Kelumun Racun Negara Serumpun

“Wilayah nusantara yang luas terbentang menjadi terpisah-pisah. Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Filipina serta negeri lainnya menjadi hidup masing-masing. Pada pemisahan itu terpasang sekat beracun yang bernama paham kebangsaan atau nasionalisme. Paham inilah yang mendorong manusia mencintai dan mengunggulkan bangsanya sendiri.”

Oleh. Deena Noor
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Hubungan Indonesia dan Malaysia seperti dua saudara dekat yang kerap kali memanas. Saling mengeklaim wilayah, benda, atau warisan budaya tertentu menjadi bumbu pedas di antara keduanya. Memang sudah sejak lama dua negara serumpun Melayu ini mengalami pasang surut. Terkadang hangat bersahabat, terkadang dingin, dan di lain waktu bisa panas bergejolak.

Seperti baru-baru ini ketika media Singapura, Strait Times, mewartakan tentang pernyataan mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad yang cukup membuat heboh. Diberitakan Mahathir menyatakan bahwa Kepulauan Riau RI dan Singapura pernah menjadi bagian dari wilayah Malaysia sehingga harusnya diklaim kembali. Hal ini disampaikan Mahathir dalam sebuah pidato di Selangor, Malaysia pada Minggu (19/6/2022). Ia juga mengatakan bahwa dahulu Tanah Melayu sangat luas membentang dari Tanah Genting Kra di Thailand selatan hingga ke Kepulauan Riau dan Singapura. Karena itulah, Malaysia harusnya tak cuma menuntut kembali Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh saja, tetapi juga Singapura dan Kepulauan Riau. (cnbcindonesia.com, 23/6/2022)

Benarkah demikian? Kenapa perseteruan di antara negara serumpun sering terjadi? Bagaimana seharusnya hubungan yang terjalin menurut Islam?

Klarifikasi sang Mantan Perdana Menteri

Menanggapi pemberitaan tersebut, Mahathir Mohamad membantahnya. Ia mengatakan bahwa apa yang diberitakan adalah tidak akurat dan di luar konteks.

Dalam klarifikasi yang disampaikan kepada media pada Kamis (23/6/2022), Mahathir menyatakan bahwa sebenarnya ia tidak menuntut Malaysia untuk mengeklaim kembali tanah yang telah dihilangkan. Ia hanya menunjukkan bahwa Malaysia begitu khawatir kehilangan batu seukuran meja, namun tidak dengan hilangnya bagian wilayah yang lebih besar. Menurutnya kehilangan Pulau Batu Puteh bukanlah perkara besar yang mana itu merupakan kesalahan Pemerintah Johor di masa lampau. Ia lantas menyinggung tentang Pulau Sipadan dan Ligitan yang diputuskan oleh Mahkamah Internasional (International Court Justice /IJC) sebagai milik Malaysia. Ia mensyukuri dan berterima kasih pada Indonesia yang tak mempermasalahkan hal itu. (kompas.com, 24/6/2022)

Sipadan dan Ligitan

Pulau Sipadan dan Ligitan terletak di Selat Makassar, tak jauh dari Pulau Kalimantan/Borneo. Keduanya masuk negara bagian Sabah, Malaysia.

Kedua pulau ini pernah dipersengketakan oleh Indonesia dengan Malaysia. Bermula pada tahun 1969 ketika kedua negara merundingkan batas maritim di Laut Sulawesi dan sama-sama mengeklaim Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayahnya. Indonesia dan Malaysia melakukan serangkaian pertemuan dan upaya guna mencari titik temu terkait siapa yang berhak atas kedua pulau tersebut. Sampai pada tahun 1998 sengketa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan belum juga usai. Kedua negara akhirnya sepakat membawa masalah tersebut ke Mahkamah Internasional. Maka, pada 17 Desember 2002 keluarlah putusan Mahkamah Internasional yang menyerahkan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia. (wikipedia.org)

Alasan kenapa Malaysia dianggap lebih berhak adalah karena berdasarkan pertimbangan efektivitas, yakni Inggris yang merupakan penjajah Malaysia telah melakukan tindakan administratif secara nyata dengan menerbitkan ordonansi perlindungan satwa burung dan pungutan pajak terhadap pengumpulan penyu sejak 1930. Pembangunan dan operasi mercusuar di pulau tersebut sejak tahun 1960-an oleh Inggris juga dianggap cukup menjadi bukti kedaulatan Malaysia di sana. Sedangkan Belanda yang menjajah Indonesia hanya singgah saja di pulau tersebut.

Sengketa Pedra Branca

Bukan hanya dengan Indonesia saja Malaysia bersengketa wilayah, tetapi juga dengan Singapura. Dalam sengketa terkait beberapa pulau kecil di sebelah selatan Singapura, yakni Pulau Batu Puteh (Pedra Branca), Batuan Tengah (Middle Rocks), dan Pinggiran Selatan (South Ledge).

