"Kepala berbalut kerudung lebar itu tertunduk menumpahkan air mata. Hatinya nyeri. Titik cahaya kian membesar membawanya pada kesadaran. Jangankan hubungan dengan manusia dan dirinya sendiri yang bernilai ibadah, hubungannya dengan Allah saja sudah tak terhitung berapa tahun dia meninggalkannya."
Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Warna-warni layangan menghiasi langit sore yang agak mendung. Bisikan angin menambah kesejukan bagi anak-anak yang asyik mengejar layangan putus karena sambetan. Kaki telanjang mereka begitu lincah berloncatan saat ada gundukan tanah di pematang yang dilewati. Badan mereka pun rela terjun ke sungai yang tak dilalui jembatan demi sebuah layang-layang. Netra Amoora takjub menyaksikan suguhan pemandangan yang tak pernah ditemuinya di kota.
Ada sejumput rasa bahagia yang melingkupi dada Amoora. Suasana sore ini sungguh membelai jiwanya mesra. Berbagai beban selama ini seakan dibawa terbang angin entah ke mana. Amoora sungguh bahagia dengan suasana ini. Di hadapannya, ada Zaenab dan Bu Hanum yang asyik mencabut tanaman kacang tanah. Barisan kacang itu sudah tinggal sedikit. Pak Rosyid sudah mulai mengangkutnya pulang.
Horizon mulai berwarna jingga. Zaenab dan Bu Hanum mengajak Amoora pulang. Netra Amoora mengekor dua wanita di hadapannya. Pertanyaan beradu di dalam benaknya. Bagaimana bisa kedua wanita baik itu bekerja di sawah yang agak becek karena bekas hujan dengan pakaian kedodoran? Anehnya, Bu Hanum dan Zaenab enjoy saja. Pendengaran Amoora tak menangkap satu pun kata sesal dengan kondisi mereka.
Rumah semi permanen menyambut kedatangan mereka. Mereka masuk ke pintu samping yang langsung disambut kamar mandi dan ruang ganti tuan rumah kala datang dari sawah. Di sana juga sudah ada kacang yang menggunung. Amoora baru memahami kenapa kalau dari sawah tidak lewat dalam rumah. Zaenab pernah menyampaikan padanya bahwa di dalam rumah itu suci dan juga ada ruangan yang dipakai untuk salat. Maka, mereka lewat samping agar tidak membawa najis, bukan hanya karena kotor. Pengetahuan agama yang baru dicicipinya di kampung ini. Bukan sebatas mengaji alif ba ta saja.
Suara merdu para remaja yang mengaji Al-Qur'an di musala sudah terdengar. Pak Rosyid juga sudah siap menuju musala mengawal dan membersamai para remaja mengaji. Tiap malam, Amoora pun ikut belajar. Jiwanya terasa terlahir kembali setiap ikut kajian kitab yang diajarkan oleh Ustaz Zaman dan Zaenab. Dirinya menemukan serpihan kebahagiaan yang tak pernah dirasakan sejak kecil. Meski materi berlimpah, dia tak pernah merasakan sebahagia ini.
Zaenab, Bu Hanum, Pak Rosyid, dan yang lain menyuguhkan perhatian yang tulus. Meski mereka tak tahu siapa Amoora, bagaimana asal-usulnya, mereka tetap memperlakukan Amoora layaknya keluarga. Kehangatan dalam interaksi mereka mencairkan tumpukan gunung es dalam hati Amoora. Sedikit demi sedikit, rasa congkak berlalu dari dirinya, berganti rasa syukur yang selalu terkembang dalam tiap lembar desah napasnya.
Amoora terhenyak saat diberi kajian tentang hakikat kehidupan. Sungguh, selama ini dia tak pernah berpikir sejauh itu. Dari mana asalnya, apa tujuannya hidup di dunia, dan akan ke mana setelah dia mati. Ah, tak pernah sadar dia selama ini. Ada satu titik cahaya yang menyusup ke relung hati. Lelehan air mata pecah seketika. Sesak dadanya mendorong buliran air mata lebih deras lagi. Misi penciptaan manusia adalah beribadah pada Allah. Ibadah dengan tiga dimensi, yakni hubungannya dengan Allah, manusia, dan dirinya sendiri.
Kepala berbalut kerudung lebar itu tertunduk menumpahkan air mata. Hatinya nyeri. Titik cahaya kian membesar membawanya pada kesadaran. Jangankan hubungan dengan manusia dan dirinya sendiri yang bernilai ibadah, hubungannya dengan Allah saja sudah tak terhitung berapa tahun dia meninggalkannya. Ya, Amoora terakhir mengaji dan salat saat pamannya berkunjung ke rumahnya, itu pun hanya dua kali saja. Setelah itu, dia dilarang papanya untuk ke musala. Selama ini, beragam kemaksiatan berdansa dengan keringat yang melaju di setiap pori-porinya.
Sakau di pinggir jalan pedesaan membuatnya berjumpa dengan Bu Hanum dan Zaenab. Merekalah malaikat penolongnya. Bersama Zaenab, Amoora diperlakukan layaknya saudara. Perhatian dan kasih sayang Bu Hanum dirasakan Amoora begitu tulus, membuatnya betah tinggal bersama Zaenab dan orang tuanya. Amoora enggan pulang ke kota. Apalagi saat dia berkirim kabar, namun tak direspon oleh mamanya yang sedang liburan di Bali.
Lima purnama sudah dia di kaki gunung ini. Kesejukan lingkungan memberi pengaruh pada kesejukan hatinya. Kedamaian menari-nari di setiap sudut sanubari. Hatinya telah tertambat kuat dengan kajian Islam. Titik kesadaran menghampirinya, kini dia memahami hakikat hidup. Tanpa pikir dua kali, dia bersedia mengkaji Islam seperti Zaenab, rutin sepekan sekali. Komitmen Amoora disambut Zaenab dan Bu Hanum dengan pelukan hangat dan tangis bahagia. Amoora berjanji akan pulang ke kota setelah dia merasa kuat. Namun, dia pulang hanya untuk mengobati rasa rindu dan bakti pada papa dan mamanya. Dia berjanji akan kembali bersama Zaenab untuk total hijrah ke pangkuan syariat Islam.[]
Tulisan yg ringan namun sangat mengena di hati. Inspirasi buat orang yg baru pertama hijrah. Keren.
Barokallahu fiik Mbak