"Air mata semakin deras mengalir. Kini, tangisannya berkolaborasi dengan kerinduan dan kebahagiaan yang diimpikan. Dekapan hangat uma mengirimkan triliunan energi positif bagi jiwanya yang lama gersang. Tangisannya tak bisa berhenti, dia masih berlabuh dalam pelukan uma, tak ingin lepas lagi."
Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Sinar purnama mengerling indah, menawan siapa saja yang memandangnya. Barisan awan seputih kapas berarak mengelilinginya. Lukisan indah pencipta memanjakan tiap netra. Ada rasa nyeri yang menyusup ke relung hati. Rasa sesal pun berhamburan saat tersadar akan kebesaran Ilahi. Rasa bersalah menuntun langkanya menjauh dari tempat kenduri yang riuh oleh sundari.
Bayangan itu melesat begitu cepat mengalahkan berisiknya angin, semakin menjauh dan tak terlihat. Meski tanda tanya sempat menghampiri benak insan di bawah terop, namun segera tertepis seiring menghilangnya bayangan itu. Si pemilik bayangan telah menepi dalam kesendirian. Napas tersengal berkejaran dengan gemericik air yang mengalir di sungai kecil. Penyesalan itu berhasil mengacaukan segalanya. Sekotak tahfifah setia dalam genggaman.
Selama ini, semua tugasnya berjalan dengan sempurna. Berbagai kompensasi mewah sudah dia miliki dari Romo Harun. Namun, purnama kali ini, ia gagal total dalam misinya. Dia balik badan tatkala menyaksikan siapa tujuan dari tahfifah yang dibawanya. Hatinya nyeri tiada terkira. Sekelebat bayangan masa lalu menampar ingatan. Sudah dua windu dia bersama Romo Harun. Dia berinteraksi dengan orang lain saat membawa tugas mengantar tahfifah saja.
Bulir bening kini lolos dari bendungan netranya. Masa lalu yang pahit itu kembali terkembang dalam seluruh pori ingatan. Betapa sakitnya dia tatkala diusir jaddi, sementara uma diam saja. Jiwa labilnya dulu menuruti hawa nafsu. Atas rayuan dan dorongan teman-temannya, ia mengintip taman pemandian santri putri. Di kolam itu, meski tembok tinggi membentang, nyalinya begitu besar untuk mengintip para santri yang berenang tanpa kerudung. Ia pun diusir jaddi dan diantar ke salah satu kerabat abah di dataran tinggi yang jauh aksesnya.
"Kaukah itu, Maulana?"
Suara yang tak asing menyapanya, menyadarkan diri dari lamunan. Tubuhnya terguncang, gemetar tiada tertahankan. Saat ia berbalik badan, kotak tahfifah jatuh tepat di kaki perempuan yang menyapanya. Senyum teduh yang selalu dirindukan kini hadir di hadapannya. Perempuan yang melahirkannya membentangkan kedua tangan. Keraguan sempat menyelimuti diri. Namun, dengan gegas ia menghambur dalam pelukan uma.
Air mata semakin deras mengalir. Kini, tangisannya berkolaborasi dengan kerinduan dan kebahagiaan yang diimpikan. Dekapan hangat uma mengirimkan triliunan energi positif bagi jiwanya yang lama gersang. Tangisannya tak bisa berhenti, dia masih berlabuh dalam pelukan uma, tak ingin lepas lagi. Rasa bersalah begitu kuat menyerang. Dia baru tahu tadi di depan terop itu, bahwa uma telah pindah rumah sejak ia diusir.
Maulana menyelami netra uma yang penuh ketenangan dan kerinduan. Hatinya pilu teringat ia pernah mendurhakai uma. Sampai-sampai uma dan adik-adiknya harus keluar dari pesantren karena ulahnya. Uma seorang menantu di sana. Ketika abi wafat, mereka tetap tinggal di pesantren karena wasiat abah. Namun, uma akhirnya pindah atas permintaan jaddi. Dia memejamkan mata yang telah lama membengkak. Tentu uma tak mudah menghadapi persoalan hidup waktu itu.
"Pulang, ikut Uma, Nak! Kau penanggung jawab kami. Tentu kau pun ingat pesan Abah," kata uma memecah keheningan.
Maulana malu untuk pulang bersama uma. Namun, uma menegaskan bahwa kesalahannya di masa lalu sudah uma maafkan, apalagi dia waktu itu belum balig. Dia diusir dari sana agar belajar lebih baik pada Romo Harun. Uma bersyukur karena Maulana patuh pada Romo Harun. Bahkan, Romo Harun juga membuat skenario agar ibu dan anak itu bisa berjumpa. Sekotak tahfifah inilah yang mengantar Maulana ke rumah ibundanya itu.
Ya, dia memang menjadi kurir untuk menyiapkan dan mengantar tahfifah ke rumah saudara, kerabat, sahabat, ataupun kolega Romo Harun. Tak biasanya, ia mendengar Umi Maryam berkata sebelum ia berangkat, "Jadilah seutuhnya anak. Kau sudah dewasa kini. Pulanglah!" Saat itu dia tak paham dengan maksud perkataan Umi Maryam. Kini, dia sudah sepenuhnya mengerti maksud beliau.
Tahfifah berupa bakhur salwa, tongkat gurah, jampal emas, kalung, dan liontin itu untuk adiknya yang akan menikah esok. Romo Harun dan Umi Maryam menitipkan pesan permohonan maaf pada tuan rumah yang ternyata uma-nya sendiri. Mereka tak bisa hadir karena esok akan ada tamu dari Libya. Uma menerima tahfifah itu sembari menggandeng putra sulungnya pulang. Kepulangan Maulana disambut histeris adiknya. Tahfifah dari Romo Harun menjadi jembatan pertemuannya dengan keluarga tercinta.
Bagi uma, Maulana-lah tahfifah terindah. Selama bersama Romo Harun, dia tak boleh dikunjungi ataupun ditemui sampai Romo Harun merasa Maulana cukup untuk berguru padanya. Kini, anak sulungnya telah berada di tengah mereka. Besok dia yang akan menjadi wali nikah adiknya. Suasana haru dan rindu itu tertumpah ruah di ruang keluarga.[]