"Petunjuk kehidupan itu adalah Al-Qur'an. Ia merupakan mukjizat yang sungguh sampai sekarang tidak ada yang bisa membuat semisalnya. Ia datang dari penciptanya manusia. Bahasanya indah tanpa cela, sebagai bahasa para penghuni surga kelak, yang barang siapa mempelajarinya, maka akan mendapatkan pahala. Isinya adalah petunjuk bagi mereka yang bertakwa."
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hari demi hari, kehidupan terasa sempit dan sulit. Manusia berlomba bertahan dalam sengitnya persaingan dunia. Tak jarang saling senggol dan bergesekan, saling tikung dan serang, bahkan saling bunuh, demi bisa bertahan dalam fananya dunia. Tanpa ilmu, mereka menganggap dunia ini segalanya, mereka merasa tak akan mati. Yang kaya ingin lebih kaya, yang miskin berupaya bagaimana menyusul yang kaya, atau untuk sekadar menyambung nyawa. Bagi mereka, menguasai dunia adalah sumber bahagia.
Adalah manusia dengan syahwat dan kecintaannya terhadap dunia. Kemewahan serta kilau gemerlapnya dunia sering melalaikan manusia dari mengingat akhirat, padahal akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya dan abadi selamanya. Manusia mati-matian mengejar dunia, padahal dunia tidak akan dibawa mati. Namun, mereka rela kerja siang-malam menjadi budak dunia, melakukan segala cara bahkan menjual agama demi mendapatkan secuil kenikmatan sementara.
Sayangnya, umat Islam pun tak jauh dari pertarungan ini. Tak jarang, kaum muslimin ikut meramaikan perebutan secuil nikmat dunia, tanpa tahu bahwa mereka mempunyai pedoman ampuh untuk menjalankan kehidupan ini dengan sukses. Petunjuk kehidupan itu adalah Al-Qur'an. Ia merupakan mukjizat yang sungguh sampai sekarang tidak ada yang bisa membuat semisalnya. Ia datang dari penciptanya manusia. Bahasanya indah tanpa cela, sebagai bahasa para penghuni surga kelak, yang barang siapa mempelajarinya, maka akan mendapatkan pahala. Isinya adalah petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Siapa saja yang berpegang teguh padanya, maka akan sukses dunia akhirat.
Sebagai pedoman kehidupan yang datang dari pencipta kehidupan, Al-Qur'an telah banyak mengajak manusia untuk menapaki hidup ini dengan petunjuk rabbani. Manusia diajak untuk menjadikan kehidupan ini sebagai lahan mencari keridaan Ilahi, bukan hanya sekadar hidup dan mengumpulkan harta. Maka, dengan memahami hakikat tersebut, manusia tidak akan lagi salah dalam menjalani kehidupan ini yang menjadikannya menyesal di akhirat kelak.
Kita sering ngoyo dalam urusan dunia, padahal ketika kita mau sebentar saja membuka lembaran Al-Qur'an, maka akan kita dapati langkah apa yang tepat bagi kita dalam memperlakukan dunia. Bukankah Allah telah berfirman dalam surah Al-Mulk ayat 15, "Dialah (Allah) yang menjadikan bumi itu mudah untukmu, maka berjalanlah di seluruh penjurunya, dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu sekalian dikembalikan setelah dibangkitkan.”
Dari ayat di atas, kita hanya diperintahkan berjalan oleh Allah, yang artinya tak harus mengeluarkan seluruh energi, pikiran, dan konsentrasi kita pada dunia, karena rezeki sudah Allah tetapkan bagi setiap yang bernyawa, mengapa harus resah? Akan tetapi, mari kita buka lagi Al-Qur'an, bagaimana seharusnya sikap kita terhadap seruan untuk ketaatan? Ternyata Allah perintahkan kita untuk bersegera atau jalan cepat, bukan hanya berjalan biasa dan santai seperti layaknya kita menghadapi dunia, tapi kita harus mempercepat langkah kita. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Jumu'ah ayat 9, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka berjalan cepatlah (bersegera) kalian kepada mengingat Allah, dan tinggalkanlah perniagaan kalian."
