“Terkait RUU KIA, mengondisikan para ibu agar tetap nyaman saat bekerja di luar rumahnya dapat dikatakan sebagai hidden goal dari RUU ini. Yakni memberdayakan perempuan untuk mendongkrak ekonomi nasional, kemungkinan besar membuat peran keibuan tidak terlaksana maksimal, yang notabene merupakan tugas utama seorang ibu.”
Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Masa-masa setelah melahirkan bagi seorang ibu adalah periode yang krusial. Pemulihan kondisi tubuh, transisi peran yang bertambah untuk menyusui anaknya, hingga proses menata kehidupan yang baru dengan tugas sebagai seorang ibu akan langsung dijalani saat itu juga. Bagi para ibu yang memilih menjadikan rumah sebagai tempat aktivitas dominannya, perkara ini tampaknya alamiah untuk berlangsung. Namun yang sering menjadi masalah adalah ketika para working mom atau ibu bekerja harus kembali ke kantor tempatnya bekerja setelah melewati masa cuti melahirkannya.
Masalah ini sangat bisa memengaruhi kondisi sang ibu, terlebih kondisi psikisnya yang secara fitrah tentu ingin dan butuh dekat dengan anak yang baru dilahirkannya ke dunia. Tiga bulan waktu cuti yang diakomodasi oleh UU Ketenagakerjaan selama ini rasanya sangat tidak cukup untuk sang ibu menjalani peran mulianya. Fakta tentang ibu bekerja ini bukanlah hal yang baru, karena tatanan kehidupan hari ini dapat dikatakan memang mendorong perempuan untuk turut bekerja di luar rumah.
Berangkat dari keresahan tersebut, DPR melalui Baleg (Badan Legislatif) mencanangkan perumusan Rancangan UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Tak hanya ibu, ayah juga dalam RUU ini diupayakan akan bisa mendapatkan paternity leave atau cuti ayah untuk membersamai sang istri yang baru saja melahirkan atau keguguran (DPR RI, 20/6/22). RUU banyak yang mengatakan bak oasis di tengah padang pasir, sebuah solusi yang amat dirindukan. Hanya saja, benarkah kaum muslimin secara langsung memang harus menerima RUU ini tanpa penolakan sedikit pun? Serta bagaimanakah perspektif Islam terkait masalah ini?
Kontroversi RUU KIA
Siapa pun yang mendapati informasi mengenai rencana pengesahan RUU ini, kemungkinan besar akan langsung bersorak bahagia pertanda setuju. Mulai dari alasan bahwa ini merupakan langkah dari pemerintah untuk menyukseskan fase ASI eksklusif (6 bulan pertama kehidupan bayi setelah lahir) hingga alasan untuk mendorong kesejahteraan ibu yang baru melahirkan dalam mengurus anaknya. Ada satu hal yang menarik dari RUU ini, yakni definisi kesejahteraan itu sendiri.
Dalam naskah akademik RUU KIA, kesejahteraan ibu dikaitkan dengan kecukupan pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Titik beratnya berarti terletak pada urusan pendapatan atau lebih spesifik lagi terkait ekonomi dan finansial keluarga. Memang, masalah bahwa banyaknya ibu yang bekerja memerlukan sebuah pemecahan agar tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak tetap bisa terlaksana dengan maksimal. Penyusunan RUU KIA ini pun dibuat salah satunya untuk mengatasi masalah dan keluhan yang dirasakan oleh para ibu bekerja.
Enam bulan masa ASI eksklusif bagi bayi tentu menuntut usaha yang kuat dari sang ibu untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Dan jika mengikuti aturan yang ada, 3 bulan waktu cuti setelah melahirkan serta tak adanya cuti ayah untuk membersamai istri yang telah melahirkan jelas menjadi sebuah dilema tersendiri. Maka dari sini, kehadiran RUU KIA yang memperpanjang masa cuti ibu dengan tetap digaji dan memberikan hak cuti juga bagi ayah tentu merupakan angin segar.
