Ekonomi 60 Negara Terancam Ambruk, Mampukah Islam Mengatasinya?

"Ambruknya perekonomian global tidak terlepas dari kegagalan sistem ekonomi kapitalis mengelola potensi-potensi besar yang dimiliki negara. Hal ini semakin membangkitkan kesadaran umat Islam untuk mewujudkan kembali sistem ekonomi berlandaskan syariat yang jika dikelola dan dikoordinasikan dengan baik, maka akan meniscayakan menjadi kekuatan besar yang membawa pada kesejahteraan tak hanya di dunia Islam, namun juga di seluruh penjuru dunia."

Oleh. Miladiah al-Qibthiyah
(Wakil RedPel NarasiPost.Com)

NarasiPost.com-Saat ini dunia tengah dilanda ketidakpastian global khususnya di sektor ekonomi. Berdasarkan data dari lembaga internasional IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia, memprediksi akan ada 60 negara yang dinyatakan ambruk ekonominya, yakni mengalami kejatuhan ekonomi dalam waktu dekat. Meskipun Indonesia tidak termasuk dalam daftar 60 negara, namun beberapa pakar menilai kondisi Indonesia sebenarnya berada pada taraf memprihatinkan. Salah satu penyebabnya adalah ketahanan energi Indonesia yang dinilai masih sangat lemah.

Hal senada disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan jajaran kabinet bahwa beratnya situasi perekonomian dunia saat ini tidak main-main. Jokowi mengingatkan agar segenap jajaran waspada terhadap ketidakpastian global memperburuk situasi perekonomian Indonesia. Bayangan krisis yang dihadapi berbagai negara di dunia tidak terlepas dari imbas corona beberapa waktu lalu dan semakin diperparah oleh konflik Rusia-Ukraina yang membuat beberapa negara sedang dihadapkan situasi yang tidak menentu di berbagai aspek. (liputan6.com, 17/06/2022)

Melihat fenomena ini, sederet risiko tetap akan mengintai perekonomian Indonesia yang masih bergantung pada perekonomian global. Mampukah Indonesia mengantisipasinya?

Penyebab Kemerosotan Ekonomi

Tak dimungkiri situasi global pasca pandemi Covid-19 masih dalam tahap atau fase pemulihan ekonomi. Belum usai bertarung dengan wabah, kini dunia kembali dikejutkan dengan serangan Rusia ke Ukraina. Perang yang berlangsung selama kurang lebih empat bulan tersebut telah menjadi permasalahan fokus baru dunia yang menimbulkan banyak risiko di segala aspek kehidupan.

Tantangan besar dunia saat ini yang terindra memang terletak pada dua hal tersebut. Pertama, penanganan wabah, tidak hanya Covid-19, bahkan kemunculan wabah-wabah baru dapat berpotensi mengancam kehidupan manusia. Kedua, perang Rusia-Ukraina yang dinilai mengancam aliran distribusi barang-barang logistik dan energi. Diyakini atau tidak, negara-negara yang memiliki power besarlah yang menjadi pemain utama dalam situasi dan konflik yang sedang terjadi. (news.detik.com, 15/06/2022)

Efek yang ditimbulkan dari dua hal tadi, yakni wabah dan perang telah nyata mengancam kestabilan ekonomi global. Lebih-lebih perang yang berlangsung lama antara Rusia dan Ukraina akan berakibat pada risiko ekonomi paling buruk yang belum pernah terbayangkan di antero dunia. Mengapa? Sebab efek ini tak hanya dirasakan oleh negara yang berperang, namun juga dirasakan oleh negara-negara lainnya. Hal inilah yang membuat para aktor negara harus pandai-pandai mengambil keputusan keberpihakan dengan segala risiko keputusan yang akan ditanggungnya.

Demokrasi Tak Mampu Antisipasi

Bercermin pada Amerika yang bertahun-tahun memegang posisi teratas untuk kekuasaan dunia setelah berakhirnya Perang Dunia II, Amerika telah memimpin dan menguasai global di segala lini kehidupan. Seperti aspek budaya, pendidikan, ekonomi, bahkan persenjataan, sehingga tidak ada pilihan lain bagi negara khususnya negara berkembang selain mengekor pada Amerika atau mereka tidak memiliki posisi apa pun di dunia ini.

Namun, tak dimungkiri pergolakan politik tatanan dunia perlahan mulai berubah. Sistem demokrasi akan meniscayakan hal itu terjadi. Terlihat dari sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap Rusia tidaklah membuat negara itu terpuruk. Hal ini karena penguatan rubel Rusia mencerminkan ciri soft power saat ini. Kebijakan ekonomi Rusia yang menaikkan harga gas dan minyak, serta mewajibkan pembelian menggunakan rubel Rusia memaksa negara-negara pemberi sanksi untuk berpikir kembali menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, sebab negara pengekspor energi terbesar batu bara dan gas alam yang sangat penting untuk kelangsungan kehidupan di tengah ketidakpastian global saat ini adalah Rusia.