Terlihat berbeda setiap perintah Allah terkait dunia dan ketaatan, bukan? Namun, mari kita kembali buka lembaran suci ini, apa yang Allah perintahkan kita terkait urusan tobat? Setiap manusia pasti pernah berbuat dosa. Jika kemarin kita telah salah langkah dengan mengagung-agungkan dunia, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadapnya, lupa ibadah dan malas taat, maka sudah waktunya kita tobat, bukan? Dan Allah pun berfirman dalam surah Adz-Dzariyaat ayat 50, “Maka berlarilah kalian kembali kepada (menaati) Allah (bertobat). Sungguh aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah bagi kalian."
Mengapa untuk urusan bertobat, kita diperintahkan secepat mungkin atau berlari? Tidak lain karena ajal tidak akan pernah menunggu tobat kita, dan sungguh mati tidak pernah menunggu kita tua ataukah sakit terlebih dulu. Jika kemarin panggilan pekerjaan membuat kita tergesa-gesa dan rela meninggalkan segalanya, rela lembur, jauh dari keluarga, atau bahkan kadang tidak segan meninggalkan ketaatan, maka sudah seharusnya hal itu tak terjadi lagi.
Mengapa demikian? Karena sudah saatnya kita ubah orientasi hidup kita, yaitu menjadikan akhirat sebagai fokus dan tujuan kita. Akan tetapi perlu diingat, mengubah orientasi hidup dari fokus dunia menjadi mengejar akhirat bukan berarti kita meninggalkan dunia secara total. Dalam ayat-ayat di atas pun kita masih harus berjalan mencari penghidupan di dunia, bukan? Artinya, porsi dari fokus kita terhadap dunia kita kurangi, tidak menjadikannya tujuan hidup, akan tetapi menjalani kehidupan untuk mencapai kebahagian akhirat.
Bukankah jika kita mau kembali membuka lembaran mulia Al-Qur'an, kita akan mendapati hakikat mengapa kita diciptakan. Dalam ayat 56 surah Adz-Dzariyaat, Allah berfirman, "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku."
Makna beribadah kepada-Nya menurut Imam Ibnu Katsir adalah, menaati-Nya dengan cara melaksanakan segala yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang. Karena sesungguhnya tujuan Allah menciptakan makhluk semata-mata untuk beribadah kepada-Nya tanpa mengadakan sekutu bagi-Nya. Barang siapa yang menaati-Nya, maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang sempurna. Sedangkan bagi siapa saja yang mendurhakai-Nya, niscaya Allah akan membalasnya dengan siksaan yang sangat pedih. Allah pun mengabarkan bahwa Allah sama sekali tidak membutuhkan mereka (manusia). Bahkan manusialah yang senantiasa membutuhkan Allah dalam setiap kondisi. Allah adalah pencipta dan pemberi rezeki bagi manusia. Dan itulah hakikat Islam. Sebab makna Islam adalah berserah diri yang mencakup tunduk, merendahkan diri, dan patuh hanya kepada Allah.
Masih menurut Imam Ibnu Katsir, tafsiran ini didukung oleh makna firman Allah dalam surah Al-Qiyamah ayat 36,“Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan begitu saja dalam keadaan sia-sia?" Imam Asy-Syafi’i menjelaskan tafsiran kata ‘sia-sia’ itu bermakna, "Apakah mereka Aku biarkan hidup tanpa diperintah dan tanpa dilarang?"
Dengan demikian, manusia yang benar-benar memahami makna kehidupan adalah mereka yang mengisi waktunya dengan berbagai macam ketaatan. Hidupnya dijalani dalam rangka beribadah kepada Allah, baik dengan melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan-Nya. Ketika ia bekerja mencari nafkah pun akan ia jalankan tanpa menyalahi aturan Allah, tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai hamba. Sungguh Al-Qur'an adalah pedoman hidup, haruslah kita memperlakukannya dengan semestinya, maka dunia akan kita dapat dan di akhirat pun akan bahagia.
Wallahu a'lam.[]
Photo : Pinterest