Gejolak

"Diskusi kembali mengalir dalam irama kesadaran Azza. Isak tangis kesedihan kembali bergema. Rasa sesal berkibar dalam jiwa Azza. Gejolak kebangkitan menyembul dan mendekapnya kuat. Azam untuk hijrah sudah bulat. Azza pun menginsafi kesalahan fatalnya selama ini. Sekularisme yang membelenggunya kini ditinggalkan dengan hati ringan."

Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Gulungan ceklis keinginan gadis bermata sipit itu mengular. Nanar netranya memandang barisan huruf yang membisu. Tak sedikit pun tebersit dalam dirinya akan mengharapkan nasib sesial itu. Tangannya kembali cekatan menghapus sembab di mata dan kembali merias wajahnya yang mulai polos. Secepat kilat senyumnya terukir menyambut pelanggan yang hadir dengan memilih bunga. Azza, si gadis bermata sipit penjaga bunga kembali menampakkan wajah super ceria.

Anyelir menjadi pilihan si calon pembeli. Lima tangkai bunga terletak di keranjang. Netra Azza mengekor pelangganya yang dianggap agak aneh. Di zaman seperti sekarang, perempuan yang sedang memilih bunga itu berpenampilan seperti Tante Maria. Bergamis kedodoran dan menyapu lantai. Kerudungnya pun besar dan super lebar. Rasa heran mendorong Azza mengaitkan pandangannya pada gerak-gerik perempuan berhijab itu.

"Berapa semua, Mbak? Apakah bisa ini dirangkaikan di sini?"

Pertanyaan pelanggan berhijab lebar itu mengembalikan Azza pada alam nyata. Pikirannya sempat mengembara pada nasib sialnya tadi.

"Bisa, sangat bisa, Cinta," jawab Azza dengan akrab.

Azza merangkai bunga dengan sangat indah. Binar senang tampak dari kedua manik pelanggannya. Rasa heran Azza berubah menjadi rasa kagum. Perempuan yang ada di hadapannya, ia taksir masih lebih muda darinya. Sambil merangkai bunga, Azza memperkenalkan diri dan mengajukan beberapa pertanyaan pada pelanggan yang bernama Citra itu.

"Kayak merek handbody dan roti, yah. Eh, just kidding, Cin," seloroh Azza mengundang senyum Citra yang terus merekah.

Rangkaian bunga yang super indah mendatangkan rasa takjub pada Citra. Beberapa kali dia putar, hasil rangkaian Azza sangat memuaskan baginya. Pujian terlafazkan dari lisan Citra. Betapa dia melihat rangkaian sederhana, namun begitu indah dipandang mata. Perpaduan warna tak saling bertabrakan. Dia pun membayarkan sejumlah uang pada Azza dan meminta nomor HP-nya. Kartu nama Azza pun dikantonginya.

Azza kembali berselancar di dunia maya. Hari ini dia dihujat habis-habisan oleh netizen karena mengunggah acara kemarin. Dia menjadi host acara ulang tahun di rumah istri pejabat teras. Nahas, foto yang diunggah ada adegan pasangan sesama jenis yang terpampang di belakangnya. Judgement berhamburan di tiap kolom komentar. Padahal baginya, hal semacam itu sudah biasa di kalangan elite dan artis. Dia sampai dipanggil polsek karena laporan netizen.

Apes tak dapat ditolak, untung tak dapat dikantongi. Keinginan yang tertata rapi dalam gulungan kertas khusus itu masih membisu. Kemarin, tidak ada satu ceklis pun yang dia sandingkan dengan beberapa keinginan yang ditorehkan. Sebab, dia keburu dihakimi netizen di dumay dan dipanggil kapolsek untuk memberikan keterangan. Sanksi ringan dia dapatkan. Selama tiga bulan, dia harus laporan ini itu dan tak boleh bepergian keluar kota. Sial sungguh sial.

Barisan keinginan yang belum diceklis adalah liburan ke Bali dengan fee-nya saat menjadi host. Tujuh digit angka bukanlah nominal yang sedikit. Jarang dia memperoleh uang sebesar itu dalam satu kali jadi MC. Kini, keinginannya padam karena tersandung dan terperangkap kasus penyebaran aktivitas kaum gay.

Rasa kecewa harus ia telan. Keinginannya untuk liburan harus pupus begitu saja. Begitu pula dengan keinginan untuk ikut roadshow salah satu artis ternama. Batu nisan keinginan itu telah tertancap jelas. Dia pun harus menelan rasa kecewa yang menggunung. Sebab, tiket seharga Rp15 juta sudah dia kantongi. Namun, dia tak boleh keluar kota selama dua bulan.