Dampak dari diterapkannya sistem demokrasi membuat negara-negara tak mampu berdiri secara independen. Jika negara adikuasa Amerika saja tidak menunjukkan sikap tegas, apalagi Indonesia yang menjadi pengekor sejati negara-negara super power. Sistem politik demokrasi akan memandang yang punya power lah yang mengendalikan kekuasaan atas dunia. Maka tak heran, jika negara-negara yang ada sulit bersikap netral jika terjadi konflik yang memengaruhi ketidakpastian global khususnya pada ancaman dan krisis di sektor ekonomi. Bagaimana tidak? Di satu sisi akan menerima risiko jika mendukung salah satunya, namun di sisi lain akan dituduh pengkhianat oleh kedua belah pihak jika bersikap netral.

Wajah demokrasi kian menampakkan ketidakbecusan dalam mengantisipasi ancaman dan krisis global. Negara-negara yang tidak terlibat perang pun harus bergantung demi membutuhkan pasokan energi ataupun pangan dari negara yang sedang bertikai. Maka benarlah, dalam demokrasi tak ada yang namanya musuh ataupun teman abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.

Tentu sudut pandang Islam berbeda dalam menghadapi ancaman dan krisis ekonomi global. Negara yang bernaung di bawah syariat yang bersumber dari Asy-Syari' mustahil mengalami ketergantungan terlalu banyak pada negara lain. Terlebih kepada negara-negara kafir harbi fi'lan. Pada level negara, Islam akan bertindak secara independen di semua sektor, menciptakan terobosan baru, dan lain-lain. Lalu bagaimana Islam mengelola potensi besar negara agar terhindar dari ancaman dan krisis ekonomi global?

Potensi Besar Negara

Ambruknya perekonomian global tidak terlepas dari kegagalan sistem ekonomi kapitalis mengelola potensi-potensi besar yang dimiliki suatu negara. Hal ini semakin membangkitkan kesadaran umat Islam untuk mewujudkan kembali sistem ekonomi berlandaskan syariat. Sejarah telah mencatat penerapan sistem ekonomi Islam sekitar 13 abad lebih membuktikan umat Islam menjadi rahmatan lil ’alamiin selama kurun waktu tersebut. Potensi ekonomi dan lain sebagainya yang dimiliki oleh negara-negara muslim saat ini yang jika dikelola dan dikoordinasikan dengan baik, maka akan meniscayakan menjadi kekuatan besar yang membawa pada kesejahteraan tak hanya di dunia Islam, namun juga di seluruh penjuru dunia.

Menurut analisis Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar, potensi-potensi yang dimiliki umat Islam begitu besar dalam membangun kekuatan ekonomi dunia Islam.

Pertama, potensi ideologis. Sejatinya musuh ideologis AS adalah Islam pasca runtuhnya ideologi komunisme. Ketika terjadi perang melawan Afghanistan oleh Bush Junior, ia mengungkapkan bahwa perang tersebut adalah perang peradaban. Dari sini negara kafir imperialis memandang bahwa potensi ideologis ini adalah sebuah ancaman. Bagi negara adikuasa seperti AS, Cina dan Eropa, bangkitnya Islam politik di berbagai negara termasuk Indonesia merupakan ancaman terbesar yang mampu merusak intervensi mereka dalam mengekploitasi dan menjajah negeri-negeri muslim.

Kedua, potensi demografi. Jumlah penduduk negara Muslim menurut sebaran umat Islam di skala global (2022) berdasarkan laporan Mastercard dan Crescent Rating, populasi umat Islam atau muslim sudah mencapai 2 miliar orang dan tersebar di sekitar 200 negara. Bisa dibayangkan tatkala jumlah penduduk tersebut bersatu di bawah naungan Khilafah Islamiah tentu ini merupakan kekuatan luar biasa baik secara politik maupun ekonomi dengan catatan harus dikelola dengan baik.

Ketiga, potensi geopolitis. Secara geografis,
kaum muslim menempati posisi strategis jalur laut dunia, seperti Selat Dardanella, Selat Gibraltar, Terusan Suez, dan Boshporus yang menghubungkan Laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dari sini tergambar sangat jelas bahwa posisi strategis ini memfokuskan kebutuhan dunia ditentukan oleh umat Islam. Jika kaum muslim bersatu di bawah naungan Khilafah, niscaya mereka menjadi kekuatan adidaya.