Namun kembali lagi, titik kritis RUU ini justru terletak pada sudut pandangnya dalam menyelesaikan masalah yang ada sejak lama. RUU KIA sangat jelas memberikan dukungan kepada ibu yang bekerja di luar rumah agar tetap bisa menjalankan peran keibuan atas anaknya, tanpa harus menelantarkan pekerjaannya. Padahal, jika merujuk kepada Islam, sudut pandangnya tidaklah demikian. Seorang perempuan, termasuk di dalamnya seorang ibu, tidak diwajibkan untuk bekerja sebagaimana laki-laki. Mencukupi pendapatan keluarga, solusinya bukanlah dengan mendorong para perempuan untuk bekerja. Masalah lain seperti penerapan sistem ekonomi yang kapitalistik sehingga menyebabkan ketimpangan penghasilan dan tingginya harga kebutuhan pangan, serta kurang bertanggungjawabnya suami, dan lain-lain seharusnya mendapat sorotan serius juga. Hal ini disebabkan karena berbagai kesulitan hidup yang dirasakan oleh rakyat yang kian nyata bisa jadi diprakarsai oleh salah satu dari kedua hal tersebut.
A Deeper Look
Indonesia hari ini berada dalam kungkungan agenda internasional, beberapa di antaranya adalah terkait pembangunan ekonomi dan kesetaraan gender. Manifestasi dari dua agenda ini adalah pemberdayaan perempuan untuk mendongkrak ekonomi nasional melalui kegiatan bekerja. Agenda ini berangkat dari kondisi rakyat yang tidak sedikit berada pada dan di bawah garis kemiskinan, yang membuat pendapatan suami saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Keluarnya perempuan untuk bekerja selaras dengan pengarusutamaan kesetaraan gender, di mana aktivitas ini penting untuk menyetarakan peran publik laki-laki dan perempuan.
Terkait RUU KIA, mengondisikan para ibu agar tetap nyaman saat bekerja di luar rumahnya dapat dikatakan sebagai hidden goal atau tujuan terselubung dari RUU ini. Padahal jika dilihat lebih jauh, dengan memberdayakan perempuan untuk mendongkrak ekonomi nasional, kemungkinan besar membuat peran keibuan tidak terlaksana maksimal, yang notabene merupakan tugas utama seorang ibu. Hal ini disebabkan karena saat seorang ibu keluar untuk bekerja, pengurusan anak dapat dipastikan diserahkan kepada pihak lain, yang pada faktanya belum tentu mumpuni untuk melakukan proses pendidikan anak.
Memberdayakan ekonomi perempuan dalam tataran nasional memang terdengar sebagai program yang bagus dan sangat pro terhadap urusan perempuan. Tapi ini juga berpotensi menimbulkan masalah baru karena solusi yang ditawarkan tidaklah komprehensif, melihat kesulitan ekonomi hari ini kian kuat disebabkan oleh sistem yang tidak menjalankan hukum-hukum Islam yang terbukti adil dan menyejahterakan kehidupan rakyat. Berbagai kebijakan yang dirancang ini pun tak jarang tumpang tindih dengan kebijakan lain yang sudah diketok palu. Kondisi ini juga menunjukkan betapa lemah dan terbatasnya kemampuan manusia dalam mengatur dan mengurus hidupnya.
Penerapan aturan yang memihak segelintir orang secara nyata telah melahirkan ketimpangan sosial, termasuk dalam hal ekonomi, yang akhirnya “memaksa” para perempuan untuk melakukan sesuatu yang bukan kewajibannya, demi menjalani hidup. Sudut pandang inilah yang seharusnya penting untuk dipahami, bukan serta-merta setuju untuk mendorong kaum ibu menjadi pekerja yang banting tulang untuk menjadi tulang punggung keluarga.