Beragam gejolak mengguncang jiwa Azza. Rasa jengkel pada para netizen yang sok suci lebih mendominasi altar jiwanya. Kenapa di negara serba bebas begini dia tak boleh menyuarakan pendapat? Padahal, foto itu hanya ingin menampilkan dirinya yang lagi eksis jadi host di acara pejabat teras. Rasa marah kaum muslim yang menyalahkannya bagai gelombang badai di lautan lepas. Namun, kedatangan Citra menjadi pengecualian.

Tutur lembut dari lisan Citra berhasil membius hati Azza. Perangai dan cara berdiskusi Citra menombak tepat dalam benaknya. Awalnya, obrolan mereka berjalan di seputar ranah pribadi. Namun, kelihaian Citra dalam mengemas obrolan mampu menyeret Azza pada diskusi seputar problem kehidupan, khususnya kehidupan milenial. Azza terperangah tatkala Citra menjelaskan segerombolan perbuatan serba bebas yang sempat diagungkan Azza menjadi sebuah problem sistematis. Azza baru ngeh kenapa Tante Maria kekeh dengan penampilannya dan mengajak Azza berhijab syar'i juga demi kemuliaan wanita.

Gejolak dalam jiwa Azza kian meronta menuntut pemenuhan. Rasa marah, kecewa, dan sesal berkolaborasi menguasai relung hati yang terdalam. Azza mulai sakit kepala karena memikirkan apa yang disampaikan Citra. Selama ini, dia anggap biasa interaksi cowok dan cewek tanpa ikatan pernikahan dan bermesraan layaknya suami istri. Azza pun sangat terbiasa dengan kehidupan kaum aneh bin nyleneh yang menyebut dirinya pelangi. Kehidupan glamor dan hiruk pikuk dunia menyelimuti Azza.

Azza hanya ternganga saat tiga simpul besar terurai. Rasa pusing menyerang semakin hebat. Tanpa terasa, air mata menari dalam sunyi. Isak tangis tertahan melingkupi gemuruh di dada. Azza semakin bergejolak menahan perihnya sesal atas aktivitasnya selama ini. Meski Tante Maria telah menjelaskan secara rinci, dari lisan Citralah kebenaran itu menghampiri Azza.

"Menjadi pengikut setan ini memang sangat gampang, Bestie. Kita cukup mengabaikan kehidupan akhirat sudah sukses menjadi pasukannya. Naudzubillah."

Kata-kata itu terhunjam kuat menambah gejolak yang kian dahsyat. Dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan akan ke mana setelah mati menari-nari dengan acak dalam benaknya. Saat itu juga, dia meraih ransel dan memacu kuda besinya menuju rumah Citra. Kabut pagi menerpa setiap pori-pori wajahnya. Angin membelai mesra tubuhnya. Azza fokus tujuan untuk berdiskusi tentang hidupnya.

Sambutan hangat Citra dan keluarganya membuat Azza kikuk. Baru kali ini ia merasakan ritme keharmonisan yang tulus dari orang lain, selain dari Tante Maria pastinya. Perlakuan keluarga Citra dalam menghormati tamu membuat Azza terharu. Tanpa basa-basi, Azza langsung menanyakan ihwal hakikat hidup manusia. Diskusi panjang kembali berjalan. Lima jam mereka berdiskusi hingga azan zuhur berkumandang. Mereka break salat dan makan terlebih dahulu.

Diskusi kembali mengalir dalam irama kesadaran Azza. Isak tangis kesedihan kembali bergema. Rasa sesal berkibar dalam jiwa Azza. Gejolak kebangkitan menyembul dan mendekapnya kuat. Azam untuk hijrah sudah bulat. Azza pun menginsafi kesalahan fatalnya selama ini. Sekularisme yang membelenggunya kini ditinggalkan dengan hati ringan. Azza berjanji tak akan memisahkan agama dari kehidupannya lagi. Dia akan berupaya menjadi sebaik-baik hamba. Sore itu, Azza mengenakan jilbab dan kerudung plus kaos kaki lengkap, hadiah dari Citra. Azza pulang tanpa gejolak di dada. Banyak PR yang harus dikerjakan, termasuk harus memutus kontrak kerja dengan manajemen PH Entertainment.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Ambisi Kemandirian Energi di Balik Migrasi LPG Subsidi
Next
Inflasi Melanda, Kapitalisme Gagal Secara Nyata
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram