Sesungguhnya kehidupan dunia dan akhirat haruslah seimbang, manusia diciptakan oleh Allah dan menjalani kehidupan di dunia ini sejatinya adalah untuk mempersiapkan kehidupan kelak di akhirat.
———————————————————
Oleh: Aya Ummu Najwa
NarasiPost.com - Dewasa ini manusia sering sekali lebih disibukkan dengan urusan mengejar dunia yang fana. Sibuk Mengumpulkan harta, sibuk mengembangkan bisnis dan mengejar omset, pegawai yang sibuk mengejar jabatan, mahasiswa yang sibuk mengejar title kesarjanaan demi jabatan tinggi untuk mengumpulkan pundi-pundi harta. Namun sungguh disayangkan pengetahuan mengenai ilmu agama mereka sangat minim, hingga menyebabkan ibadah longgar dan banyak lalainya. Kondisi ini diperparah dengan enggannya manusia untuk memperbaiki itu semua, malas menghadiri majelis ilmu yang notabene malas menambah pengetahuan untuk belajar ilmu agama demi tujuan akhirat.
Sesungguhnya kehidupan dunia dan akhirat haruslah seimbang, manusia diciptakan oleh Allah dan menjalani kehidupan di dunia ini sejatinya adalah untuk mempersiapkan kehidupan kelak di akhirat, dunia adalah persinggahan, hanya sementara, ketika kita sibuk dengan yang sementara, menikmati dan terlena dengan dunia, apa kabar akhirat kita kelak?
Tentu kita sering mendengar, kita harus seimbang antara mencari dunia dan mencari akhirat. Sedangkan Allah telah berpesan untuk lebih mendahulukan dan mementingkan akhirat. Dalam firman-Nya:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Carilah negeri akhirat pada nikmat yang diberikan Allah kepadamu, tapi jangan kamu lupakan bagianmu dari dunia“. (QS. Al-Qosos: 77).
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan manusia agar memanfaatkan nikmat dunia yang Allah berikan, untuk meraih kemuliaan akhirat. Artinya adalah korbankanlah duniamu, untuk meraih akhiratmu.
Kemudian Allah katakan, jangan kamu lupakan bagianmu dari dunia. Ya, “bagianmu”, yakni bagian kecil dari duniamu, bukan setengahnya, apalagi semuanya. Jelas sekali dari ayat ini, bahwa kita harusnya mementingkan akhirat, bukan seimbang dengan dunia, apalagi mendahulukan dunia.
Akan tetapi jika manusia mau jujur, mungkinkah untuk menyeimbangkan antara dunia dan akhirat? Padahal sungguh, seakan itu hal yang mustahil. Yang ada adalah mendahulukan dunia, atau mendahulukan akhirat. Dan mendahulukan akhirat inilah yang Allah perintahkan.
Allah berfirman dalam ayat lain:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidaklah ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah hanya kepada-Ku“. (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Ayat ini menunjukkan bahwa ibadah adalah tujuan utama manusia diciptakan. Jika demikian, pantaskah manusia menyeimbangkan antara tujuan utama dengan yang lainnya?
Bahkan dalam doa yang tak pernah kita lupa membacanya, ada isyarat untuk mendahulukan kehidupan akhirat:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, juga kebaikan di akhirat. Dan peliharalah kami dari siksa neraka“. (QS. Al-Baqarah: 201)
Dalam doa di atas ada tiga permintaan; satu permintaan untuk kehidupan dunia, dan dua permintaan untuk kehidupan akhirat. Inilah isyarat, bahwa kita harus lebih memikirkan kehidupan akhirat.
Namun manusia, seringkali memilih mendahulukan dunia, dunia seakan segalanya. Apapun dilakukan untuk dunia, halal maupun haram akan terus dikejar selama itu bisa dia dapatkan, tanpa peduli bahwa itu semua akan dia tinggalkan.
Al-Hasan Al-Basri rahimahullah mengatakan, "Demi Allah, kecintaan seseorang dari mereka kepada dunianya benar-benar mencapai batas yang tak terperikan, sampai-sampai ada seorang ahli hanya dengan membolak-balikkan mata uang dirham di atas kukunya saja, ia dapat menceritakan kepadamu tentang berat kandungan logamnya, akan tetapi shalat saja dia tidak bisa mengerjakannya dengan baik".
Ibnu Abbas radiyallahu anhuma telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka hanya mengetahui kehidupan dunia yang tampak saja; sedangkan tentang (kehidupan) akhirat mereka tidak mengerti. Yakni orang-orang kafir itu hanya mengetahui cara membangun dunia, sedang mengenai urusan agama mereka bodoh sama sekali. (Ibnu Katsir: 6/305 danTafsir Ibnu Abu Hatim: 9/3088)
Namun, bagaimana manusia bisa mengetahui bahwa kehidupan akhirat lebih utama daripada dunia, jika dia sendiri tidak mempunyai pengetahuan tentang itu? Manusia harus menuntut ilmu untuk memperkuat keimanannya, untuk memperbaiki kualitas ibadahnya, maka dia harus menuntut ilmu agama, dan senantiasa meminta kepada Allah untuk memberinya pengetahuan agama.
Adapun firman Allah Ta'aala yang berkaitan dengan ilmu
(ۥۖ وَقُل رَّبِّ زِدۡنِی عِلۡمࣰا)
"Dan katakanlah, Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu." (QS. Thaaha: 114)
Ulama besar Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafii rahimahullah berkata : Firman Allah Ta'aala (yang artinya), Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta'aala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali tambahan ilmu.
Adapun yang dimaksud dengan kata ilmu di sini adalah ilmu syar'i atau ilmu agama. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang Muslim yang terbebani syariat mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan. (Dalam kitab: Fath Al-Bari, 1: 141). Bahkan Allah Ta'aala berfirman yang menjelaskan kondisi mayoritas umat Islam saat ini ketika ilmu agama sudah dianggap tidak penting lagi;
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ . يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
"Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui kehidupan dunia yang tampak saja; sedangkan tentang (kehidupan) akhirat mereka tidak mengerti." (Qs. Ar-Rum [30]: 6-7)
وَقَوْلُهُ: {يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ} أَيْ: أَكْثَرُ النَّاسِ لَيْسَ لهم علم إلا بالدنيا وأكسابها وشؤونها وَمَا فِيهَا، فَهُمْ حُذَّاقٌ أَذْكِيَاءُ فِي تَحْصِيلِهَا وَوُجُوهِ مَكَاسِبِهَا، وَهُمْ غَافِلُونَ عَمَّا يَنْفَعُهُمْ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ، كَأَنَّ أَحَدَهُمْ مُغَفّل لَا ذِهْنَ لَهُ وَلَا فِكْرَةَ.
قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: وَاللَّهِ لَبَلَغَ مِنْ أَحَدِهِمْ بِدُنْيَاهُ أَنَّهُ يَقْلِبُ الدِّرْهَمَ عَلَى ظُفْرِهِ، فَيُخْبِرُكَ بِوَزْنِهِ، وَمَا يُحْسِنُ أَنْ يُصَلِّيَ.
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: {يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ} يَعْنِي: الْكُفَّارُ، يَعْرِفُونَ عُمْرَانَ الدُّنْيَا، وَهُمْ فِي أَمْرِ الدِّينِ جُهَّالٌ.
Artinya, kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu melainkan hanya yang menyangkut masalah dunia, mata pencahariannya, dan semua urusannya. Mereka benar-benar cerdik dan pandai dalam meraih dan menciptakan berbagai macam pekerjaannya. Sedangkan terhadap perkara-perkara agama dan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka di negeri akhirat nanti, mereka sama sekali tidak peduli. Seakan-akan seseorang dari mereka kosong pengetahuannya tentang ilmu akhirat, hatinya tidak tergerak terhadapnya, dan pikirannya kosong darinya.
وَلَكِنْ يَعْلَمُوْنَ ظَاهِراً مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَتَدْبِيْرِ مَعَايِشِهِمْ مِنْ زِرَاعَةٍ وَصِنَاعَةٍ وَتِجَارَةٍ، وَفِي نَفْسِ الْوَقْتِ هُمْ عَنِ الْحَيَاةِ الْآَخِرَةِ غَافِلُوْنَ عَمَّا يَجِبُ عَلَيْهِمْ فِعْلُهُ وَتَرْكُهُ لِيُسْعِدُوْا فِيْهَا بِالنَّجَاةِ مِنَ النَّارِ وَسُكْنَانِ الْجِنَانِ فيِ جِوَارِ الرَّحْمَنِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Akan tetapi, mereka hanya mengetahui kehidupan dunia yang nyata seperti pengaturan mata pencaharian mereka dalam bentuk pertanian, industri dan perdagangan. Akan tetapi di waktu yang sama, mereka sama sekali tidak peduli dengan kehidupan akhirat, mana yang wajib dikerjakan dan mana yang wajib ditinggalkan, agar mereka dapat hidup bahagia di sana dan selamat dari api neraka, menempati surga bertetangga dengan ar-Rahman Subhanahu wa Taala (Aysarut Tafasir: 4/159)
Al imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, Demi Allah, salah seorang dari mereka telah mencapai keilmuan yang tinggi dalam hal dunia, di mana ia mampu memberitahukan kepadamu mengenai berat sebuah dirham (uang perak) hanya dengan membalik uang tersebut pada ujung kukunya, sedangkan dirinya sendiri tidak becus dalam melaksanakan shalat. (Tafsir Al-Quran Al-Azhim, 6: 84. Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan bahwa As-Suyuthi dalam Ad-Daar Al-Mantsur menisbatkan perkataan ini pada Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim)
Yang harus manusia perhatikan adalah bahwasannya ada celaan Allah bagi mereka yang memiliki pengetahuan ilmu dunia tinggi namun buta akan ilmu agama. Sedangkan kebahagiaan dunia akhirat dapat dicapai dengan ilmu. Jika memperbincangkan dunia seakan dia tau segalanya, namun untuk urusan akhirat dia bagaikan seorang yang gagu. Na'udzubillahi min dzalika.
Wallahu a'lam
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]