Working Women dan Pandangan Islam
Seorang perempuan pada dasarnya boleh bekerja untuk domain publik, baik di dalam maupun di luar rumah. Bahkan dalam beberapa bidang, keberadaan pekerja perempuan amat diperlukan. Misalnya bidan, dokter spesialis kandungan, dan sebagainya yang jika dikerjakan oleh perempuan memang akan berpengaruh pada kenyamanan pasien perempuan. Tapi yang menjadi sorotan adalah mengenai pekerjaan yang dilakoni perempuan atas dalih, seperti "agar punya uang sendiri", "saya kerja supaya tidak bergantung dengan suami", atau bahkan sesederhana alasan uang yang diberikan suami tidak cukup untuk memenuhi keperluan rumah tangga. Alasan-alasan tersebut tidak dinafikan menjadi beberapa faktor pendorong seorang perempuan untuk bekerja.
Dengan dalih yang demikian, keluarnya perempuan dari rumah untuk mencari uang bisa menjadi masalah serius. Sudut pandang yang demikian sarat dengan nilai materialistis yang tentu berseberangan dengan Islam. Kebolehan perempuan untuk bekerja memiliki syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, yakni jika tugas pertama dan utamanya sebagai ummu wa rabbatul bayt atau ibu dan manajer rumah tangga sudah selesai. Pekerjaan yang dilakoni pun tidak boleh yang mengeksploitasi sisi keperempuanannya dan mempersulit mereka untuk mengerjakan kewajiban di rumah.
Terdapat salah satu hadis yang berbunyi, “Dari Abdullah, Rasulullah saw. bersabda,_“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya… Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya…”_ (HR. Bukhari)
Lisan mulia baginda Nabi saw. ini memberikan indikasi kepada perempuan akan kepemimpinannya atas urusan yang berkaitan dengan rumah. Tentu hal ini termasuk mengurus anak, memenuhi keperluan suaminya, serta mengondisikan rumah agar menjadi tempat tinggal yang nyaman.
Dakwah Islam untuk Kesejahteraan Ibu dan Anak
Dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi oleh kaum ibu hari ini, bahkan untuk menyempurnakan tugas fitrahnya dalam mengurus dan mendidik anak, sudut pandang yang melahirkan berbagai peraturan yang tidak melihat masalah secara fundamental ternyata merupakan sebuah masalah serius yang mutlak memerlukan solusi. Hidup dalam sistem yang kian menyusahkan perempuan, khususnya kaum ibu, tidak membutuhkan solusi yang justru membuat mereka semakin nyaman dan kondusif meninggalkan rumahnya demi mencari uang.
Sudut pandang yang memahami bahwa penerapan sistem kehidupan yang tidak sesuai hukum syarak ini merupakan biang kerok berbagai masalah perempuan adalah perspektif yang komprehensif. Dengan pandangan ini, maka solusi yang seharusnya diserukan adalah bagaimana agar hidup kaum muslimah ini dapat berjalan sesuai dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah Swt. Dakwah untuk beralih dari kehidupan kapitalistik dan sekuler –yang terbukti melahirkan banyak masalah kehidupan- menuju kehidupan yang islami adalah solusi yang tidak hanya rasional, tapi juga sesuai dengan dalil-dalil syariat.
Kesejahteraan ibu dan anak-anaknya tidak dapat digantungkan begitu saja pada undang-undang atau kebijakan lain yang mendikotomi peran Allah sebagai Zat Yang Maha Mengatur dari kehidupan. Manfaat yang boleh jadi terasa ketika aturan parsial tersebut terealisasi tidak boleh membuat kaum ibu merasa puas dan cukup dengan kondisi yang ada. Karena bagaimanapun kebaikan yang hadir dari aturan yang dibuat oleh manusia, tetap saja aturan tersebut memiliki kelemahan dan bisa jadi kontradiktif di kemudian hari. Hal ini tentu disebabkan karena manusia –sepintar apa pun ia- tetap merupakan makhluk Allah yang lemah dan terbatas, sehingga kebijakan apa pun yang lahir dari kecerdasannya pun tetap berpotensi keliru dan membawa mudarat. Berbeda dengan setiap aturan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah, tak ada keraguan dan dilema dalam kesahihan serta kebaikan yang diberikan untuk umat manusia di zaman mana pun.
Wallahu a’lam bisshawwab.[]