"Pada gilirannya migor sebagai komoditas yang dibutukan semua orang dikuasai dan dikapitalisasi oleh pengusaha-pengusaha bermodal raksasa. Mana yang paling menguntungkan, jalan itulah yang ditempuh. Pangsa pasar ekspor dirasa lebih menghasilkan laba, maka akan diprioritaskan dibanding pemenuhan pasar masyarakat dalam negeri dengan DPO hingga HET yang minim laba."
Oleh. Yuliyati Sambas
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Sudah lama negeri dengan luasan lahan kelapa sawit terbesar sedunia ini terperangkap dalam kisruh permasalahan minyak goreng (migor). Segala cara telah ditempuh para punggawa negeri demi lolos dari problem tersebut. Dari penetapan DMO DPO, HHET, hingga kebijakan berbasis subsidi. Nyatanya rakyat tak juga berdaulat menikmati salah satu kebutuhan pokok tersebut.
Awal Juni 2022 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan migor curah. Peraturan ini diyakini akan mampu mencukupi kebutuan pasar domestik dengan harga migor yang terjangkau dan stabil. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Strategi pemenuhan kewajiban pemenuhan pasar domestik (DMO) dengan kewajiban penetapan harga domestik (DPO) disahkan setelah sebelumnya langkah kebijakan berbasis subsidi nyata tak membuahkan hasil. (republika.co.id, 6/6/2022)
Masih dikutip dari republika.co.id (6/6/2022), ada beberapa strategi teknis yang telah disiapkan pemerintah, dimana katanya untuk memastikan kebijakannya itu bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pertama, berkenaan dengan DPO, penerapannya akan menyasar semua pihak, mulai dari produsen CPO (Crude Palm Oil), produsen migor, hingga distributor. Kedua, harga DPO yang telah ditetapkan akan dikawal pelaksanannya oleh tim satgas lapangan, yakni Polri, TNI, kejaksaan dan Pemda terkait. Ketiga, kepatuhan dari pihak produsen dan distributor akan menjadi syarat dipermudahnya proses ekspor perusahaan mereka.
Keempat, berkenaan dengan DMO, jumlah yang ditetapkan pemerintah sebesar 300 ribu ton migor dengan HET kisaran Rp14.000-Rp15.000an per liternya. Kelima, pemerintah akan mengupayakan penyaluran migor curah hingga ke wilayah-wilayah yang sebelumnya sulit terjangkau. Keenam, pemerintah pun menjanjikan adanya mekanisme pengalih biaya ekspor sebagai kompensasi dari biaya angkut produk ke wilayah-wilayah. (msn.com, 5/6/2022)
Otak-Atik Pengaturan Pola Distribusi
Sekilas kita akan melihat betapa kebijakan di atas demikian sempurna. Namun, jika mau jeli, akan didapati bahwa semua strategi tersebut sekadar berputar-putar pada ranah pengotak-atikan pengaturan pola distribusi yang diserahkan pada pihak pengusaha. Sementara hal mendasar yang menyentuh ranah pemenuhan kebutuhan dasar rakyat tidaklah tersentuh. Siapa subjek yang semestinya bertanggung jawab, mengapa subjek tersebut wajib bertanggung jawab, siapa saja objek yang berhak mendapat peranggungjawaban pemenuhan kebutuhan dasar, semua ini tak terbahas. Padahal ketika semua pertanyaan itu terjawab dan terlaksana, niscaya terurailah simpul kisruh migor dan kebutuhan dasar rakyat lainnya.
Kebijakan DMO migor curah sejatinya tidak akan menyelesaikan problematika hingga ke akar. Apa yang diungkapkan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, bisa menjadi gambaran. Ia menyebut bahwa gonta-ganti kebijakan migor indikasi dari pemerintah sedang bertaruh, tanpa penetapan standar keberhasilan hingga keberulangan potensi ricuh. (cnbcindonesia.com, 31/5/2022)
Terlebih target HET yang dipatok sangatlah rendah jika diukur untung rugi oleh para pengusaha. Ini tentu menjadi kesulitan tersendiri untuk keberhasilannya. Jika pun di tataran fakta ada penurunan harga dan ketersediaannya mencukupi, sungguh itu hanya serupa peredam gejolak sosial yang efeknya ibarat bius lokal, hanya sesaat.