Pedra Branca sendiri dalam Bahasa Portugis berarti Batu Putih. Singapura menyebut pulau tersebut dengan Pedra Branca dan mengeklaim menjadi bagian dari wilayahnya. Demikian pula dengan Malaysia yang merasa bahwa pulau tersebut miliknya.

Sengketa bermula pada tahun 1979 ketika Malaysia menjadikan pulau ini masuk dalam petanya. Singapura lalu melakukan protes secara resmi pada awal tahun 1980-an. Sengketa ini pun dibawa ke Mahkamah Internasional (IJC). Akhirnya pada 23 Mei 2008, IJC menetapkan bahwa Singapura berdaulat atas Pulau Pedra Branca dan Malaysia berdaulat atas Middle Rocks. Pembangunan Mercusuar Horsburgh di Pulau Batu Puteh dan penguasaannya secara konsisten menunjukkan bahwa Singapura lebih berhak atasnya.

Pada tahun 2017, Malaysia mengajukan permohonan revisi atas ketetapan tersebut ke IJC. Namun, setelah Mahathir Mohamad terpilih kembali menjadi Perdana Menteri pada Mei 2018, Malaysia menghentikan proses tersebut.

Singapura, Kepulauan Riau, dan Malaysia

Dahulu, Singapura pernah menjadi bagian dari Malaysia, tepatnya Kesultanan Johor pada abad ke-16 hingga abad ke-19. Sesuai Resolusi Majelis Umum PBB 1514 pada 16 September 1963, melalui proses dekolonialisasi, Singapura, Serawak, Borneo Utara (sekarang Sabah) menjadi bagian dari Malaysia. Singapura kemudian dikeluarkan dari Malaysia pada 9 Agustus 1965 dan menjadi negara merdeka dengan nama Republik Singapura.

Sedangkan untuk Kepulauan Riau, dahulunya termasuk dalam Kesultanan Malaka sampai datanglah penjajah Belanda. Pada 1913, Belanda menguasai penuh wilayah Riau dan memberinya nama Residentie Riouw en Onderhoorigheden. Riau pun masuk dalam wilayah Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, maka Riau menjadi bagian dari Indonesia. Hal ini diperkuat dengan UU No. 43/2008 tentang Wilayah Negara, penjelasan pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa negara yang merdeka mewarisi bekas negara penjajahnya. (cnbcindonesia.com, 22/6/2022)

Bersahabat dan Berseteru

Indonesia dan Malaysia adalah dua negara di Asia Tenggara yang memiliki kedekatan budaya. Mulai dari bahasa hingga makanannya tak jauh berbeda. Sama-sama memiliki bangsa Melayu juga menjadikan persamaan kedua negara ini sangat kental.

Tak mengherankan bila banyak kemiripan dan kesamaan antara Indonesia dan Malaysia. Namun, sayangnya hal ini sering memicu perseteruan tiada henti. Hubungan keduanya naik turun seperti roller coaster. Ada kalanya naik, ada kalanya turun. Latar belakang yang sama menjadikan keduanya bisa sangat akrab dan mudah menyatu layaknya saudara. Namun, di lain waktu masalah sepele pun bisa membuat hubungan memanas dan merenggang.

Bukan hanya wilayah, saling klaim produk budaya juga sering terjadi. Seolah berlomba-lomba siapa yang bisa mematenkannya dahuluan. Takut jika apa yang dirasa menjadi miliknya akan direbut oleh yang lain. Wayang kulit, batik, reog Ponorogo, rendang, dan kuda lumping adalah sejumlah hal yang menjadi bahan persaingan antara Indonesia dan Malaysia. Padahal, sebenarnya wajar saja bila hidup di wilayah yang sama akan ditemukan banyak persamaan.

Racun di Negara Serumpun

Indonesia dan Malaysia adalah negara serumpun dengan leluhur yang sama dan terletak dalam satu wilayah geografis. Dahulu, kedua negara ini bersatu dalam “Nusantara”.

Namun, semuanya berubah setelah datangnya bangsa Eropa dengan kolonialisasinya. Inggris menguasai wilayah Malaysia, sedangkan Belanda menjajah Indonesia. Politik kolonial ini kemudian memecah belah negeri-negeri serumpun tersebut. Keduanya berjuang untuk meraih kemerdekaannya masing-masing. Mereka disibukkan dengan perjuangannya sendiri.

Setelah kemerdekaan diraih dari para penjajah, masuklah Indonesia dan Malaysia dalam kungkungan cangkang negara bangsa. Aku dengan bangsaku. Kamu dengan bangsamu sendiri. Kita punya urusan masing-masing yang harus ditangani.

Wilayah nusantara yang luas terbentang menjadi terpisah-pisah. Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Filipina serta negeri lainnya menjadi hidup masing-masing. Pada pemisahan itu terpasang sekat beracun yang bernama paham kebangsaan atau nasionalisme. Paham inilah yang mendorong manusia mencintai dan mengunggulkan bangsanya sendiri.

