCLOS, bahkan bagi pihak-pihak yang meratifikasinya. Hal ini tentu disebabkan karena tidak satu pihak pun yang free from interests atau tidak memiliki kepentingan sendiri. Negara-negara yang menyepakati kemitraan strategis pun dapat dipastikan memiliki kepentingan yang tak boleh diganggu gugat oleh mitranya sekalipun. Kondisi ini merupakan konsekuensi logis dari kesepakatan mereka untuk tidak menggunakan aturan-aturan agama dalam menjalani kehidupan. Sepakat untuk tidak menjadikan aturan agama sebagai standar, maka sebagai gantinya, mereka akan menyepakati standar-standar lain yang tentu bersifat relatif. Berdirinya perjanjian yang tidak bisa bebas dari kepentingan pihak masing-masing hanya akan memperbesar celah yang tumpang tindih. Konflik kepentingan, klaim-klaim sepihak yang berujung pada “adu mulut” dua negara menjadi tak terelakkan.
Perjanjian internasional sekelas UNCLOS seakan menjadi hitam di atas putih yang tak memiliki kekuatan saat dihadapkan pada pragmatisme pihak-pihak yang bersengketa. Bahkan jika dilihat secara lebih mendalam, sibuknya Cina dan Jepang dalam meributkan urusan batas wilayah perairan yang tak ada ujungnya ini, sangat memungkinkan aktor lain untuk mencari celah dan memanfaatkan kelengahan keduanya. Rusia, misalnya. Atas dasar bermitra dengan Cina, membuatnya “nekat” untuk melakukan manuver di perairan yang disengketakan Cina dan Jepang. Apakah Rusia tak mengetahui konsekuensi dari aktivitasnya itu? Apakah keberanian Moskow dan Beijing ini dianggap mencoreng “kesakralan” perjanjian internasional yang disepakati bersama oleh Jepang juga? Dua pertanyaan berbeda yang memiliki jawaban sama, yaitu tidak.
Maritim Berdaulat, Seriusan?
Bicara kedaulatan di era demokrasi sekuler hari ini agaknya merupakan suatu hal yang jauh panggang dari api, termasuk kedaulatan maritim. Berbagai negara yang merasa superior hari ini tidak jarang menjadi pelaku utama yang menodai kedaulatan pihak lain. Dan mereka jarang mendapat sanksi atau hukuman atas pelanggarannya itu, kecuali berupa nota diplomatis saja. Padahal, konon kedaulatan adalah suatu hal yang harus diperjuangkan dan dijaga oleh semua orang.
Begitulah kondisi urusan dalam sistem yang tunduk pada aturan-aturan manusia yang lemah dan terbatas. Kekuatan aturan yang dalam pandangan mereka bisa mengikat, justru tunduk pada relatifnya aturan itu sendiri. Berbeda halnya dengan maritim yang diurus bukan dengan aturan manusia, melainkan disandarkan pada wahyu. Peradaban Islam telah membuktikan kuatnya kekuatan wahyu dalam mengatur urusan manusia, termasuk di dalamnya urusan perairan laut.
Islam juga mengakui batas wilayah, yang perbatasan ini menurut hukum syarak haruslah dijaga dengan segenap jiwa, sebagaimana umat ini menegakkan jihad fi sabilillah. Aktivitas ini dikenal dengan ribath atau menjaga perbatasan negara Islam, baik darat maupun laut agar tidak dimasuki oleh pihak-pihak asing yang memiliki intensi buruk terhadap negara dan umat Islam. Bahkan dalam sebuah hadis mulia dari baginda Rasulullah saw., beliau bersabda, “Ribath satu hari di jalan Allah lebih baik daripada dunia dana pa pun yang ada di atasnya” (HR. Bukhari). Hadis ini menggambarkan kemuliaan aktivitas ribath fi sabilillah.
Kuatnya negara dalam menjalankan syariat Islam dalam mengatur hubungan internasional akan menempatkan negara Islam dalam posisi yang kuat dan disegani oleh pihak luar, bukan menjadi objek perundungan negara lain dan dirongrong batas-batas wilayahnya. Ketegasan negara Islam dalam menjaga setiap jengkal wilayah dan tak segan untuk menghukum pihak-pihak yang mengancam batas-batas wilayah sekali pun adalah menifestasi nyata dari pelaksanaan syariat terkait urgensi menjaga wilayah negara.
Sumber daya alam yang dikaruniakan Allah dalam batas-batas negara Islam akan dilindungi dari rongrongan musuh dan dimanfaatkan seluruhnya untuk kemaslahatan warga negara Islam, tidak seperti era kapitalis yang menempatkan sumber daya alam milik umum justru dapat dieksploitasi untuk kepentingan segelintir individu berduit saja. Inilah yang membedakan secara kontras antara visi kemaritiman ala pihak pragmatis dengan visi maritim Islam. Visi kemaritiman pragmatis dibangun berdasarkan standar yang relatif dan tak jarang berbenturan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Sementara visi maritim Islam, meletakkan ketaatan atas syariat Islam dalam menjaga batas wilayah perairan, yang bahkan disandingkan dengan kemuliaan aktivitas jihad di jalan Allah.
Wallahu a’lam bisshawwab.[]