Turkiye dalam Bayang-Bayang Sekularisme

"Perubahan nama internasional “Turkey” menjadi “Turkiye” yang digagas oleh Recep Tayyip Erdogan, serta dianggap lebih mewakili citra negara yang lebih baik, tidak akan mampu mengembalikan negara yang melandaskan pemerintahannya pada hukum Islam, sebagaimana masa kejayaan kekhilafahan Utsmani."

Oleh. Witta Saptarini, S.E
(Kontributor NarasiPost.com)

NarasiPost.com- Saat ini, dunia Islam memang tidak lagi menjadi kekuatan politik yang disegani, yang mampu memengaruhi, bahkan menguasai. Hal itu terjadi pasca runtuhnya kekhilafahan Islam terakhir yang berpusat di Istanbul Turki tahun 1924. Padahal dalam kurun waktu 13 abad tergambar jelas kesuksesan penerapan hukum Islam oleh institusi Khilafah dalam sejarah dunia. Menjadi bukti yang tak bisa disangkal bahwa perwujudannya bukan sekadar sistem pemerintahan, melainkan sebagai pelaksana syariat, penjaga akidah, darah, harta, negeri-negeri muslim, penegak agama, dan pemersatu umat muslim dunia.

Ya, Turki Utsmani kekhilafahan umat Islam terakhir, sebuah imperium yang mencapai usia sangat panjang dengan wilayah yang sangat luas. Kesuksesan
terbesar kekhilafahan Utsmani adalah penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453. Hal ini meneguhkan kedudukan kekhilafahan Utsmani sebagai super power di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur, hingga kota-kota penting yang sangat terkenal zaman dahulu pun masuk ke dalam wilayahnya. Tak ayal, kekuatan besarnya menjadikan seluruh wilayah Eropa segan terhadapnya, bahkan raja-raja Eropa pun berada dalam jaminan kekhilafahan Utsmani.

Alasan di Balik Pergantian Nama Internasional Turki

Dilansir dari Viva.co.id (7/6/2022), baru-baru ini Turki telah resmi berganti nama internasional dari “Turkey” menjadi “Turkiye”. Ya, rebranding alias memperbarui citra nama negaranya. Sebelumnya Turki sudah mengajukan surat ke Sekjen PBB per 1 Juni 2022. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menuturkan bahwasanya kata “Turkiye” lebih merepresentasikan budaya, peradaban, dan mengekspresikan nilai-nilai bangsa Turki. Perubahan nama suatu negara adalah hal yang wajar. Begitu pula dalam bisnis, nation-branding dapat terjadi karena berbagai alasan. Apakah untuk mengatasi klise, menghadirkan image yang lebih positif, bahkan untuk kepentingan politik. Seperti halnya Belanda menggunakan nama “Holland” dalam upaya untuk menyederhanakan citranya.

Maka, Erdogan pun meminta penggunaan kata “Made in Turkiye”, demi meningkatkan reputasi dalam hubungan internasional. Termasuk di laman daftar negara-negara anggota situs resmi PBB. Selain itu, perubahan ini diduga karena diksi “Turkey” memiliki konotasi buruk dalam kamus bahasa Inggris Cambrige yang bermakna “orang yang bodoh” atau “suatu kegagalan yang parah.” Dengan mengubah nama internasional negaranya, mampukah Erdogan menempatkan kembali pemerintahan negara Turki ke genggaman hukum-hukum Islam ?

Sejarah Singkat Runtuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani

Jika kita menilik kembali sejarah, keruntuhan kekhilafahan Utsmani diakibatkan oleh faktor internal dan eksternal. Khilafah Utsmani adalah satu-satunya kekhilafahan yang bukan berasal dari bangsa Arab. Tanpa disadari, ada salah satu sebab kekurangan yang mulai muncul pada umat muslim, yaitu diabaikannya bahasa Arab. Ketika potensi agama dan potensi bahasa Arab dipisahkan dengan kehidupan, maka orang-orang muslim tidak mampu lagi untuk mengakses sumber-sumber agamanya, di saat itulah mulai muncul berbagai kelemahan-kelemahan serta beragam persoalan, di antaranya, ditinggalkannya jihad pada abad ke-17. Lalu, ditutupnya pintu ijtihad yang berakhir pada kejumudan.