Rusak dan Berbahaya

Nasionalisme merupakan suatu ikatan berdasarkan kesamaan identitas sebagai bangsa. Dalam kitab Nizhamul Islam disebutkan bahwa ikatan ini rusak karena tiga hal, yakni

  1. Tidak mampu mengikat manusia satu dengan lainnya menuju kebangkitan dan kemajuan.
  2. Ikatannya bersifat emosional. Selalu didasarkan pada persamaan yang muncul secara spontan dan mudah berubah.
  3. Bersifat temporal atau semata saja. Dalam keadaan normal tidak muncul. Hanya muncul ketika datang ancaman.

Ikatan nasionalisme merupakan ikatan yang rendah. Ia berbahaya karena berangkat dari pemikiran yang memisahkan agama dari kehidupan. Ikatan nasionalisme menjadikan hukum manusia sebagai panglimanya. Aturan Sang Pencipta ditepikan.

Ikatan semacam ini jelas melumpuhkan dan mematikan kehidupan umat Islam yang seharusnya dalam panduan syariat. Dunia Islam terpecah belah dan lemah. Umat Islam tidak mampu melawan kezaliman yang menimpa diri mereka karena kaki dan tangan mereka terikat belenggu nasionalisme. Umat ini hanya bisa tunduk pada hegemoni Barat.

Lebih parah lagi, ada sebagian umat yang justru menjadi penolong musuh-musuh agama Allah karena lebih takut kehilangan posisi dan materi. Akibatnya mereka bisu dan tuli terhadap kondisi umat yang lain. Apa yang terjadi di Palestina, Suriah, Rohingya, Uighur, dan di belahan bumi lainnya adalah contoh nyata di hadapan mata kita. Tega mengkhianati saudara sendiri. Padahal sesama saudara adalah satu tubuh sebagaimana sabda Rasulullah: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi adalah bagaikan satu jasad. Jika salah satu anggotanya sakit, maka seluruh jasad ikut merasakan (penderitaannya) dengan tidak bisa tidur dan merasa panas.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ikatan nasionalisme telah merongrong ukhuah Islamiah, penerapan syariat Islam secara kaffah, dan dakwah Islam ke seluruh dunia. Nasionalisme tidak akan bisa menyatukan umat, karena ikatan ini didasarkan pada naluri bertahan hidup dan keinginan untuk menguasai tampuk kepemimpinan. Persaingan untuk mendapatkan kekuasaan akan memicu terjadinya adu kekuatan antar manusia dan mendorong terjadinya konflik di seluruh level masyarakat. Akibatnya perseteruan, perselisihan, dan kekerasan menjadi makanan sehari-hari.

Menghimpun Kembali Persatuan

Ikatan nasionalisme yang rusak dan rendah itu telah menimbulkan banyak permasalahan. Umat tak hanya tertindas oleh musuh-musuh Islam, tetapi juga persatuan dalam tubuh sendiri menjadi kian tergerus. Karena itulah, ikatan ini harus ditinggalkan dan segera beralih pada ikatan ideologis yang hakiki, yakni akidah Islam. Mari kita renungkan firman Allah dalam Al-Quran surah Ali Imran ayat 105: “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.”

Ikatan yang berlandaskan pada akidah Islam mampu melahirkan peraturan hidup yang menyeluruh dan mempersatukan seluruh umat. Kehidupan umat manusia akan diatur dengan sistem terbaik dan menghasilkan kebaikan di segala bidang.

Dengan aturan yang lahir dari akidah Islam itu, umat yang tertindas akan terbebaskan. Segala bentuk kezaliman akan dienyahkan. Ikatan berasas akidah ini akan membangkitkan kembali umat yang terpuruk.

Malaysia dan Indonesia memiliki kesamaan akidah Islam yang dianut penduduknya. Itu menjadi modal dasar perjuangan untuk mewujudkan persatuan yang sejati. Tidak akan ada lagi ceritanya saling mengeklaim wilayah atau produk tertentu karena semuanya menjadi satu negara. Tidak akan lagi saling bertikai dan berseteru memperebutkan sesuatu karena semua sama-sama bisa mendapatkan manfaatnya. Yang ada justru akan saling menguatkan laksana satu tubuh demi meraih tujuan bersama sesuai syariat.

Ditambah dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan penduduknya yang banyak akan menjadikan negara dengan akidah Islam ini mampu berdiri kokoh. Ia akan kembali meraih posisinya sebagai menjadi mercusuar dunia, memberikan kebaikan bagi seluruh alam semesta. Untuk itu tiada jalan lain yang bisa ditempuh selain dengan dakwah Islam kaffah. Dengan melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam naungan Khilafah Islamiah.

Wallahu a’lam bish-shawwab. []

Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Deena Noor Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Ketika para Sahabat Menumpahkan Khamar
Next
Tinta Jemari Ayah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram