“Meskipun telah banyak PMI yang menjadi korban, tetapi hal itu tidak menyurutkan masyarakat untuk bekerja di luar negeri. Kesulitan hidup memaksa mereka untuk melakukan hal itu. Sementara, negara tidak mampu memberikan solusi bagi persoalan yang mereka hadapi.”
Oleh. Mariyatul Qibtiyah, S.Pd.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dua sringgit, dua sringgit, dua sringgit …. Teriakan khas Mail pun berhasil menghipnotis para pengunjung pasar. Dalam sekejap, sayap-sayap ayam itu pun berpindah ke tangan para pembeli.
Pesona ringgit ini pun menjadi magnet warga negara +62. Mereka pun berangkat ke negeri jiran itu untuk meraih harapan. Salah seorang di antaranya adalah Adelina Lisao. Perempuan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur itu pun bertekad mengubah nasibnya. Ia pun bekerja di sana sebagai pekerja rumah tangga.
Sayangnya, takdir berkata lain. Bukannya ringgit yang dibawanya pulang, ia justru harus menemui ajalnya. Penganiayaan yang dilakukan oleh majikannya, mengantarkannya pada kematian. (bbc.com, //2022)
Cerita yang Selalu Terulang
Adelina berangkat ke Malaysia pada tahun 2013. Saat itu, usianya baru 15 tahun. Namun, umurnya dipalsukan menjadi 21 tahun. Ia berangkat ke sana menggunakan visa pelancong. Setibanya di sana, majikannya mengonversi visanya menjadi visa pekerja selama setahun.
Setelah visanya habis, Adelina sempat pulang ke Indonesia. Tetapi, tiga bulan kemudian, ia kembali lagi ke Malaysia menggunakan visa turis. Kali ini ia bekerja sebagai PRT dari anak majikan sebelumnya. Namun, ia menjadi pekerja ilegal, karena majikan barunya tidak mengurus izin kerja, kontrak kerja, maupun asuransi.
Selama bekerja, berbagai penganiayaan ia alami. Mulai dari pukulan hingga siraman air panas kerap ia dapatkan. Luka-luka di tubuhnya tidak mendapatkan perawatan medis. Akibatnya, lukanya semakin parah.
Tetangga majikannya yang mengetahui penyiksaan terhadap Adelina kemudian melaporkan hal itu. Pada tanggal 10 Februari 2018, Adelina berhasil diselamatkan oleh Kepolisian Seberang Perai Tengah dan dibawa ke rumah sakit. Adelina meninggal dunia keesokan harinya.
Pelaku penganiayaan kemudian ditangkap dan diadili. Sayangnya, keadilan belum berpihak kepada Adelina. Hakim Pengadilan Tinggi yang memimpin sidang membebaskan terdakwa. Jaksa penuntut umum kemudian mengajukan Discharge Not Amounting To Acquittal (DNAA) ke Mahkamah Persekutuan.
DNAA ini memungkinkan terdakwa yang dibebaskan dapat dituntut kembali di kemudian hari. Pengajuan DNAA ini harus disertai dengan alasan yang kuat. Sayangnya, alasan yang kuat itu tidak diberikan oleh jaksa penuntut umum. Karena itu, hakim menyatakan bahwa majikan Adelina bebas murni dan tidak dapat didakwa pidana atas kematian Adelina. (bbc.com, 23/6/2022)
Pelanggaran terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) memang sering terjadi. Hal ini terutama menimpa mereka yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Menurut Bariyah Iyah, perwakilan dari Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (PERTIMIG) di Malaysia, pada tahun 2021 tercatat 60 kasus pelanggaran terhadap PRT migran.
Pelanggaran yang mereka alami pun beragam. Mulai dari kekerasan fisik hingga tidak dibayarkan gajinya. Pelanggaran terbesar justru pada tidak dibayarkannya gaji. Padahal, untuk itulah mereka datang ke sana. Pelanggaran ini tidak hanya menimpa pekerja ilegal, tetapi juga pekerja legal. (voaindonesia.com, 7/1/2022)
Persoalan Pekerja Migran
Ada beberapa persoalan yang dihadapi oleh para buruh migran. Pertama, masyarakat masih menganggap strata sosial berdasarkan harta. Mereka yang memiliki banyak harta dipandang lebih tinggi strata sosialnya. Karena itu, mereka memandang rendah para pekerja kasar.