Artinya, ketika masyarakat memiliki permasalahan, di saat yang sama mereka tak memiliki solusi. Kemudian, kelemahan yang sangat akut dalam pemahaman Islam, berhasil memalingkan masyarakat pada hal-hal lain. Hantaman terakhir sebagai kelemahan dari sisi eksternal, yakni faktor konspirasi sebuah gerakan yang tidak dapat diantisipasi karena lemahnya kondisi internal. Mustafa Kemal Attaturk seorang Yahudi antek Inggris yang notabene menjadi presiden pertama Turki, dengan segenap upaya ia bertindak radikal, yakni melegalkan hancurnya peradaban Islam.

Mustafa Kemal Attaturk bersama partainya, berhasil menggeser kekhilafahan dari sendi-sendi kehidupan bangsa Turki melalui perang pemikiran dan imperialisme. Di mana, perang pemikiran yang dilakukannya melalui filsafat atau ilmu kalam, serta munculnya paham-paham lainnya yang terus ditanamkan seperti nasionalisme, sekularisme, pluralisme, serta liberalisme. Sehingga, mereka berhasil membuat kaum muslimin bingung dengan agama dan pemahamannya sendiri. Sebagai bentuk imperialisme, muslim Turki dibuat tak berdaya melawan rezim Mustafa Kemal Ataturk dan militernya. Secara official Ataturk berhasil menghancurkan dua kekuatan moral yakni Khilafah dan Islam, yakni terpecahnya umat Islam serta tersekat oleh batas teritorial.

Kuatnya Rezim Attaturk dengan Ideologi Sekulernya

Attaturk membangun Turki sekuler di atas puing-puing kekhilafahan Utsmani. Sebagai seorang presiden Republik Turki sekuler, ia bertindak diktator dalam menjalankan pemerintahannya. Rezim Attaturk bergerak ke arah langkah-langkah yang lebih ekstrem. Ia mengganti hukum syariat dengan kode hukum Eropa yang disesuaikan, mengganti segala yang berbau Islam, seperti mengonversi Hagia Sophia sebagai museum, mengubah lafaz azan dengan bahasa Turki, aksara Arab menjadi latin, larangan penggunaan atribut muslim seperti kerudung atau khimar bagi muslimah, fez (topi nasional Turki), menutup semua sekolah agama, hingga mengubah sistem kalender Islam menjadi gregorian (kalender masehi).

Inilah, akumulasi betapa kuatnya rezim Attaturk dengan kebijakan sekuler progresifnya. Rezim Attaturk berhasil mengimplementasikan ideologi sekulernya dengan reformasi radikal masyarkat Turki, yang bertujuan memodernisasi Turki dari sisa-sisa masa kejayaan kekhilafahan Utsmani. Secara pribadi, umat muslim dilindungi oleh Al-Qur’an dan As-Sunah. Secara jemaah, kita mempunyai pengikat yaitu ukhuwah. Secara negara kita punya Khilafah. Maka, ketiga hal inilah yang telah mereka rusak.

Turki Masa Kini dan Jejak Sekularisme

Kesuksesan Attaturk menggulingkan Khilafah, dengan tujuan sekularisasi dan modernisasi Turki secara besar-besaran bertahan hingga saat ini, sebagai bukti kuatnya ideologi yang ia tebarkan. Faktanya, hari ini Turki masih mendeklarasikan sebagai negara sekuler. Artinya, tidak ada agama resmi di negara ini. Konstitusi Turki memberikan kebebasan beragama bagi warganya sesuai hati nurani mereka. Tidak ada statistik resmi dari pemerintah Turki yang merinci tentang keyakinan atau agama. Selain itu, data mengenai agama tidak dicatat dalam sensus negara. Namun, CIA World Factbook melaporkan bahwa 99,8% dari populasi menganut agama Islam, sedangkan 0,2% beragama Kristen dan Yahudi. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan rezim Recep Tayyip Erdogan bahwasanya mereka menginginkan negara sekuler yang netral terhadap semua agama dan toleran. Menjadi sekuler bukan berarti anti agama, dan menjamin kebebasan terhadap semua agama.