Keempat, potensi ekonomi dan sumberdaya alam. Seluruh negeri-negeri muslim telah dianugrahi Allah dengan kekayaan alam yang melimpah, mulai dari lembah, hutan, rempah-rempah, perut bumi yang kaya akan tambang, minyak, dan gas alam. Termasuk uranium yang menjadi bahan bakar nuklir. Sebagian wliayah negeri muslim terdiri dari lautan yang memiliki aneka ragam potensi yang ada di permukaannya, di dasarnya, maupun di perut buminya.

Kelima, potensi militer. Jumlah tentara di dunia Islam sangatlah besar, yakni berjumlah 7.505.610 untuk tentara aktif dan cadangan di 5 negara terbesar. Seperti Mesir 1.344.500, Turki 2.442.700, Iran 1.070.000, Indonesia 1.118.410 dan Pakistan 1.530.000. Jumlah tentara dari ke 5 negara saja sudah lebih banyak dibandingkan dengan total tentara Amerika Serikat yang berjumlah 5.049.7906. Kuantitas ini menunjukkan betapa kuatnya mobilisasi pasukan militer ini ketika dilakukan oleh negeri-negeri muslim. Apalagi jika negara tersebut diliputi dorongan keimanan dan ghirah jihad yang menggelora.

Itulah kelima potensi besar yang dimiliki oleh negeri-negeri muslim yang mampu mengantarkan mereka pada kejayaan peradaban. Jika potensi-potensi ini dikelola dengan baik dan optimal di bawah naungan Khilafah, maka mereka mampu menjadi negara adikuasa yang tak terkalahkan sebagaimana janji Allah Swt. di dalam Al-Qur'an (An-Nur:55) dan bisyarah Rasulullah saw. yang mulia melalui hadisnya bahwa, "Kemudian akan datang kembali masa kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian." (HR. Ahmad)

Kebijakan Negara Khilafah

Dalam negara Khilafah, sistem ekonominya menggunakan sistem sentralisasi. Artinya, sumber daya alam yang ada di suatu negeri bukan hanya milik negeri tersebut, tetapi milik seluruh umat muslim. Ketika suatu negeri terpenuhi kebutuhannya, maka SDA tersebut akan dialokasikan ke negeri-negeri lain yang membutuhkan agar terjadi pemanfaatan SDA secara merata.

Adapun kebijakan pengelolaannya dalam negara Khilafah maka dilakukan dengan dua cara, yakni:

Pertama, pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Padang rumput, api, air, jalanan umum, samudra, sungai besar, dan laut adalah sumber daya yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh tiap-tiap individu. Siapa pun boleh mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, mengambil air sumur, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput umum. Namun, negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat.

Kedua, pemanfaatan di bawah pengelolaan Negara. Dalam hal ini adalah kekayaan milik umum yang sifatnya membutuhkan teknologi tinggi, keahlian, serta biaya yang cukup besar, seperti gas alam, minyak bumi, dan barang tambang lainnya, maka langsung diambil alih dan dikelola oleh negara. Negara yang memiliki hak dan wewenang mengelola dan mengeksplorasinya. Hasilnya dimasukkan ke dalam kas Baitulmal.

Negara tidak berhak menjualnya kepada rakyat sebagaimana sistem ekonomi kapitalis yang selalu ingin meraup keuntungan meski rakyat jadi korban. Kalaupun dijual, itu pun hanya sebatas harga produksi. Jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, maka boleh bagi pemerintah mencari keuntungan semaksimal mungkin.

Hasil keuntungan penjualan digunakan untuk kegiatan operasional badan negara untuk mengelola harta pemilikan umum, seperti administrasi, perencanaan, eksplorasi, produksi, pemasaran, dan distribusi. Kemudian hasil tersebut juga dibagikan secara merata kepada seluruh rakyat baik muslim maupun nonmuslim yang hidup di dalam negara Khilafah untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar.

Sedangkan barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya emas, perak, tembaga, batu bara dijual ke luar negeri dan keuntungannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti membangun sekolah-sekolah gratis, rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya. 

Begitulah kebijakan Khilafah dalam membangun ekonomi yang kuat dan menyejahterakan untuk kemaslahatan umat manusia. Bisa dipastikan gejolak krisis dan ancaman ekonomi global sangat kecil kemungkinan akan dijumpai di dalam negara Islam, yakni Khilafah Islamiah.

Khatimah

Membangun kekuatan ekonomi yang kuat, mandiri, dan menyejahterakan harus dimulai dengan mengubah paradigma berpikir umat yang mengarah pada perubahan fundamental, yakni menyatukan visi dan misi negeri-negeri muslim di dunia tentang penyatuan sumber daya ekonomi dunia Islam. Dengan ini, dunia tidak lagi merasakan ancaman dan dampak dari krisis global yang menghantui kehidupannya. Wallaahu a'lam bi ash-shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Miladiah al-Qibthiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Uang Bukanlah Segalanya
Next
Membiasakan Anak Hidup bersama Al-Qur'an
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram