"Inilah kenyataan yang harus diterima saat negara menjalankan demokrasi kapitalisme dalam sistem pemerintahan. Suara terbanyak yang digadang-gadang menjadi "ratu adil" nyatanya hanya menjadi anak panah yang keberpihakannya diarahkan oleh penguasa dan para pemodal di belakangnya."
Oleh. Ummu Azka
( Kontributor NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Entah kesan apa yang hendak ditampilkan oleh lembaga perwakilan di negeri ini? Menikmati fasilitas hidup dari rakyat, namun semakin abai dengan nasib rakyat.
Ya, publik kembali disajikan tontonan memalukan saat Puan Maharani, ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mematikan mikrofon salah satu anggota dewan yang tengah berinterupsi. Ironisnya, hal tersebut dilakukan secara berulang sejak tahun 2020 hingga 2022.
Pada tahun 2020, Puan mematikan mikrofon saat anggota dari fraksi Partai Demokrat, Irwan Fecho, tengah interupsi pada rapat pengesahan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja.
"Menghilangkan hak-hak rakyat kecil. Kalau mau dihargai tolong ha.." Irwan belum sempat mengakhiri kalimatnya, namun mikrofon dimatikan oleh Puan.
Sementara itu, aksi mematikan mikrofon pada tahun 2021 menimpa Fahmi Alaydroes, anggota Fraksi PKS, pada rapat persetujuan pengangkatan panglima TNI, jenderal Andika Prakasa. Fahmi yang saat itu mengajukan interupsi ditolak mentah-mentah dengan aksi Puan mematikan mikrofon dan langsung mengakhiri rapat. Kini, anggota Fraksi PKS, Amin MK, menjadi korban selanjutnya. Interupsi dari Amin yang mempertanyakan kekosongan aturan dalam KUHP untuk setiap perilaku LGBT diakhiri sebelum usai berbicara. Kali ini Puan beralasan bahwa rapat harus ditutup karena sudah memasuki waktu Zuhur.
Menanggapi kejadian tersebut, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyebut bahwa sikap Puan justru merugikan, karena publik dapat menilai sikap tersebut sebagai otoriter.
Fungsi Oposisi
Menurut Wikipedia, oposisi dalam dunia politik berarti partai penentang di dewan perwakilan yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa. Beberapa partai politik ada yang menyebut dirinya sebagai partai penyeimbang.
Dari pengertian di atas jelas tampak bahwa fungsi oposisi adalah sebagai pengawal agar kekuasaan yang dijalankan senantiasa berada pada rel yang tepat. Keberadaan oposisi dalam kekuasaan dibutuhkan untuk melakukan fungsinya sebagai check and balances (pengimbang dan pengawas ) pemerintahan. Hal ini dilakukan untuk mencegah praktik penyalahgunaan kekuasaan yang bisa mengarah pada sikap otoriter.
Oleh karenanya, sikap ketua DPR Puan Maharani yang menutup keran interupsi dari partai oposisi sejatinya telah mempertegas gaya kekuasaan yang dimiliki oleh rezim saat ini. Otoriter dan antikritik. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan rakyat yang dipimpin dengan gaya kekuasaan yang demikian? Sementara sebelumnya, mereka diiming-imingi janji manis perubahan nasib dan masa depan?
Inilah kenyataan yang harus diterima saat negara menjalankan demokrasi kapitalisme dalam sistem pemerintahan. Suara terbanyak yang digadang-gadang menjadi "ratu adil" nyatanya hanya menjadi anak panah yang keberpihakannya diarahkan oleh penguasa dan para pemodal di belakangnya.
Pemerintahan yang dijalankan dengan slogan "asal bapak senang" tak akan menanggapi setiap masukan yang datang. Inilah masa ketika partai oposisi tak lagi punya opsi untuk berbicara memberikan saran dan kritik terbaik kepada penguasa. Jika dibiarkan, pelan namun pasti penguasa akan berubah menjadi sosok menakutkan sehingga ditinggalkan oleh rakyatnya.
Oposisi dalam Pandangan Islam
Oposisi dalam Islam bisa dimaknai secara lebih luas sebagai pihak yang aktif dalam menyampaikan muhasabah terhadap penguasa. Terkait hal ini Rasulullah saw bersabda :
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Abu Said al-Khudzri berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Jihad yang paling afdhal adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa yang zalim." (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan ad-Dailami)
Keutamaan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa juga dinyatakan dalam sabda Rasul saw. yang lain:
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إلَى إمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ
"Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim lalu ia memerintah penguasa itu (dengan kemakrufan) dan melarangnya (dari kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuh dirinya." (HR al-Hakim dan ath-Thabarani)
Dua hadis di atas menunjukkan keutamaan dalam aktivitas melakukan kontrol (muhasabah) terhadap penguasa hingga menyebutnya sebagai "afdholul jihad". Aktivitas kontrol (muhasabah) terhadap penguasa sesungguhnya menjadi kewajiban kaum muslimin, karena termasuk amar makruf nahi munkar.
Sampai di sini jelas bahwa upaya oposisi dalam menyampaikan muhasabah terhadap penguasa semestinya dihargai dan dijamin pelaksanaannya. Sebaliknya, penolakan terhadap muhasabah akan melahirkan pemimpin yang sakit dan semakin jauh dari rakyat. Wallahu alam bishshowab.[]