Mampukah Nama “Turkiye” Mewakili Peradaban Islam?

"Betapa besarnya pengaruh pemikiran terhadap peradaban suatu bangsa, maka memahamkan umat terhadap tsaqofah Islam jauh lebih penting daripada mengubah nama negara. Memahamkan umat dengan aqliyah (pola pikir) Islam, kemudian membinanya agar dapat memiliki nafsiyah (pola sikap) Islam adalah hal yang utama dalam membentuk syakhshiyah (kepribadian) Islam."

Oleh. R. Raraswati
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Sebagaimana dilansir detik.com pada 6/6/2022 menurut Erdogan, nama Turkiye lebih mewakili identitas negara. Ia berpandangan, perubahan nama menjadi Turkiye bisa menjadi perwakilan peradaban, budaya, ekspresi, dan nilai-nilai negeri. Peradaban seperti apa yang dimaksud?

Dunia tahu, Turki telah mewarisi sejarah dari peradaban Islam di Arab dan Persia. Semua itu bisa kita lihat hingga sekarang. Hagia Sophia adalah satu contoh nyata bahwa peradaban Islam pernah mengubah sebuah gereja di masa Byzantium menjadi masjid pada masa Turki Utsmani. Meski sempat dijadikan museum pada rezim Attaturk berkuasa, kini Hagia Sophia kembali difungsikan sebagai masjid. Namun, pengaruh pemikiran negara-negara Barat pun ada di negara ini. Pertanyaannya sekarang, mampukan nama Turkiye membangkitkan kembali peradaban Islam?

Memang nama adalah doa dan harapan. Namun, mengubah nama suatu negara bukan serta-merta dapat menjadikan keadaan lebih baik tanpa didukung dengan upaya pemerintah untuk mewujudkannya. Terlebih, ada sebuah artikel yang menyebutkan bahwa kata “Turkiye” pada pencariaan di Google muncul berbagai arti. Salah satu artinya adalah ayam kalkun yang biasa menjadi hidangan makan perayaan Natal di Amerika Serikat.

Bahkan ada jaringan televisi yang mengatakan “Turkiye” dalam kamus Camridge berarti sesuatu yang mengalami jatuh parah atau seseorang yang bodoh. Sangat disayangkan jika ternyata nama negara memiliki arti yang demikian. Ini sama halnya memberi doa pada negara mengalami kemunduran bahkan jatuh parah.

Selama ini Turki berharap dapat menjadi contoh sebagai negara yang menjaga keserasian Islam, demokrasi dan juga sekuler. Wajar jika sampai sekarang perundang-undangan di negara ini sekuler. Itu artinya peraturan negara tidak dikaitkan dengan syariat Islam. Semua agama yang ada di Turki diberikan posisi yang sama dalam urusan politik. Kebijakan ini dianggap adil bagi para pemeluk agamanya masing-masing. Padahal hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakadilan. Kenapa demikian?

Setiap orang pasti ingin hidupnya diatur dengan aturan yang sesuai agamanya. Umat Islam berharap dapat melaksanakan kewajibannya sebagai muslim secara menyeluruh. Sedangkan untuk dapat melaksanakannya perlu peran negara dalam membuat peraturan. Begitu pula dengan penganut agama lain. Pasti mereka enggan mengikuti syariat Islam sebagai pedoman dalam membuat perundang-undangan. Walhasil, peraturan atau perundang-undangan yang dihasilkan bersifat sekuler, tanpa ada agama sebagai bahan pertimbangannya.

Wajar, jika muslimah warga Turki sekarang banyak yang tidak berhijab meski mayoritas muslim. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan Indonesia yang juga menganut sistem sekularisme. Alasannya karena Indonesia terdiri dari banyak suku dan agama. Padahal, di masa Rasulullah mendirikan Daulah Islam pertama kali, Madinah juga terdiri dari beberapa suku. Semua tetap berjalan dengan baik hingga masa kekhilafahan berlangsung beberapa abad sampai akhirnya ditumbangkan oleh Mustafa Kemal Attaturk. Tokoh pembaharu yang disebut “Bapak Turki” karena dianggap berhasil menyingkirkan kekhilafahan.

Bapak Turki yang diharapkan bisa membawa rakyatnya menjadi lebih baik setelah terlepas dari kekhilafahan, tak sesuai kenyataan. Jika dibandingkan pada masa kekhilafahan Turki Utsmani, tentu jauh berbeda. Di masa itu terbangun peradaban Islam dengan wilayah yang semakin luas.

Kekhilafahan Turki Utsmani yang lebih fokus pada perluasan wilayah inilah yang membuat hal penting penunjang keberlangsungan peradaban terlupakan. Membina dan menjaga pemikiran serta prilaku masyarakat dengan Islam kurang diperhatikan. Warga negara-negara yang baru ditaklukkan kurang mendapat perhatian dengan pemikiran Islam.

Demikian besar pengaruh pemikiran, hingga dapat memengaruhi perilaku seseorang. Bahkan Rasulullah sendiri pernah terpengaruh perkataan kaum musyrik. Sebagaimana Imam Muslim telah meriwayatkan dari Sa’ad, ia berkata; "Kami pernah bersama Nabi saw., jumlah kami ada enam orang." Kemudian kaum musyrik berkata kepada Nabi, “Usirlah mereka itu agar tidak lancang kepada kami.” Sa’ad berkata; "Sahabat Rasul saat itu adalah aku, Ibnu Mas’ud, seorang lelaki dari Hudzail, Bilal, dan dua orang lelaki yang tidak aku kenal namanya." Kemudian perkataan kaum musyrik itu memengaruhi Nabi, sehingga beliau berbicara di dalam hatinnya, kemudian turun Firman Allah QS. Al An’am ayat 52 tentang larangan mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridaan-Nya.

Betapa besarnya pengaruh pemikiran terhadap peradaban suatu bangsa, maka memahamkan umat terhadap tsaqofah Islam jauh lebih penting daripada mengubah nama negara. Memahamkan umat dengan aqliyah(pola pikir) Islam, kemudian membinanya agar dapat memiliki nafsiyah (pola sikap) Islam adalah hal yang utama dalam membentuk syakhshiyah (kepribadian) Islam. Jika syakhshiyah (kepribadian) Islam telah terbentuk pada masyarakat, maka secara otomatis juga menginginkan penerapan Islam di segala aspek kehidupan.

Menerapkan Islam di segala aspek kehidupan berarti menjadikan Islam sebagai landasan dalam membuat perundang-undangan suatu negara. Dengan kata lain, hanya negara yang mampu menjamin diterapkannya syariat Islam secara menyeluruh. Saat itulah, umat memiliki kekayaan tsaqofah Islam dan terhindar dari pemikiran Barat yang menyesatkan. Jadi, tak cukup mengubah nama, tapi harus disertai upaya memahamkan umat dengan tsaqofah Islam.
Wallaahu a’lam bi ash-shawab[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
R.Raraswati Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Bayar Utangmu, Please!
Next
Khilafah: Dahulu, Kini, dan Nanti
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram