“Padahal, jika ditelaah lebih mendalam, tidak ada krisis energi yang nyata, yakni secara fisik sumber daya energi tidak pernah kekurangan. Berkurangnya cadangan energi disebabkan borosnya konsumsi energi negara Barat.”
Oleh. Ahsani Annajma
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Energi sama pentingnya seperti makanan dan tempat tinggal, sebab merupakan kebutuhan dasar manusia di seluruh dunia. Artinya, manusia sangat bergantung pada energi. Sehingga, terjadinya krisis energi dapat berdampak serius pada kehidupan manusia. Krisis energi membayangi sebagian kawasan dunia tak terkecuali negeri Kangguru. Negara yang berstatus salah satu dari tiga produsen utama batu bara dan gas terbesar di dunia, ternyata tak bisa menjamin aman dari kelangkaan energi.
Menurut Menteri Energi Chris Bowen, Australia menghadapi badai sempurna krisis energi. Australia bisa-bisa akan menjadi "kiamat listrik", krisis energi yang terjadi disebabkan gabungan dari masalah internal dan eksternal. Seperempat kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara di negara ini telah padam. Terdapat 30% pembangkit listrik tenaga batu bara telah off beroperasi sejak April tahun ini. Hadirnya musim dingin yang berat dengan suhu rendah, pemadaman PLTU, tekanan geopolitik, dan adanya banjir di wilayah pantai timur telah melengkapi persoalan krisis yang terjadi. Krisis pun diperburuk dengan adanya cuaca dingin di wilayah pantai timur.
Belum lagi imbas dari invasi Rusia ke Ukraina telah meningkatkan jumlah permintaan ekspor untuk gas Australia, menjadi bumerang di dalam negeri karena menghapus potensi surplus untuk mengatasi pasokan energi domestik. Sementara itu, permintaan energi terus meningkat di tengah cuaca dingin dan karena ekonomi Australia mulai aktif setelah pembatasan Covid-19 dilonggarkan. Harga grosir listrik Australia juga telah naik lima kali lipat lebih tinggi dibanding tahun 2021 yang disebabkan oleh kenaikan harga batu bara dan gas di pasar internasional.
Menghadapi krisis energi ini, Chris Bowen, mengimbau warga negaranya untuk melakukan langkah penghematan energi dengan tidak menggunakan listrik selama dua jam di malam hari. Pemerintah mendesak warga negara terutama di wilayah pantai timur yaitu negara bagian Queesland dan New South Wales (NSW), dan kota terbesarnya, Sydney, yang merupakan rumah bagi lebih dari 13 juta orang. (BBC, 16/6/2022).
Tak berbeda dengan wilayah Asia Selatan dan Amerika Serikat cuacanya pun sangat panas, imbasnya penggunaan listrik akan melonjak saat warganya menggunakan pendingin ruangan (AC). Nasib yang sama juga dirasakan oleh negara Barata, India, di mana negara ini terancam gelap gulita akibat krisis listrik dan “alotnya” pasokan batu bara. Menurut Reuters, ekspor batu bara Indonesia ke India pada bulai Mei terjadi peningkatan hampir 70% dibandingkan bulan April 2022. Namun, belum diketahui secara pasti apakah Australia akan mengikuti jejak India untuk mengimpor batu bara dari Indonesia atau tidak.
Sesungguhnya, krisis energi yang sedang terjadi di kawasan dunia ini berawal dari pemahaman yang salah, menganggap penyebab persoalan utama ekonomi adalah berkurangnya energi. Sehingga, menggenjot produksi (eksploitasi sumber daya alam) dianggap tepat sebagai solusi untuk mengatasi krisis energi. Padahal, jika ditelaah lebih mendalam, tidak ada krisis energi yang nyata, yakni secara fisik sumber daya energi tidak pernah kekurangan. Berkurangnya cadangan energi disebabkan borosnya konsumsi energi negara Barat. Apalagi untuk menghadapi musim dingin di negara dengan empat musim yang otomatis akan meningkatkan permintaan energi. Mengingat beberapa negara minim sumber daya energi dalam negeri, namun membutuhkan banyak energi seperti Eropa dan Cina.
Krisis energi hanya terjadi di negara-negara besar seperti Australia, Cina, India dan Jerman yang boros dalam konsumsi energi. Sementara negara negara-dunia yang kaya sumber daya energi justru tidak memanfaatkan dengan maksimal. Mirisnya, sumber daya energi negara kaya SDA, dieksploitasi untuk menopang kebutuhan energi di negara-negara maju. Sistem kapitalisme yang berorientasi materi, terobsesi meraih profit setinggi-tingginya. Demi menghasilkan keuntungan yang tinggi para pemilik modal, energi menjadi sasaran untuk dieksploitasi dan merugikan banyak pihak.
Eksploitasi besar-besaran SDA energi hingga menyasar negara-negara dunia yang kaya akan SDA energi, menyebabkan resource depletion. Ciri khas pertumbuhan ekonomi kapitalisme ialah mengeluarkan modal seminimal mungkin untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menghalalkan berbagai cara termasuk mengeksploitasi SDA energi yang dianggap sangat murah saat ini.
Persoalan krisis energi bukanlah hal baru. Persoalan ini membutuhkan solusi lebih mendasar. Solusi yang diperlukan harus bisa menghilangkan sampai ke akar masalahnya. Liberalisasi yang menjadi roh dalam sistem ekonomi kapitalisme harus dicabut, karena inilah akar masalahnya.
Dampak liberalisasi ekonomi di sektor pertambangan sangat besar pengaruhnya terhadap hajat hidup orang banyak. Inilah mengapa oleh para ekonom Barat, menyebutnya kutukan SDA (natural resource curse), yakni paradoks negeri kaya SDA tetapi penduduknya miskin.
Berbeda dengan kapitalisme yang berasas liberal dalam sektor ekonomi. Dalam Islam, sumber daya alam merupakan harta milik umum (negara). Dalam pengelolaan energi, syariat Islam menyerahkan pelaksanaannya kepada khalifah. Konsep periayahan ini yang dipegang erat-erat oleh seorang khalifah. Seorang khalifah akan melakukan kebijakan yang paling mendasar bahwa batu bara adalah kepemilikan umum dan pengelolaannya tidak akan diberikan kepada swasta, melainkan dikelola oleh negara. Rasulullah menjelaskan sifat dari kebutuhan umum bahwa "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api" (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dan kepemilikan umum yang dikelola oleh negara ini akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Tentu kebijakan yang diberlakukan akan memberikan maslahat bagi umat, karena bentuk tanggung jawab yang dipikul disadari betul ialah bentuk ketaatan terhadap sang pencipta.
Pada hakikatnya, sumber daya energi yang Allah berikan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup. Krisis energi terjadi karena sistem kapitalisme telah mencampuradukkan keinginan dengan kebutuhan, kapitalisasi listrik yang dimanfaatkan oleh segelintir orang. Oleh karena itu, mengembalikan pengelolaan sumber daya energi kepada syariat Islam merupakan kebutuhan yang mendesak karena berkaitan dengan keberlangsungan hidup manusia. Negara berkewajiban memastikan distribusi penggunaan energi dapat dinikmati secara merata oleh umat. Menempatkan keinginan dan kebutuhan sesuai dengan porsinya, tidak berlebihan, dan tidak boros. Semua ini hanya dapat diraih dengan penerapan sistem ekonomi Islam secara kaffah oleh negara dalam bingkai Khilafah.
Wallahu’alam bi ash-shawwab.[]
Photo : Pinterest