Kedua, kurangnya perlindungan hukum serta lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran. Seperti yang terjadi pada kasus Adelina. Padahal, sudah ada UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Di samping itu juga ada PP No. 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Indonesia dan Malaysia juga telah meneken MoU tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik pada tanggal 1 April 2022. Melalui nota kesepahaman ini, perekrutan hingga pengawasan pekerja migran dilakukan lewat satu kanal. Karena itu, butuh keseriusan dari berbagai pihak yang terkait agar MoU tersebut dapat terlaksana dengan baik.
Korban Kemiskinan Sistemis
Meskipun telah banyak PMI yang menjadi korban, tetapi hal itu tidak menyurutkan masyarakat untuk bekerja di luar negeri. Kesulitan hidup memaksa mereka untuk melakukan hal itu. Sementara, negara tidak mampu memberikan solusi bagi persoalan yang mereka hadapi.
Sikap negara yang seperti ini memang wajar dalam konsep kapitalisme. Sebab, negara tidak berperan langsung dalam mendistribusikan kekayaan kepada rakyat. Hargalah yang menentukan pendistribusian itu. Artinya, distribusi barang dan jasa hanya diberikan kepada mereka yang mampu mendapatkannya melalui harta yang mereka miliki. Jika mereka memiliki harta, mereka dapat membeli barang dan jasa tersebut.
Demikian pula, negara tidak dapat melarang cara serta harta apa saja yang dapat dimiliki. Pada akhirnya, hukum rimbalah yang berlaku. Mereka yang kuat, akan memperoleh banyak kekayaan, termasuk kekayaan yang menjadi hajat hidup banyak orang. Sedangkan yang lemah, harus cukup puas mendapatkan remah-remahnya.
Inilah kemiskinan sistemis yang diciptakan oleh sistem ekonomi kapitalis. Selama sistem ini yang diterapkan, para kapitalislah yang menikmati kekayaan. Sedangkan rakyat miskin akan tetap dengan kemiskinan mereka.
Solusi Islam dalam Mengatasi Problem PMI
Allah Swt. telah menurunkan berbagai aturan untuk menyelesaikan persoalan manusia. Aturan itu tercantum dalam Al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw. Aturan itu mampu menyelesaikan persoalan manusia di semua tempat dan di segala masa.
Dalam menangani persoalan PMI ini, harus dilihat akar persoalannya. Yaitu, ketidakmampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup. Maka, dalam hal ini jelas bahwa Islam mewajibkan kepada laki-laki dewasa dan mampu untuk bekerja dan menafkahi keluarganya. Jika ia tidak memiliki pekerjaan, negara harus menyediakannya.
Namun, jika ia tidak mampu, saudara dan kerabatnya berkewajiban untuk membantunya. Jika tidak ada saudara dan kerabat yang mampu, negaralah yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, rakyat, terutama kaum wanitanya, tidak perlu menjadi pekerja migran.
Demikian pula, Islam telah mengatur bagaimana hubungan antara majikan dan pekerja. Dalam hal ini, Islam telah mengatur akad ijarah antara keduanya. Pertama, pihak yang berakad harus berakal dan mumayiz.
Kedua, masing-masing pihak harus mengetahui dan rida terhadap apa yang diakadkan. Misalnya, jenis pekerjaan, waktu pengerjaan, dan sebagainya. Ketiga, upah harus diberikan sesuai kesepakatan. Bisa sebelum maupun setelah selesainya pekerjaan. Rasulullah saw. bersabda melalui hadis riwayat Ibnu Majah,
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah kepada seorang pekerja upahnya sebelum kering keringatnya.”
Di samping itu, Islam juga mengajarkan adab terhadap pekerja. Misalnya, tidak memukul atau menganiaya. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim diceritakan bahwa Abu Mas'ud memukul salah seorang budak karena kesalahan yang dilakukannya. Melihat hal itu, Rasulullah saw. langsung menegur dengan mengatakan bahwa Allah Swt. lebih berhak atas budak itu dibanding dirinya. Mendengar hal itu, Abu Mas’ud langsung memerdekakan budak tersebut.
Demikianlah, betapa rincinya Islam dalam mengatur hubungan antara majikan dan pekerja. Karena itu, Islamlah satu-satunya aturan yang selayaknya kita terapkan, bukan yang lainnya. Dengan demikian, rakyat tidak perlu menjadi pekerja migran dan jauh dari keluarga. Di samping itu, tidak ada lagi pekerja yang menjadi korban-korban kekerasan para majikan.
Wallaahu a’lam bishshawaab.[]
Photo : Pinterest