"Kemiskinan struktural yang diciptakan kapitalisme, akhirnya memaksa perempuan untuk meninggalkan tugas mereka sebagai ummun warabbatul bait dan madrasatul ula bagi anak-anaknya."
Oleh. Dia Dwi Arista
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Posisi pekerja perempuan dalam sistem kapitalisme sangatlah dominan. Berbagai perusahaan, khususnya pabrik, lebih menyukai perempuan sebagai buruhnya daripada laki-laki. Hal ini disebabkan oleh sifat perempuan yang mudah diatur, teliti, rapi, dan sabar dalam pekerjaannya. Bahkan, sedikitnya tuntutan dari perempuan juga menambah nilai plus untuk perusahaan.
Namun, sebagai perempuan, mereka tidak bisa menghindari fitrahnya untuk mengandung, melahirkan, dan mengasuh. Sehingga muncul polemik tak berkesudahan antara buruh perempuan dan perusahaan. Ketika perempuan melahirkan, tak jarang gaji dari cuti melahirkan mereka tak dipenuhi. Padahal, negara ini sudah mempunyai aturan tentang hal tersebut.
Pemerintah telah memiliki aturan tentang Tenaga Kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dalam undang-undang tersebut, telah dinyatakan bahwa perempuan melahirkan berhak mendapat cuti selama 3 bulan. Disebutkan dalam Pasal 82 ayat 1, bahwa perempuan yang akan melahirkan diberi cuti 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan.
Namun, meski aturan cuti sudah diteken. Nyatanya masih terjadi polemik, sehingga aturan cuti 3 bulan harus diperpanjang menjadi 6 bulan. Aturan baru ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA), yang akan dibahas lebih lanjut oleh DPR. (news.detik.com, 20/6/2022)
Ketua DPR, Puan Maharani, berkomentar bahwa RUU KIA masuk pada Prolegnas prioritas 2022. Ia berharap RUU ini segera rampung, agar Indonesia memiliki generasi emas. Oleh karena itu, adanya cuti selama 6 bulan akan menjadi modal awal untuk mencetak generasi emas. Sebab, meski ibunya bekerja, bayinya akan tetap mendapatkan ASI eksklusif 6 bulan. Perpanjangan cuti tersebut juga diharapkan akan menambah bonding antara ibu dan anak.
Tak hanya itu, cuti 6 bulan bagi buruh perempuan diharapkan akan memberi kenyamanan, serta kesehatan mental dan fisik bagi ibu. Bahkan, dalam RUU tersebut, telah disebutkan bahwa selama ibu hamil cuti melahirkan, ia masih memperoleh gaji 100 persen pada 3 bulan pertama. Dan 70 persen pada 3 bulan sisanya. Namun, benarkah aturan baru ini dapat menyejahterakan anak dan ibu?
Akomodasi Buruh
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibthiyah, berpendapat bahwa RUU ini harus didukung oleh segenap pihak, terlebih oleh perusahaan. Sebab, dibutuhkan waktu yang cukup bagi ibu hamil yang melahirkan untuk kembali bekerja, agar generasi yang dilahirkan bisa disiapkan menjadi generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, perusahaan harus memahami hak-hak reproduksi perempuan. Dan mengimbau agar perusahaan tidak mempunyai pandangan bahwa menerima pekerja perempuan adalah hal yang merugikan.
Akomodasi yang diberikan pemerintah, semata-mata adalah agar perempuan terus bekerja. Tanpa dihalangi oleh tugasnya sebagai seorang ibu dan pendidik generasi. Hal ini sejalan dengan program Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak (PPPA).
Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, mengatakan bahwa, seluruh elemen harus mendukung perempuan untuk mencapai potensi optimalnya dalam perannya untuk pembangunan nasional, serta memberikan sumbangsih terbaik mereka bagi kemajuan bangsa. Hal ini semata-mata agar perempuan dapat menyetarakan posisinya sebagai warga negara yang sama dengan laki-laki. (kemenpppa.go.id/25/4/2021)
Tak heran, memang dalam kapitalisme perempuan diberikan ruang kebablasan yang tidak sesuai fitrah mereka. Kegagalan ekonomi kapitalis, akhirnya menumbalkan perempuan dan anak. Sebab, perempuan didorong untuk bekerja sebagai aset untuk menyelamatkan ekonomi bangsa. Yang pada akhirnya, korban tak hanya perempuan saja, namun anak-anak dan biduk rumah tangga mereka juga tak jarang menjadi retak.
Adanya RUU KIA ini, kemudian menjadi alat untuk mengakomodasi perempuan agar tetap bekerja meski telah memiliki anak.
Ilusi Kesejahteraan
Alih-alih hidup sejahtera, perempuan dalam sistem ini terus menderita. Meski dibuat berbagai aturan yang mengakomodasi perempuan dalam menjalankan fitrahnya, namun hal itu tetaplah gagal. Sebab, sistem yang diberlakukan tak pernah akan bisa menyejahterakan perempuan dan anak.
