"Yang menjadi titik kritis dalam koalisi parpol di sistem demokrasi ini adalah menandakan bahwa posisi parpol tersebut lemah, tidak berdiri sendiri, hal ini di tandai dengan mereka saling mencari "jodoh" untuk bekerjasama guna meraup suara untuk duduk di pemerintahan."
Oleh. Siti Amelia Q. A
( Kontributor NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Baru-baru ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menggelar acara milad ke 20 di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (29/5). Sejumlah elite parpol hadir dalam perhelatan acara tersebut, di antaranya hadir juga PKB, PPP, Demokrat dan Golkar. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS, Aboe Bakar Alhabsyi, dalam milad tersebut menyatakan bahwa sangat terbuka untuk berkoalisi dengan siapa saja, namun beliau mengatakan juga bahwa PKS saat ini tidak mau dikunci soal koalisi. Menurut Aboe Bakar, PKS akan mengusung pasangan Capres-Cawapres yang potensial untuk menang. Hal ini karena PKS ingin agar periode berikutnya berada dalam pemerintahan, bukan sebagai pihak oposisi.
Koalisi dalam sistem demokrasi, dianggap hal yang lumrah terjadi, hal yang biasa dan sah-sah saja, karena memang bagian dalam sistem demokrasi. Koalisi itu sendiri merupakan upaya dari beberapa partai yang bergabung untuk saling bekerjasama memperoleh kelebihan suara dalam parlemen atau pemerintahan.
Koalisi itu sendiri bertujuan untuk memenangkan parpol dalam pemilu sehingga suara parpol terpenuhi dan diharapkan mampu menduduki kursi pemerintahan. Namun, yang menjadi titik kritis dalam koalisi parpol di sistem demokrasi ini adalah menandakan bahwa posisi parpol tersebut lemah, tidak berdiri sendiri, hal ini di tandai dengan mereka saling mencari "jodoh" untuk bekerjasama guna meraup suara untuk duduk di pemerintahan.
Partai politik pastinya memiliki ideologi partai dengan asas dan tujuan yang ingin diraih. Jika sebuah parpol bergabung dengan parpol lainnya dalam hal ini berkoalisi, tentu saja ini akan melemahkan fungsi kontrol parpol yang sesungguhnya. Parpol akan tidak berdaya, karena ideologi, visi, serta misinya akan melebur dengan parpol lainnya. Sehingga, parpol akan terjangkiti pragmatisme dalam berpolitik, yakni berkoalisi berdasarkan asas manfaat atau keuntungan kelompoknya semata, bukan untuk mengemban amanah rakyat yang memercayakan mereka. Idealisme parpol akan luntur dan terkikis hanya untuk mendapatkan jabatan atau kursi kekuasaan di pemerintahan.
Apalagi jika parpol tersebut merupakan parpol yang berideologi dan berasaskan Islam tentu akan sangat berat jika bergabung dengan parpol berbasis nasionalis atau sekuler. Belum lagi saat merumuskan suatu kebijakan atau melegalisasi UU, tentu akan sangat bersebrangan. Namun, pada praktiknya hal tersebut dianggap lumrah. Terbukti dari banyaknya parpol berasaskan Islam yang berkoalisi dengan parpol berasas nasionalis atau sekuler, yang terjadi hanya bagi-bagi "kue" kekuasaan saja, suara rakyat bukan menjadi prioritas awal partai. Sungguh hal ini sangat berbeda dengan parpol dalam sistem Islam, dimana keberadaan partai atau kelompok memang diperintahkan Allah Swt yang termaktub dalam surat Ali Imran ayat 104.
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."
Kelompok atau partai dalam sistem Islam memiliki tugas yakni beraktivitas menyeru kepada Islam (dakwah) dan melaksanakan amar makruf nahi mungkar. Untuk dapat menjalankan fungsinya, parpol harus memiliki ikatan antaranggota yang kuat, landasan dan asas parpol harus bersandar kepada akidah Islam dan berusaha mendakwahkan syariat Islam yang berlaku untuk semua, baik kepada rakyat maupun penguasa. Aktivitas dakwah tersebut masuk dalam aktivitas politik, karena keberadaan parpol sebagai institusi pemikiran yang akan mengedukasi rakyat yakni menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.
Otomatis parpol yamg berkoalisi harus sejalan dengan parpol koalisinya, baik kesamaan akidah, landasan, dan asas partai. Jika tidak demikian, maka yang terjadi adalah parpol akan menjadi pragmatis, fungsi penting parpol sebagai fungsi aspirasi tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, karena parpol terjebak dalam koalisi yang beda arah. Jika itu terjadi, parpol akan "mandul" dan parpol tidak akan bisa mengawal pelaksanaan pemerintahan untuk tetap berada dalam koridor hukum syarak.
Fungsi legislasi atau pembuat UU dalam sistem Islam sudah termaktub mutlak bersumber kepada Al- Qur'an dan Sunnah bukan berdasar kepada suara mayoritas yang ada dalam sistem demokrasi.
Untuk itu, parpol akan tetap berusaha menjaga agar pengaturan urusan umat sesuai dengan syariat Allah Swt, partai bekerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan untuk mewujudkan pemerintahan yang adil dan menjaga agar tetap berada dalam koridor hukum syarak. Sehingga tercapai negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.[]