Bassic Needs di Genggaman Kapitalisme Sekuler
Sejatinya bahwa migor dan bahan pangan lainnya adalah bagian dari basic needs setiap individu manusia. Ia dibutuhkan oleh setiap individu rakyat tanpa terkecuali, baik si papa maupun si kaya, rakyat biasa, pengusaha hingga pejabat pemerintahan. Maka dari itu, pemenuhannya bersifat mutlak dan subjek penanggungjawabnya semestinya adalah pihak yang di tangannya, kekuasaan dan aset negara berada. Siapa dia, tentu saja negara. Negara sudah sepatutnya mengatur dalam rangka bertanggung jawab hingga terpenuhinya kebutuhan tersebut, bukan sekadar sampai pada ketersediaannya yang cukup dan melimpah di pasaran.
Namun kini, negara telah kehilangan power-nya. Ia terkerangkeng oleh paradigma sistem Kapitalisme yang diadopsi dari Barat. Paradigma itu memosisikan negara sekadar pembuat regulasi, sementara penyedia basic needs dilempar pada pihak swasta. Maka, jangan salahkan jika pemenuhan kebutuhan pokok termasuk di antaranya bahan pangan migor pun disediakan dengan mekanisme jual beli pure bisnis, tak peduli terpenuhi atau tidaknya kebutuhan rakyat dikarenakan tak mampu menjangkau biayanya. Siapa ada uang, dia dapat, itu prinsipnya.
Sistem Kapitalisme pula yang telah menyerahkan aset-aset strategis yang dibutuhkan masyarakat luas untuk dimiliki para kapitalis bermodal raksasa. Dalam prinsipnya, siapa pun pihak yang memiliki akses kapital, maka ia dapat menguasai semua aset kekayaan. Maka jangan heran, dalam kasus migor terdapat lima perusahaan kelas kakap yang asetnya menguasai dari hulu hingga hilir. Kelimanya adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk menguasai pasar migor hingga 33 persen, Wilmar Group 20 persen, Sinar Mas 17 persen, Musim Mas Group 9 persen, dan PT Bina Karya Prima. (RiauPos.co, 24/3/2022)
Bayangkan, lebih dari 3/4 aset dan pangsa pasar migor ternyata dikuasai oleh lima perusahaan crazy rich di negeri ini. Seluruh rakyat wajib tunduk pada “aturan main” yang diberlakukan oleh the real ruler tersebut. Bahkan bukan rahasia lagi jika negara pun kerap manut pada arah telunjuk mereka.
Sistem Kapitalisme juga lahir dari asas rusak, sekularisme. Dimana sistem ini meniscayakan pemeluknya untuk menjauhi fitrahnya sebagai makhluk yang lemah dan serba terbatas dalam memandang hakikat benar-salah, baik-buruk, hingga terpuji-tercela. Standar yang digunakan diserahkan pada akal manusia, bukan pada Pemilik Jagat Raya. Dengan sekularisme, atas nama liberalisme kepemilikan, sebagian orang sah mengeruk aset kekayaan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Keserakahan pun dibungkus dengan mantra indah, semisal investasi/penanaman modal. Pada gilirannya migor sebagai komoditas yang dibutukan semua orang dikuasai dan dikapitalisasi oleh pengusaha-pengusaha bermodal raksasa. Mana yang paling menguntungkan, jalan itulah yang ditempuh. Pangsa pasar ekspor dirasa lebih menghasilkan laba, maka akan diprioritaskan dibanding pemenuhan pasar masyarakat dalam negeri dengan DPO hingga HET yang minim laba.
