“Polemik haji saat ini tentu tidak terlepas dari pengaturan sistem kapitalis yang menjadikan materi (keuntungan) sebagai asasnya. Tidak ada lagi asas ketakwaan dan ketaatan dalam mengurusi urusan rakyat. Kebijakan demi kebijakan seolah tidak lagi berpihak kepada rakyat.”
Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bak telan pil pahit, sebanyak 46 calon haji furoda dipulangkan ke tanah air, sebab visa yang digunakan tidak resmi. Mereka yang gagal naik haji itu mengaku telah membayar hingga Rp300.000.000,00. Dengan biaya fantastis itu, calon jemaah disebut-sebut bisa berangkat haji melalui jalur tanpa antre selama bertahun-tahun. Namun visa yang mereka dapat ternyata tidak resmi.
Sejumlah jemaah juga sempat dicoba diberangkatkan melalui jalur Bangkok-Oman-Riyadh. Namun pada akhirnya dipulangkan kembali ke Jakarta karena persoalan dokumen. (news.detik.com, 3/7/2022)
Kronologi Jemaah Haji Dipulangkan
Pertama, telah ada informasi tentang puluhan calon jemaah haji yang tertahan di Bandara Internasional King Abdul Azis Jeddah pada hari kamis (30/6). Mereka sebelumnya ikut dengan pesawat Garuda Indonesia dan sampai di Jeddah pada hari kamis (30/6) pukul 23.20 waktu Arab Saudi. Perusahaan yang memberangkatkan calon haji furoda (nonkuota) tidak resmi itu dari PT Alfatih Indonesia Travel. Perusahaan ini tidak terdaftar di Kementerian Agama (Kemenag).
Ketua Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Arsad Hidayat bersama dengan tim didampingi oleh sejumlah pegawai KJRI Jeddah lalu mengecek langsung calon haji furoda yang tertahan di bandara. Di dalam bandara, puluhan anggota jemaah yang sudah memakai kain ihram terlihat dikumpulkan oleh otoritas Arab Saudi di salah satu tempat.
Dari proses pengecekan, diketahui mereka gagal masuk Arab Saudi karena pada saat pemeriksaan imigrasi, identitas jemaah tidak ditemukan dan tidak cocok. Jemaah memang memiliki visa haji. Namun diketahui visa mereka berasal dari Singapura dan Malaysia, bukan dari Indonesia.
Kedua, pimpinan perjalanan dari PT Alfatih Indonesia Travel, Ropidin, buka suara bahwa mengaku pihaknya memang berupaya untuk masuk Arab Saudi dengan memanfaatkan visa furoda dari Singapura dan Malaysia. Praktik ini sudah dilakukan selama bertahun-tahun sejak 2014. Bahkan, di tahun 2015, travel-nya pernah tersandung kasus karena jemaah tertahan di Filipina ketika kepulangan, sebab menggunakan visa asing ini. Ia berdalih lantaran visa Indonesia tidak kunjung terbit.
Ketiga, Kemenag angkat bicara. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI Hilman Latief mengatakan bahwa sebanyak 46 calon haji furoda yang menggunakan visa tidak resmi ini telah dipulangkan ke Tanah Air. Kepala Seksi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) Daker Bandara Zaenal Abidin menegaskan, praktik penyelenggaraan haji yang dilakukan PT Alfatih Indonesia Travel menyalahi aturan. Karena dokumen yang disertakan juga tidak seperti yang disyaratkan oleh pemerintah Arab Saudi.
Polemik haji saat ini tentu tidak terlepas dari pengaturan sistem kapitalis yang menjadikan materi (keuntungan) sebagai asasnya. Tidak ada lagi asas ketakwaan dan ketaatan dalam mengurusi urusan rakyat. Kebijakan demi kebijakan seolah tidak lagi berpihak kepada rakyat. Sungguh, keblinger!
Negara Islam Memudahkan Pelaksanaan Ibadah Haji
Prinsip pelaksanaan ibadah haji dalam negara Islam (Khilafah) adalah tentang kemudahan serta kesesuaian dengan prinsip syariat Islam. Sehingga tidak boleh mengurus urusan haji dikomersialkan, dijadikan ladang bisnis yang mengedepankan aspek untung dan rugi. Negara menjamin pelaksanaan ibadah haji dengan baik, maka diambil segala kebijakan yang akan memudahkan ibadah haji. Beberapa kebijakan yang pernah ditetapkan di masa negara Islam dalam memudahkan pelaksanaan ibadah haji.
Pertama, adanya departemen khusus yang mengurus urusan jemaah haji, dari skala pusat hingga daerah, mulai dari bimbingan atau pembinaan sampai pada kepulangan jemaah. Departemen ini akan berkomunikasi dengan departemen kesehatan dan departemen perhubungan.
Kedua, ongkos haji disesuaikan dengan jarak tempat tinggal jemaah haji dan disesuaikan juga dengan pilihan keberangkatan dengan menggunakan jalur darat, laut, atau udara. Negara Islam akan mengatur keberangkatan sesuai dengan kondisi masyarakat yang sesungguhnya, yakni yang berangkat adalah yang benar-benar memenuhi syarat dan mampu, sehingga tidak akan ada orang-orang yang mengantre lama hingga puluhan tahun. Serta yang diutamakan adalah yang belum pernah berangkat sama sekali. Sebab, ibadah haji hukumnya wajib satu kali seumur hidup.
Ketiga, berbagai sarana dan bantuan disiapkan negara supaya sempurna pelaksanaan kewajiban. Hal ini terlihat ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid memimpin di masa Kekhilafahan Abbasiyah, ia membuat jalur transportasi dari Irak menuju Hijaz, di setiap titik dibuatkan pos pelayanan umum logistik dan membagikan zakat bagi orang-orang yang kekurangan atau kehabisan bekal. Pembangunan infrastruktur haji ini tidak boleh memakai dana haji yang dikumpulkan umat, akan tetapi dengan memanfaatkan dana dari pos fai di Baitulmal maupun dari pos kepemilikan umum (al-milkiyah fardiyah) yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam.
Keempat, di masa negara Islam, visa haji dan umrah ditiadakan karena wilayah daulah Islam adalah satu negara dan tidak dipisahkan oleh negara bangsa. Warga negara yang muslim hanya dengan menunjukkan kartu identitas, seperti KTP atau paspor saja. Visa hanya diserahkan kepada warga negara kafir harbi maupun fi’lan.
Inilah kebijakan yang lahir dari sistem Islam untuk pelaksanaan ibadah haji. Kebijakan yang akan memudahkan kaum muslimin berangkat menunaikan kewajibannya, yaitu berhaji. Pemimpin harus sungguh-sungguh dalam menjalankan amanahnya dengan baik. Sebab, semua yang dilakukan di dunia ini akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang artinya: “Imam (Khalifah) adalah pengurus (raa’in) dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam pengurusan urusan umat. “(HR. Bukhari).
Wallahu a'lam bish-shawwab.[]