Ya, perubahan nama internasional “Turkey” menjadi “Turkiye” yang digagas oleh Recep Tayyip Erdogan, serta dianggap lebih mewakili citra negara yang lebih baik, tidak akan mampu mengembalikan negara yang melandaskan pemerintahannya pada hukum Islam, sebagaimana masa kejayaan kekhilafahan Utsmani. Justru tetap menapaki jejak sekularisme. Terang saja, penguasa Turki saat ini Recep Tayyip Erdogan tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi benturan peradaban. Bila kita cermati, dalam setiap perubahan yang dilakukan, ia selalu mendeklarasikan tetap mempertahankan negara sekuler, tidak ditujukan pada upaya mengembalikan kegemilangan peradaban Islam. Salah satunya, saat konversi kontroversial Hagia Sophia beberapa waktu lalu.

Inilah implikasi dari upaya Barat meruntuhkan Khilafah. Selain memecah belah hingga lebih dari 44 negara, Barat pun mengangkat penguasa boneka di negara-negara baru tersebut. Lalu, mendidiknya agar menjadi penjaga kekayaan negaranya masing-masing demi kepentingan Barat. Kemudian, menetapkan sistem pemerintahannya, menguasai media massa untuk menyebarluaskan berbagai pemikirannya, membuat kurikulum pendidikan untuk mencetak generasi muda umat Islam sebagai followers cara berpikir mereka. Tak lain, semua langkah ini dilakukan demi memperkuat posisi kaum kafir dalam menguasai umat Islam. Sekaligus semakin menjauhkan dari realita kehidupan Islam. Walhasil, konstitusi dan hukum sekuler masih kuat mendominasi kehidupan masyarakat Turki masa kini.

Khilafah Mampu Menghapus Jejak dan Bayang-Bayang Sekularisme

Perlu diketahui, sistem pemerintahan sekuler yang mendominasi negeri-negeri muslim saat ini merupakan puncak kemungkaran. Bahkan, pangkal kejahatan yang senantiasa menghalangi amar makruf nahi mungkar. Karena itulah, Barat telah sukses menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang sebenarnya melalui perang pemikiran. Alhasil, umat muslim kini terbiasa menakwilkan Islam sesuai dengan kaidah berpikir Barat, yang notabene lahir dari akidah sekularisme. Hal inilah yang memudahkan Barat untuk melancarkan strategi selanjutnya, memarginalkan peran Islam dalam realita kehidupan umatnya.

Sejatinya, umat muslim harus menyadari di tengah gempuran pemikiran yang hebat ini. Sehingga, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk menutup mata dan telinga atas kenyataan ini. Bahwasanya, bahaya sekularisme telah berhasil mencampakkan sebagian syariat Islam dan hanya mengambil aspek individu dan ritualnya, yang berdampak pada hilangnya solusi yang mumpuni atas problematika kehidupan, serta hilangnya rahmat dan berkah yang dijanjikan Allah Swt. Begitu pula, jika syariat Islam tidak diterapkan secara komprehensif oleh sebuah institusi negara, yakni Khilafah.

Jelas, sekularisme sebagai pangkal dari kemungkaran ini harus diempaskan. Sebab, ketetapan ini telah diketahui sebagai suatu hukum yang telah ditentukan oleh Islam secara pasti. Seperti firman Allah Swt. di dalam surat Al-Anbiya ayat 107, “Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam .” Dalil ini menegaskan dari segi kaidah-kaidah fikih maupun historis, bahwa hanya melalui institusi negara Islam yakni Khilafah, mampu mengatur kehidupan manusia baik muslim dan nonmuslim dengan syariatnya. Khilafah memberi suasana ketaatan penuh bagi umat muslim, sedangkan bagi ahludz dzimmah ( warga negara kafir yang tunduk pada Daulah), dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya di bawah naungan negara. Pun, meniscayakan perlakuan adil terhadap semua warga negaranya, yakni memastikan hak yang sama tanpa membeda-bedakan, baik dalam perkara hukum, peradilan, jaminan kebutuhan hidup, serta terbebas dari bayang-bayang sekularisme .

Wallahu a’lam bish-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Witta Saptarini S.E Kontributor Narasipost.Com
Previous
Penjajahan Atas Nama Kemitraan Komprehensif
Next
Mencari Titik Terang Honorer
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram