“Lempar batu sembunyi tangan. Nahas, mereka sebut ini sebagai bencana alam murni, menyalahkan alam atas perilaku keji mereka.”
Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Heboh! Sebagian wilayah Indonesia yang berada di pesisir pantai khususnya kawasan Pantura diprediksi akan diterjang dahsyatnya banjir rob pada 2034. Hal tersebut sebagai efek dari hadirnya siklus nodal bulan, diperparah dengan kondisi wilayahnya yang telah disulap menjadi kawasan industri. Jika pemerintah tidak sigap melakukan mitigasi bencana, entah berapa banyak nyawa yang akan melayang dan perniagaan yang terancam alami kerugian besar.
Dilansir dari Cnnindonesia.com (3/6/2022) Peneliti Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Thomas Djalaludin mengutip penelitian dari NASA (AS) yang menyatakan bahwa tahun 2034 diprediksi akan terjadi banjir rob besar di wilayah pesisir, Pantura termasuk di antaranya. Hal ini dipicu oleh adanya siklus nodal bulan.
Prediksi ilmiah dari para ahli ini tidak bisa dianggap angin lalu, pemerintah harus sigap dalam mengantisipasinya demi meminimalisasi korban berikut kerugiannya. Lantas, bagaimana terjadinya siklus nodal bulan itu? Apa dampaknya? Bagaimana mitigasi bencana dalam mengantisipasinya?
Fenomena Siklus Nodal Bulan
Nodal bulan adalah dua titik di mana jalur orbit bulan melintasi ekliptika (garis edar semu matahari) jalur tahunan matahari yang tampak pada bola angkasa. Siklus nodal bulan ini terjadi sekitar 18,6 tahun. Hal ini disebabkan miringnya posisi bulan 5 derajat dari ekliptika. Akibatnya, air laut pasang maksimum.
Berkaitan dengan adanya kenaikan permukaan laut yang disebabkan oleh pemanasan global, presesi nodal bulan diprediksi akan secara intensif meningkatkan frekuensi banjir pesisir (rob) secara global sepanjang tahun 2030-an, khususnya wilayah dangkal seperti Pantura.
Banjir rob atau biasa dikenal banjir pasang surut air laut adalah pola fluktuasi permukaan air laut yang disebabkan adanya gaya tarik benda-benda angkasa (khususnya oleh bulan dan matahari) terhadap massa air laut di bumi. Banjir rob ini terjadi jika air laut pasang; dorongan air; angin; swell (gelombang yang bergerak dengan jarak sangat jauh meninggalkan daerah pembangkitnya); badai di lautan; serta pencairan es kutub yang dipicu oleh pemanasan global.
Hanya saja, penyebab banjir rob ini bukan faktor alam semata. Ternyata manusia memiliki andil dalam mendatangkannya, di antaranya adanya aktivitas pemompaan air tanah secara berlebih; pengerukan alur pelayaran; dan reklamasi pantai. Waspada! Eksploitasi lahan pesisir oleh manusia menjadikan permukaan air tanah menurun, akibatnya tanah amblas dan terjadi intrusi air laut. Tentu saja banjir rob ini memberikan dampak yang signifikan yakni memakan korban jiwa; mengubah fisik lingkungan; penurunan kualitas lingkungan; serta kerugian secara finansial.
Fenomena Perigee Pantura
Masih lekat dalam ingatan kita, peristiwa banjir rob yang menghantam wilayah Pantura khususnya Semarang, Demak, kota Pekalongan, Rembang, dan Brebes. Bencana ini menyebabkan 8.000 warga terdampak. Bukan hanya itu, Pelabuhan Tanjung Emas pun sempat lumpuh. Bahkan, kerugian ekonomi diduga mencapai puluhan miliar.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) banjir rob yang menggenangi wilayah Pantura itu disebabkan fenomena Perigee. Yakni kondisi jarak terdekat bulan dengan bumi. Adapun bulan posisinya terkadang mendekati atau menjauhi bumi sebab orbitnya berbentuk elips. Perigee terjadi ketika rute bulan berada dekat bumi, sedangkan dalam posisi jauh disebut Apogee. Sedangkan, tarikan gravitasi bulan itu paling kuat terjadi saat Perigee. Sehingga, terjadi peningkatan signifikan pasang surut air laut selama periode itu. Bukan hanya itu curah hujan yang tinggi dan gelombang laut yang mencapai 1,25 - 2,5 meter hingga jebolnya tanggul pelabuhan menyebabkan parahnya banjir rob ini (Cnnindonesia, 25/5/2022).
Namun, faktor alam bukan satu-satunya penyebab datangnya banjir rob di wilayah Pantura. Sebagaimana kita ketahui, wilayahnya yang terbilang cukup strategis menyebabkan perkembangan kota ini melesat begitu pesat. Jumlah penduduk yang membludak berpadu dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat menjadi faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan; reklamasi pantai; dan pembangunan sarana industri yang merangsek ke laut. Sehingga, terjadilah degradasi lingkungan seperti banjir rob; penurunan tanah; dan perubahan garis pantai.