Adapun sistem sanksi yang dibuat bersandar pada akal kecerdasan manusia yang sarat hawa nafsu dan cenderung jauh dari efek menjerakan. Seolah menjadi pameo, semisal “sanksi ada untuk dilanggar” atau “di mana ada aturan, di situ ada celah untuk dilanggar”. Dengan asas sekularsime, kerap muncul para pengusaha yang berani main sogok pada aparat dalam memuluskan usahanya, meski melanggar aturan. Kondisi tersebut bertemu dengan pejabat yang lemah iman dan integritas. Ditambah fakta sanksi yang kerap diterapkan tebang pilih dan sekadar formalitas. Rasa takut akan dosa karena telah serakah dan tak taat aturan pun sudah lama menguap dari relung hati, karena sistem sekuler telah mengeringkan jiwa manusia dari ruhiah.
Jika begitu, yakinkah dengan mekanisme distribusi di bawah asas kapitalisme sekuler bisa menstabilkan harga pada besaran yang terjangkau sekaligus ketersediaan migor?
Bassic Needs pada Sistem Islam
Polemik migor yang tak berkesudahan di sistem kapitalisme sekuler sungguh dapat tersolusikan tuntas jika diterapkan sistem ekonomi Islam. Asas yang dianut berupa akidah Islam, laa Illaha illaLlah, Muhammad ar-RasuluLlah. Asas tersebut bermakna bahwa manusia itu bersifat lemah dan terbatas. Tiada daya upaya bagi diri insan kecuali bersandar pada aturan-Nya Yang Mahasempurna. Aturannya berbasis syariat Islam kaffah, dimana semua persoalan kehidupan senantiasa disolusikan dengan bersandar padanya.
Berkenaan dengan kisruh migor, syariat memandang bahwa ia adalah bagian dari basic needs berupa pangan. Bersama dengan kebutuhan sandang dan tempat tinggal, semuanya wajib terpenuhi secara mencukupi. Bassic needs ini menjadi tanggung jawab penguasa dimana akan menjadi kesengsaraan baginya di negeri akhirat jika tak amanah mengembannya. Maka, penguasa sebagai representasi negara, akan mengatur sedemikian rupa agar semua basic needs rakyat dapat terpenuhi.
Negara tidak akan menyerahkan pemenuhan basic needs pada pihak swasta yang berbasis untung rugi, termasuk komoditas migor. Negara akan memastikan diawali dari produksi hingga distribusi. Produksi mulai di tataran pertanian kelapa sawit oleh petani, pengolahan minyak mentah hingga menjadi migor siap pakai; juga distribusi dari lahan pertanian ke pabrik pengolahan, pengemasan, penyimpanan di gudang, hingga sampai ke tangan masyarakat.
Dalam pelaksanannya, penguasa terikat dengan aturan syariat, termasuk ketika memberlakukan pengaturan kepemilikan dan distribusi harta. Sistem ekonomi Islam membagi kepemilikan ke dalam tiga jenis, aset individu (al-milkiyyah fardhiyyah), aset umum (al-milkiyyah ‘ammah), dan aset negara (al-milkiyyah daulah).
Lahan kelapa sawit termasuk ke dalam asset umum, maka siapa pun yang mampu, dipersilakan mengolahnya. Hanya, berkaitan dengan kendali produksi ada di tangan negara. Bagi petani kecil, mereka diberi akses kemudahan untuk mendapatkan bibit, pupuk, pestisida sampai saprotan. Dari sini tidak akan muncul praktik penguasaan lahan sawit hanya oleh segelintir orang saja.
Negara juga berperan dalam mencegah dan menindak kecurangan, semisal praktik penimbunan, monopoli, dan oligopoli. Jika dengan semua mekanisme di atas masih juga muncul kecurangan, maka negara akan memberlakukan sanksi tegas oleh para Qadhi hisbah yang senantiasa memantau ke lapangan.
Namun demikian, sistem ekonomi berbasis syariat hanya akan terjamin pelaksanaan dan kefektifannya jika diterapkan secara menyeluruh oleh sistem pemerintahan Islam yang khas bernama Daulah Khilafah Islamiah.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]