Kemiskinan struktural yang diciptakan kapitalisme, akhirnya memaksa perempuan untuk meninggalkan tugas mereka sebagai ummun warabbatul bait dan madrasatul ula bagi anak-anaknya. Gaji yang diterima suami mereka, meski UMR, tetaplah tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari yang semakin meningkat. Apalagi jika gaji suami mereka di bawah UMR. Miris!
Belum lagi, mereka diwajibkan mandiri oleh pemerintah dalam pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Meski ada bantuan dari pemerintah, namun jumlahnya kecil sekali, dan tak dapat menutup semua kebutuhan mereka. Oleh karena itu, mau tidak mau perempuan harus keluar rumah menjadi tulang punggung kedua dalam rumah tangga. Sedangkan anak-anak mereka diasuh orang lain. Atau bahkan tak jarang juga terlantar di rumah. Lantas di mana nilai kesejahteraannya?
Inilah ilusi kesejahteraan bagi perempuan dan anak dalam sistem kapitalis demokrasi.
Perempuan Sejahtera dalam Khilafah
Islam adalah agama yang menempatkan manusia sesuai fitrahnya. Perempuan diciptakan Allah Swt. dengan potensi mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuh. Ia pun dipercaya sebagai pendidik pertama bagi generasi muslim selanjutnya. Maka ketika perempuan dijauhkan dari fitrahnya, tentu mereka tak akan mendapatlan ketenangan. Bahkan stres dan depresi bisa saja sering mereka alami.
Untuk memastikan bahwa laki-laki dan perempuan hidup sesuai dengan fitrah mereka, maka hukum syariat Islam harus diterapkan. Wadah untuk hukum ini tentu adalah Khilafah. Sebab, institusi lain terbukti tidak dapat menjalankan syariat secara kaffah.
Khilafah memastikan bahwa seluruh penduduknya (laki-laki dan perempuan) dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokoknya: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Oleh karena itu, Khilafah wajib menyediakan lapangan pekerjaan dengan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Tak hanya itu, Khilafah dapat memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara murah, bahkan gratis. Hingga kepala keluarga bisa fokus dalam mencari nafkah untuk kebutuhan lainnya. Mencari nafkah dalam Islam adalah kewajiban laki-laki. Rasululullah saw. bersabda, "Bertakwalah kepada Allah dalam penunaian hak-hak para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah. Dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah… Kewajiban kalian terhadap istri kalian adalah memberikan mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang baik." (HR. Muslim)
Sedangkan perempuan, mempunyai kewajiban dalam mengurus rumah tangganya. Meski Islam membolehkan wanita bekerja, namun bukan dalam rangka kontribusi menyelamatkan ekonomi keluarga apalagi negara. Sebab, seumur hidup perempuan dalam Islam adalah dinafkahi. Ia tidak berkewajiban menafkahi dirinya sendiri ataupun orang lain.
Perempuan yang tidak bekerja pun tidak akan dianggap sebagai perempuan yang tidak mandiri, sebagaimana pandangan kapitalis terhadap perempuan yagg tidak bekerja saat ini. Perbedaan pandangan ini terjadi disebabkan perbedaan prinsip mendasar ideologi kapitalis dan Islam.
Yakni, dalam Islam, perempuan dimuliakan dengan tugas rumah tangga, ia pun tetap mendapatkan nafkah yang makruf dari suaminya. Ia sejajar dengan laki-laki sebagai manusia di hadapan Allah. Namun, perempuan diberi keistimewaan untuk dinafkahi. Sedangkan kapitalis tidak mempunyai pandangan seperti ini. Perempuan dianggap sebagai individu sejajar dengan laki-laki, yang setara dalam kehidupan, dalam artian mencari kehidupan. Tanpa memandang potensi dari masing-masing gender.
Oleh karena itu, ketika sistem Islam dengan Khilafahnya tegak, maka dengan mudah negara memberi kesempatan kerja bagi laki-laki dengan gaji yang cukup, bahkan berlebih dalam menafkahi keluarganya, serta tertunaikannya kewajiban negara dalam menjamin pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi rakyatnya, maka perempuan bisa fokus menjadi ummun wa rabbatul bait. Ia tersejahterakan dengan berlakunya sistem Islam di tengah-tengah mereka. Allahu a'lam bishshowwab[]
Sebenarnya, kalau mau menerapkan Islam, perempuan itu tidak perlu susah-susah bekerja. Mereka akan mulia dengan perannya sebagai ibu yang mendidik generasi penerus. Sedangkan sistem yang ada sekarang menempatkan perempuan hanya sebagai penghasil cuan. Sementara tugas utamanya sering terabaikan. Jauuuuh sekali perbedaannya.