Bahkan kawasan Pantura diprediksi akan tenggelam dalam jangka waktu 50 tahun. Penurunan tanah di wilayah ini cukup beragam, ada yang 2 cm; 3 cm; 5 cm; 10 cm; dan 12 cm per tahun. Penggunaan air tanah berlebihan dan sifat sedimentasi aluvial pada pantai sekitar Pantura menyebabkan tanah jadi cepat turun. Inilah dinamika kepesisiran yang hingga saat ini masih menjadi masalah serius di kawasan Pantura.
Tak pelak, aktivitas ekonomi seperti bongkar muat di pelabuhan, kegiatan ekonomi di pemukiman pesisir, kawasan industri, wilayah tambak garam, dan perikanan terkena imbasnya. Mereka harus menanggung kerugian puluhan miliar.
Pembangunan Ugal-ugalan
Hal penting yang perlu disoroti dari bencana banjir rob di wilayah Pantura ini adalah terkait pembangunan oleh manusia. Pasalnya, kawasan Pantura sudah sejak lama menjadi tulang punggung jalur transportasi dan logistik di Pulau Jawa. Utamanya ketika proyek Tol Trans-Jawa yang membentang sejauh 1.000 km ini telah terealisasi.
Bukan hanya itu, aktivitas manufaktur Jawa Tengah (Jateng) ternyata terpusat di kawasan Pantura. Bayangkan saja, dari tujuh kawasan industri di Jawa Tengah, lebih dari separuhnya berlokasi di sekitar pesisir. Begitu pun maraknya pembangunan perhotelan dalam menunjang sektor pariwisata negara.
Industri dan perhotelan menjadi pelaku paling ekstrem dalam ekstraksi atau pengambilan air bawah tanah, hal ini dilakukan karena minimnya air bersih. Ditambah pembangunan infrastruktur dengan beban bangunan berat yang dilakukan secara ugal-ugalan menjadikan fenomena land subsidence (penurunan tanah) tak bisa dihindarkan. Pembangunan ini pun telah banyak melahap lahan yang berfungsi sebagai resapan dan tutupan vegetasi. Sehingga wajar, jika banjir rob getol menyambangi kawasan ini.
Tak dimungkiri, Pantura memang memesona: wilayahnya yang strategis; gaji yang menggiurkan; SDM yang potensial; fasilitas ekspor impor yang memadai; konektivitas darat dan laut; serta ditunjang keberadaan Tol Trans Jawa menjadi daya pikat kuat dalam menarik investor, baik nasional maupun multinasional. Bahkan, pemerintah melalui Pemprov Jateng memosisikan Jateng sebagai lokasi investasi unggulan. Tepatnya, wilayah yang ramah investasi.
Kapitalisasi Kawasan Pesisir
Kawasan pesisir semestinya terjaga aspek lingkungan berikut konservasinya, sebab tanahnya rawan terkikis. Pemberdayaan kawasan pesisir seharusnya diarahkan pada visi perikanan maritim seperti budidaya dan pengolahan hasil perikanan, bukan menggenjotnya dengan proyek industri; pemukiman; apalagi perhotelan.
Namun, fakta mengatakan lain. Pengelolaan wilayah pesisir dalam teropong kapitalisme tidak mengindahkan hal tadi. Prinsip asas manfaat menjadi ruh dalam sepak terjangnya selama ini. Di mana ada kemanfaatan dan keuntungan secara ekonomi, di sanalah eksploitasi digencarkan. Pembangunan industri dan pariwisata pun dilakukan secara ugal-ugalan.
Parahnya, pemerintah menyerahkan sebagian besar pengelolaannya pada perusahaan swasta (investor) baik lokal maupun asing. Tak ayal, asing mengeksploitasi habis-habisan kawasan pesisir tanpa memedulikan dampaknya. Sehingga, krisis lingkungan terjadi dan disaster (bencana alam) siap menghantam kapan saja. Inilah tabiat kapitalisme yang merusak! Namun sayangnya, ideologi ini digenggam erat dan diaplikasikan negeri tercinta ini.
Banjir rob rutinan hanya satu dari ribuan dampak yang ditimbulkan akibat pengelolaan kawasan yang salah kaprah. Masyarakat lagi-lagi menjadi korban keserakahan kapitalis, lingkungan terkoyak bahkan rusak karena menjadi pelampiasan ambisi kapitalis. “Lempar batu sembunyi tangan”. Nahas, mereka sebut ini sebagai bencana alam murni, menyalahkan alam atas perilaku keji mereka.
Potensi Kawasan Pesisir
Allah Swt. menciptakan manusia, alam semesta plus aturannya. Betul, sejatinya alam semesta ini dihadirkan demi memenuhi kebutuhan hidup manusia, tapi bukan berarti manusia bebas sesuka hati mengeksploitasi hingga merusak alam hayati. Islam memiliki tuntunan dalam mengelola alam semesta, termasuk memperlakukan kawasan pesisir.
