Dalam Persimpangan

“Betapa beruntungnya seorang lelaki, hidupnya senantiasa diapit oleh dua bidadari yang penuh cinta kasih. Jika lelaki memperlakukan keduanya dengan baik dan keduanya rida. Kelak jannah akan menjadi tempat kembalinya. Masyaallah.”

Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com
)

NarasiPost.Com-“Abi, kenapa sih membela ibu terus? Dalam setiap masalah, pasti selalu ummi yang disalahkan. Apa ummi gak berhak dapat keadilan?” Braaak, pintu kamar ditutup dan terdengar isak tangis dari dalam kamar.

Ini bukan pertama kalinya sang istri geram dan mengamuk pada suaminya. Semenjak menikah, memang kerap kali terjadi gesekan antara ‘menantu dengan mertua’. Dari hal yang sepele hingga prahara pelik terus mendera. Sang suami pun kadang kelabakan dalam mendamaikan keduanya.

Apakah kamu pernah mengalami kejadian serupa? Terbakar api cemburu! Bukan pada rekan kerja suami, tetangga, atau sahabatnya. Namun, pada ibunya alias mertua kita sendiri. Monogami rasa poligami. Semua serba berbagi.

Jika ya, maka penting sekali bagi kamu untuk menelusuri bagaimana Islam memandang terkait hal ini dalam berbagai kondisi, hingga tips menata hati agar rela berbagi dan bersinergi dengan mertua.

Ibu atau Istri, Mana yang Diutamakan?

Ketika seorang lelaki masih membujang alias single, maka orang tua menempati urutan nomor tiga setelah Allah dan Rasul-Nya dalam hal ketaatan. Lantas, bagaimana setelah lelaki menikah? Apakah posisi ketaatannya pada orang tua berubah seiring dengan hadirnya istri dan anak? Ternyata, tidak!

Islam begitu mengistimewakan posisi orang tua, mengingat jasanya yang tak terkira dalam melahirkan, merawat, mendidik, dan menafkahi anaknya. Oleh karena itu, ketaatan dan bakti seorang anak pada kedua orang tuanya tak mengenal batas waktu dan tempat. Allah Swt. berfirman dalam surah Luqman ayat 14: “Kami memerintahkan manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah kepayahan dan menyapihnya pada dua tahun. ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu.”

Bahkan, Rasulullah saw. pun ikut angkat bicara. Dari Abu Hurairah r.a., ia bercerita seorang laki-laki yang mendatangi Rasulullah saw. dan bertanya: “Siapa yang paling berhak kuperlakukan dengan baik?” Nabi menjawab: “Ibumu”. “Lalu siapa?” Nabi berkata: “Ibumu”. “Terus siapa?” Nabi berkata lagi: “Ibumu”. “Siapa lagi?” “Bapakmu”, kata Nabi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari kedua dalil di atas, jelas bahwa ketaatan dan bakti seorang laki-laki kepada orang tuanya tidak berubah, terlepas apakah dia masih single ataupun sudah menikah. Orang tua, khususnya ibu menjadi prioritas utama. Surga nerakanya seorang lelaki ada pada orang tuanya. Inilah yang harus dipahami muslim, baik itu lelaki maupun perempuan. Syarak telah menegaskan ketetapannya.

Namun demikian, bagi seorang lelaki yang telah menikah tidak serta merta boleh menelantarkannya istri dan anaknya gegara pemahaman tadi. Sebab, syarak pun telah menetapkan kewajiban lain yakni memberikan nafkah kepada istri dan anaknya. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi: “Kewajiban suami memberi makan dan pakaian kepada istri dengan cara yang baik.”

Pun dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw., “Takutlah kepada Allah perihal perempuan karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan farji dengan kalimat-Nya…Kalian berkewajiban memberi makan dan pakaian secara baik.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Lantas, siapa yang harus diutamakan oleh seorang lelaki ketika sudah menikah, apakah ibu atau istrinya? Menarik sekali jawaban Al-Imam An-Nawawi, dalam Fatawal Imamin Nawawi, halaman 150, beliau menyatakan: “Seseorang tidak berdosa dengan tindakan itu ketika ia mencukupi (nafkah) ibunya jika ibunya adalah salah seorang yang wajib dinafkahi dengan baik. Tetapi yang utama adalah membahagiakan (menjaga perasaan) dan mengutamakan ibunya. Jika memang harus mengutamakan nafkah istri daripada ibu, maka seseorang suami harus menyembunyikan tindakan tersebut dari ibunya.”

