“Fobia pernikahan umumnya terjadi pada negara yang memuja nilai-nilai kebebasan dan memunculkan sikap individualisme akut. Tidak ada aturan Sang Pencipta yang bisa dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani biduk rumah tangga.”
Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Negara Jepang sedang berjaya di sektor pariwisata dan industri hiburannya. Keindahan Negeri Sakura mampu mengalihkan dunia. Namun, realitasnya tidak sesuai dengan ekspektasi. Jepang mengalami persoalan pelik pada generasi mudanya. Mereka ogah-ogahan menikah apalagi punya anak. Keinginan memiliki pasangan hilang seiring dengan berkembangnya generasi.
Fenomena resesi seks yang melanda Jepang dapat dilihat dari data pemerintah yang menyebutkan total angka kelahiran di Negeri Sakura merosot. Pada tahun lalu tercatat ada 811.604 kelahiran di Jepang, yang merupakan rekor terendah sejak tahun 1899. Jumlah pernikahan yang terdaftar di pemerintah Jepang turun hingga 12,3% tahun 2020 lalu menjadi 525.490. Angka tersebut juga tergolong sangat rendah.
Sementara itu, angka kematian naik menjadi 1.439.809 jiwa, akibatnya populasi menurun hingga 638.205 jiwa. Di sisi lain, Singapura juga mengalami hal serupa. Pada tahun 2021, tercatat angka kelahiran hanya mencapai 1,12 bayi per wanita. Angka ini sangat rendah jika dibandingkan dengan rata-rata dunia yang berkisar di antara angka 2,3. (cnbcindonesia.com, 03/06/2022).
Akar Masalah Resesi Populasi Negara Maju
Fenomena resesi seks merujuk pada fenomena generasi yang menjauhkan diri dari tiga hal, yaitu kencan, menikah, dan memiliki anak. Ada beberapa faktor yang membuat generasi muda tertarik untuk tidak melangsungkan pernikahan, di antaranya karena faktor ekonomi dan budaya patriarki yang telah merebak sejak tahun 2010. Fenomena ini telah ada secara turun-temurun.
Tingkat kompetisi yang tinggi dalam dunia kerja dan biaya papan (tempat tinggal) yang selangit cukup menjadi beban kehidupan kaum muda. Apalagi biaya pendidikan yang mahal membuat orang tua khawatir memikirkan akan masa depan anak-anak. Beberapa hal tersebut mendorong generasi muda berpikir berulang kali untuk menikah, terlebih mempunyai anak.
Tidak hanya itu, budaya patriarki yang telah memosisikan laki-laki sebagai pihak yang mencari nafkah dan wanita sebagai seorang pengurus rumah tangga, berkontribusi dalam membuat kaum muda tidak memiliki hasrat menikah. Dengan faktor ekonomi dan dunia patriarki tersebut, bagi kaum muda Jepang menikah sama dengan kehilangan kehidupan. Mereka lebih condong memilih hubungan yang santai dan sederhana (kasual) yang memungkinkan mereka tetap memegang kehidupan mandiri dengan karier yang terang, bahkan tanpa adanya hubungan romantis dan tidak memiliki anak.
Alhasil kini Jepang menghadapi paradoks terkait populasi. Resesi seks ini telah cukup membuat pemerintahan Jepang khawatir. Bahkan banyak lembaga yang membuka kelas khusus untuk mengatasi fobia pernikahan pada generasi muda. Fobia pernikahan umumnya terjadi pada negara yang memuja nilai-nilai kebebasan dan memunculkan sikap individualisme akut. Tidak ada aturan Sang Pencipta yang bisa dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani biduk rumah tangga.
Islam Memelihara Nilai-Nilai Keluarga
Berbeda dengan aturan Islam, menikah adalah aktivitas yang sangat erat kaitannya dengan peribadahan. Dari tujuan sampai dengan keseharian semua wajib terikat dengan syariat Islam. Dalam Islam, menikah adalah ibadah sepanjang hayat. Allah hendak menumbuhkan rasa kasih sayang dengan penuh jiwa ketenteraman.
Firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an surah Al-A’raf ayat 189 yang artinya: “Dialah yang menciptakan kalian dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan istrinya sehingga dia merasakan senang kepadanya.” Kata as-sakn dalam ayat tersebut bermakna ketenangan atau ketenteraman (al-ithmi’nan). Ayat ini menjelaskan bahwa kehidupan antara suami dan istri adalah kehidupan yang menjadikan suami merasa tenang dan tenteram dengan sosok kehadiran istri. Sebaliknya, istri juga merasakan aman dan tenang dengan keberadaan suami yang ada di sisinya.
Terkait dengan pembagian peran dalam rumah tangga. Islam menempatkan kepemimpinan (qowam) pada laki-laki. Memang benar peran laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan yang mengatur rumah tangga, namun bukan dilandasi oleh budaya patriarki. Allah memberikan porsinya masing-masing, kewajiban dan hak sesuai dengan fitrahnya. Perempuan tidak wajib atau boleh (mubah) bekerja dan laki-laki tidak haram membantu pekerjaan rumah tangga. Kehidupan damai penuh dengan aspek kerja sama (ta’awun) di antara keduanya karena masing-masing menyadari tentang hak dan kewajibannya.
Di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 228, Allah berfirman yang artinya: “… Istri-istri itu memiliki hak (dari suami mereka) seperti pada diri mereka mempunyai kewajiban (terhadap suaminya) melalui cara yang baik.”
Suami dan istri harus paham dan menyadari akan hak dan kewajibannya. Begitu pula tanggung jawabnya sebagai pengemban amanah berupa anak yang telah Allah titipkan. Ketakwaan yang menghiasi ayah, ibu, dan anak karena nilai-nilai keimanan yang ditanamkan sejak dini dengan berorientasi pada akhirat. Sebagaimana Allah Swt. mengisahkan tentang Lukman sebagai teladan bagi kita.
“Dan (ingatlah) tatkala Lukman berkata kepada anaknya, pada saat dia memberikan pelajaran kepadanya, Wahai anakku! Janganlah engkau menduakan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar suatu kezaliman yang besar.”
Dalam sebuah keluarga akan terbentuk kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya. Rasa takut melanggar aturan-aturan-Nya karena didasari pada ketakwaan. Kelak anak-anak akan menjadi sosok individu yang memahami fitrah mencintai, menyayangi, dan membangun rumah tangga karena Islam semata. Akan tercipta generasi yang cinta Allah, Nabi, dan cinta syariat-Nya.
Walhasil akan terbentuk masyarakat yang bertakwa dan menjalankan syariat-Nya secara total. Dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam segala bidang, baik bidang ekonomi, maka permasalahan biaya kehidupan yang selangit pun dapat diatasi. Dari sini akan terbangun rasa kerinduan berada di bawah naungan institusi negara, yaitu Khilafah Islam yang mengikuti manhaj kenabian.
Wallahu a’lam bish-shawwab[]