Kawasan pesisir adalah kawasan pertemuan antara darat dan laut. Kawasan ini mencakup bagian daratan, baik yang terendam air maupun kering, keduanya erat dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, dan perembesan air laut. Kawasan pesisir juga meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi proses alami sebagaimana di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan aktivitas manusia.
Berdasarkan hal tersebut, kawasan pesisir dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai potensi perikanan, pertambangan, pariwisata bahari, dan keanekaragaman hayati (natural biodiversity). Namun ingat, pemanfaatannya harus berdasarkan batasan hukum syarak, pengelolaan yang positif serta pemeliharaan yang berkesinambungan.
Sebab, jika dilakukan berdasarkan keserakahan dan manfaat ekonomi belaka akan berdampak buruk pada lingkungan. Eksploitasi akan dilakukan secara membabi buta. Sehingga, lingkungan rusak dan mengundang bencana yang membahayakan manusia. Allah Swt. telah memperingatkan dalam QS. Ar-Ruum ayat 41 yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Kini kerusakan itu telah tampak nyata, kapitalisme menjadi dalang dari berbagai eksploitasi yang ada. Oleh karena itu, perlu ada tindakan segera untuk mengatasi kerusakan lingkungan pesisir yakni dengan konservasi dan penataan ulang ruang di kawasan pesisir. Hal ini penting dilakukan untuk mengembalikan peran sumber daya alam pada fungsi semula serta menjaga keseimbangan alam. Caranya yakni dengan menjaga kestabilan rantai makanan dan siklus hidrologi (angin, awan, dan hujan) dan menyetop segala pembangunan yang bersifat eksploitatif.
Firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 56 yang berbunyi: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang baik.”
Islam mengajarkan kita untuk mengelola alam sesuai potensinya agar dirasakan manfaatnya tanpa merusak lingkungan. Sebab, kerusakan lingkungan mengundang bencana. Tidak perlu memaksakan pesisir menjadi kawasan industri dan pemukiman, karena ini bukan potensinya.
Siaga Bencana
Ketika prediksi akan terjadinya suatu bencana telah dirilis oleh para ahli dalam telaah ilmiah, maka pemerintah tidak bisa menganggapnya seperti angin lalu. Lihatlah bagaimana Khilafah yakni negara yang menerapkan syariat Islam kaffah selama 13 abad lamanya memberikan teladan dalam mengantisipasi peringatan bencana. Manajemen bencana ala Khilafah berdiri di atas akidah Islam. Prinsip pengaturan terikat dengan syariat Islam, dan ditujukan demi kemaslahatan umat.
Khilafah menyusun langkah strategis siaga bencana dengan menjalankan dua kebijakan yakni preventif dan kuratif. Pertama, kebijakan preventif yakni upaya prabencana. Tujuannya demi menghindarkan umat dari risiko bencana. Caranya dengan membangun sarana fisik seperti kanal, bendungan; tanggul; pemecah ombak; reboisasi; pemeliharaan kawasan pesisir dari intrusi; relokasi tata kota berdasarkan AMDAL; menjaga kebersihan lingkungan; dan tidak memberikan izin pada korporasi untuk mengeksploitasi kawasan pesisir.
Bukan hanya itu, Khilafah juga akan melakukan edukasi dan membangun mindset yang benar dalam benak umat terhadap datangnya suatu bencana, sigap dan tidak panik saat bencana terjadi. Khilafah juga akan membentuk tim SAR yang dibekali kemampuan teknis dan nonteknis serta peralatan canggih untuk membantu masyarakat dalam melakukan evakuasi pada korban.
Kedua, kebijakan kuratif yakni upaya pascabencana. Tujuannya meminimalisasi dampaknya pada umat dan lingkungan, baik secara material maupun nonmaterial. Caranya dengan sigap melakukan evakuasi korban; pengadaan dapur umum dan posko pengungsian; memenuhi kebutuhan makanan, minuman, dan medis; melakukan recovery mental untuk memulihkan kondisi psikis korban; serta recovery lingkungan tempat tinggal jika masih memungkinkan, atau bahkan merelokasi korban ke tempat lain yang lebih aman dan kondusif.
Khatimah
Ancaman tenggelamnya kawasan Pantura, bukan isapan jempol belaka. Perlu tindakan cepat dan tepat untuk mengantisipasinya. Hanya pemimpin saleh dan visioner ditunjang sistem sahih berlandaskan ideologi Islam yang mampu mewujudkannya.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]
Dulu saya berpikir bahwa pesisir adalah daerah bebas banjir, karena tempat tinggal kakek dan orang tua saya tidak pernah kebanjiran. Tapi, peristiwa banjir pesisir di sepanjang Pantura kemarin membuat saya jadi semakin paham betapa kerusakan sudah terjadi di seluruh wilayah. Astaghfirullaah ...