Maksudnya, dalam hal nafkah memang yang harus ditanggung adalah istri, anak, dan orang tua. Jika kondisinya istri dan anak lebih membutuhkan, maka dipersilakan untuk memprioritaskannya. Namun, jangan sampai mengumbar atau menampakkan secara mencolok di hadapan orang tuanya. Ingat, perasaan orang tua harus terus dijaga, jangan sampai mereka mengira anaknya menelantarkan dan tak lagi menyayanginya setelah berumah tangga.

Sadarkah? Selama ini permintaan orang tua tidak muluk-muluk, tidak mengharapkan seluruh harta anak dihabiskan untuk memanjakan mereka atau sepanjang waktu harus mengurus mereka. Tidak, sekali lagi tidak! Orang tua hanya butuh perhatian dan kasih sayang! Sejumlah uang yang kita berikan secara rutin kepada orang tua tidaklah menjadi berharga tersebab besarnya nominal, namun ini adalah ‘bukti riil’ bahwa anaknya masih menaruh ‘perhatian’ walaupun nominalnya tak seberapa.

Mengunjungi secara rutin dan mendekatkan anak-anak kita pada orang tua merupakan bentuk perhatian yang paling mereka butuhkan, dibandingkan dengan hanya mentransfer sejumlah uang dan bersapa cukup via ponsel belaka. Orang tua tidak hendak merebut apa pun dari siapa pun. Duhai para istri, jangan pernah posisikan mertuamu sebagai saingan terberatmu! Justru, merekalah gerbang menuju surga bagi suamimu. Oleh karena itu, padamkan api kecemburuan dan dukunglah suamimu untuk tetap berbakti pada orang tuanya. Kelak kau pun akan ikut terbawa merasakan kenikmatan bernaung dalam jannah -Nya.

Jika Orang Tua Tidak Mampu

Seorang lelaki kelak akan menjadi suami yang berkedudukan sebagai kepala rumah tangga. Di pundaknya ada amanah yang cukup berat. Memberikan nafkah dan kasih sayang, melindungi sekaligus mengayomi istri dan anaknya. Bukan hanya itu, ia pun harus tetap berbakti kepada orang tuanya atau birrul walidain. Ada ungkapan masyhur, “Perempuan milik suaminya, sementara lelaki milik ibunya”. Sebab, ibu merupakan orang yang paling berharga dan berjasa dalam hidupnya.

Perihal menafkahi orang tua hukum asalnya sunah. Namun, berubah menjadi wajib kala terpenuhinya dua syarat. Pertama, kondisi orang tua lemah dalam finansial atau miskin sehingga membutuhkan bantuan. Kedua, anak lelakinya kaya dan memiliki kemampuan lebih dalam hal keuangan setelah menyempurnakan nafkahnya pada istri dan anaknya. Kedua syarat ini telah disepakati oleh para ulama (Hasyiyah Ibnu Abidin 2/678; Minahul Jalil, 2/448; Mughnil Muhtar, 3/446; Al-Inshaf, 9/392).

Diriwayatkan bahwa ada seorang Badui datang kepada Nabi saw. dan mengatakan, “Saya memiliki harta dan orang tua, dan ayah saya ingin menghabiskan harta saya.” Maka Nabi saw. Menjawab, “Engkau dan hartamu boleh dipakai orang tuamu. Sesungguhnya anak-anak kalian termasuk penghasilan terbaik, maka makanlah dari penghasilan anak-anak kalian.” (HR. Ahmad)

Maka, jika mendapati orang tua sudah tak berdaya dalam hal finansial dan tak sanggup lagi bekerja. Maka anak lelakilah yang berkewajiban menanggung nafkah orang tuanya, khususnya ibu. Sang istri harus rela berbagi dan mendukung suami untuk menunaikan kewajibannya. Sebab, jika tidak, sang suami akan berdosa dan terseret dalam api neraka. Rasulullah saw. bersabda: “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa bila ia menahan makanan dari orang yang menjadi tanggungannya. (HR. Muslim)

Jika Ekonomi Anak Pas-pasan

Betul, bahwa seorang lelaki idealnya menanggung nafkah istri, anak, dan orang tuanya. Namun, bagaimana jika dihadapkan pada fakta bahwa sang lelaki penghasilannya pas-pasan? Bahkan sering kembang kempis. Dalam kondisi seperti ini, lelaki harus memprioritaskan istri dan anak. Sebab, mereka menjadi tanggungan utama sebagai seorang suami.

