“Dalam sudut pandang kapitalisme, bahwa nilai guna suatu benda selagi masih ada peminat terhadapnya menjadi satu-satunya alasan produksi, tanpa mengindahkan bahaya atau kemudaratan yang ditimbulkannya olehnya.”
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ganja (Cannabis sativa) menurut UU No.35 Tahun 2009 termasuk jenis narkotika. Pengertian narkotika sendiri adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menjadikan orang ketergantungan, jenis narkotika dibedakan ke dalam golongan-golongan tertentu sebagaimana terlampir dalam UU tersebut.
Adanya upaya untuk melegalkan ganja agar mudah dimanfaatkan masyarakat dengan dalih kebutuhan medis atau pengobatan ditengarai sebagai upaya kapitalisme meraih keuntungan karena ganja secara finansial sangat menggiurkan. Menurut hasil riset CNBC yang dipublikasikan pada 29 Juni 2022, setidaknya terlihat dari sejumlah negara atau wilayah yang telah melegalkan ganja.
Menurut laporan CNBC, di AS pada tahun 2021, Departemen Keuangan negara bagian Washington berhasil mengumpulkan US$559,5 juta dari pendapatan ganja legal, US$85 juta lebih banyak dari tahun sebelumnya. Sedangkan di negara bagian Colorado mengumpulkan US$423 juta dari pendapatan pajak ganja pada tahun 2021, naik hampir 10% dari tahun sebelumnya. Dua negara bagian tersebut merupakan paling awal di AS yang melegalkan penggunaan ganja.
Bisnis Kapitalis yang Menggiurkan
Adanya nilai ekonomis tersebut muncul karena sejumlah perusahaan mulai melakukan operasi dengan beberapa di antaranya sudah menjadi perusahaan publik yang mayoritas bisnisnya terkait dengan budidaya, penjualan hingga pengolahan ganja. Sebut saja Canopy Growth merupakan salah satu perusahaan ganja terbesar dunia yang berbasis di Kanada dan diperdagangkan di Bursa Efek Toronto, saat ini kapitalisasi pasarnya senilai CAD 1,87 miliar, ambles nyaris 60% tahun ini.
Dalam sudut pandang kapitalisme, bahwa nilai guna suatu benda selagi masih ada peminat terhadapnya menjadi satu-satunya alasan produksi, tanpa mengindahkan bahaya atau kemudaratan yang ditimbulkannya olehnya. Kapitalisme, bahkan menihilkan nilai-nilai moral atau inmateriel yang ada di masyarakat. Hukum-hukum agama tidak pernah dihiraukan, jika urusannya sudah menyangkut bisnis. Semisal kasus iklan miras Hollywings dan legalisasi ganja. Inilah bahaya ganja jika sampai dilegalkan di negeri mayoritas muslim seperti Indonesia yang secara ekonomi masih terjajah oleh sistem kapitalisme global.
Seperti dikutip dari laman Tempo.co.id (30 Juni 2022) pengopinian legalisasi ganja untuk medis ini menguat setelah Santi Warastuti, warga Sleman, Yogyakarta mengampanyekan ganja untuk pengobatan. Santi menyampaikan tuntutan kepada Mahkamah Konstitusi di tengah acara Car Free Day (CFD), Jakarta Pusat, Ahad, 26 Juni 2022. Seruan tersebut disampaikan melalui poster permintaan tolong untuk kesembuhan anaknya yang mengidap Celebral Palsy , kondisi kelainan yang sulit diobati. Menurut Santi treatment yang paling efektif adalah menggunakan minyak biji ganja.
Tidak berselang lama, Santi diterima pimpinan DPR untuk audiensi. Kemudian Pimpinan DPR berjanji usulan legalisasi ganja medis akan dibahas dalam Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang kini sedang digodok DPR bersama pemerintah.
Ganja Haram Hukumnya
Dengan demikian, akar masalahnya karena kurangnya perhatian negara terhadap pelayanan kesehatan masyarakatnya, sehingga masih ada warganya yang harus berobat dengan barang yang haram. Secara dalil syar’i yang namanya ganja (al-ِhasyisy) menurut hadis dari Ummu Salamah r.a. dia berkata, ”Bahwa Nabi saw. telah melarang setiap-tiap zat yang memabukkan (muskir) dan zat yang melemahkan (mufattir).” (nahaa ‘an kulli muskir[in] wa mufattir[in]). (HR. Abu Dawud no. 3689 dan HR. Ahmad no. 26676).
Meskipun sebagian ulama menilai hadis ini daif (lemah), misalnya penulis kitab ‘ Aunul Ma’bud dan Syekh Syu’aib al-Arna`uth. Meskipun demikian, pandangan lebih kuat mengarah kepada Imam Ibnu Hajar al-Asqalani yang menghukumi hadis ini sebagai hadis hasan.
Sebagaimana dikutip dari laman tanya-jawab KH. Siddiq Al Jawi, bahwa para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan kata “mufattir” dalam hadis di atas adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan lemah/lemas (futuur) pada tubuh manusia. Ditulis Rawwas Qal’ah Jie dalam kitab Mu’jam Lughah al-Fuqoha , hlm. 342.
Dengan demikian, hadis di atas dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan ganja. Dikatakan Imam Ibnu Hajar bahwa dalam hadis Ummu Salamah ini terdapat dalil yang secara khusus mengharamkan ganja (al-hasyisy) karena ganja dapat menimbulkan rasa tenang (tukhaddir) dan melemahkan (tufattir). Bisa dilihat dalam Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35; Al-Mausu’ah al-Jina`iyyah al-Muqaranah, Juz 1, hlm. 367 & 695.
Namun secara tegas, keharaman ganja ini semata-mata didasarkan pada nas, bukan didasarkan pada ilat (alasan) keharaman ganja. Karena ilat itu memang tidak ada. Adapun mengenai ganja bisa menimbulkan efek negatif, adalah semata-mata fakta (al-waqi’), namun bukan ilat keharaman ganja.
Oleh karena itu, ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya. Ada kaidah fikih yang mengatakan:
إِنَّ العِبَادَاتَ وَالمَطْعُومَاتَ وَالمَلْبُوسَاتَ وَالمَشْرُوبَاتَ وَالأخْلَاقَ لَا تُعَلَّلُ وَإِنَّمَا يُلْتَزَمُ فِيهَا بِالنَّصِ
"Kaidah yang menjelaskan bahwa hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, dan akhlak tidak didasarkan pada ilat, melainkan harus berpegang pada nas saja."
Untuk itu legalisasi ganja adalah upaya kapitalisme mengerdilkan syariat Islam.
Wallahu a’lam bish Shawwab.[]
Photo : Pinterest