Para ulama fikih telah menjawab persoalan ini, dikatakan bahwa seseorang yang tidak punya kelebihan nafkah untuk mencukupi semua orang yang menjadi tanggungannya. Maka, yang pertama dia nafkahi diri sendiri, lalu istrinya. Sebab, nafkah untuk istri merupakan kewajiban berdasarkan al-mu’awadoh (saling timbal balik) berupa pelayanan istri kepada suaminya. Ini lebih diprioritaskan dibandingkan nafkah berdasarkan al-muwasah (menolong). Rasulullah saw. bersabda: “Jika Allah taala memberikan kepada salah seorang di antara kalian kebaikan – nikmat atau rezeki, maka hendaknya dia memulai dengan dirinya dahulu dan keluarganya,” (HR. Muslim)

Jadi, seorang lelaki harus mengutamakan istri dan anak dalam hal nafkah. Baru setelah itu orang tuanya wabilkhusus ibu. Terlebih jika orang tuanya sudah renta dan tak sanggup lagi bekerja, maka otomatis menjadi tanggung jawab anaknya untuk menafkahi.

Betapa beruntungnya seorang lelaki, hidupnya senantiasa diapit oleh dua bidadari yang penuh cinta dan kasih. Jika lelaki memperlakukan keduanya dengan baik dan keduanya rida. Kelak jannah akan menjadi tempat kembalinya. Masyaallah.

Saling Bersinergi

Keharmonisan rumah tangga, tak bisa diwujudkan oleh suami seorang diri, namun harus saling bersinergi dan memiliki persepsi yang sama. Setidaknya ada beberapa prinsip yang harus terhunjam dalam benak seluruh anggota keluarga. Pertama, suami wajib menafkahi, mengayomi, dan melindungi istri dan anak. Namun, suami masih harus mengutamakan ibunya dibandingkan istrinya.

Kedua, kewajiban seorang istri adalah menaati suami dibandingkan orang tua istri. Ingat, bahwa istri itu milik suaminya. Istri pun harus memahami kewajiban suami akan birrul walidain kepada orang tua suami berlaku sepanjang masa. Jadi sebisa mungkin dukunglah suami, bukan malah menghalangi. Pun begitulah ketika sang istri memiliki anak lelaki, ia harus mendidik dan menggemblengnya agar kelak mengutamakan dirinya dibanding menantunya. Ini bukan bentuk keegoisan, namun aturan syarak.

Ketiga, sebagai orang tua dari suami, harus dipahami kondisi anak lelakinya kini bukan bujang sebagaimana dahulu, tapi dia berstatus suami yang telah memiliki rumah tangga sendiri. Orang tua tidak diperkenankan ‘menyetir’ semua keputusan yang diambil anaknya dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Sebab, sudah ada batasan-batasan baru kala sudah berumah tangga.

Ketiga prinsip itu mustahil dilakukan oleh sang lelaki sendiri. Harus terbangun sinergitas dari semua pihak untuk mewujudkan keluarga sakinah mawadah warahmah yang menjadi dambaan setiap insan. Di sinilah konsistensi akan diuji. Terjangan ombak dan badai akan terus menderu. Mampukah ia menaklukkannya?

Khatimah

Mahasuci Allah dengan segala peraturan yang telah digubah-Nya. Menempatkan segala sesuatu pada fitrah dan porsinya. Semua insan apa pun perannya akan dimuliakan bila on the track. Jika manusia mengamalkan ini semua, kelak tak ada lagi suara sumbang terkait perseteruan dalam rumah tangga, penelantaran orang tua dan keluarga. Sungguh kehidupan harmonis lagi berkah hanya akan terwujud dalam bingkai Islam kaffah.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Scabies Pada Anak, Berbahayakah?
Next
Tulang Rusuk yang Patah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sartinah
Sartinah
2 years ago

Masyaallah ... keren nih naskahnya teh Emy. Sudah nyata, kalau menjadikan Islam sebagai rujukan, niscaya gak ada yang akan terzalimi.

Umi Hafidz
Umi Hafidz
2 years ago

MasyaAllah, peluang pahala yang luar biasa ketika sama2 menjalankan peran sebagaimana mestinya...

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram