“Sistem kehidupan sekuler-kapitalis meniscayakan merebaknya Barnum Effect. Ketidakjelasan visi misi dan jati diri insan yang dibentuk semenjak dini, membuat seseorang cenderung memercayai kondisi yang diramalkan.”
Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Jati diri, dua kata ini sering menjadi perburuan insan bernyawa. The journey of life kadang mampu melabuhkan seseorang pada jati diri yang hakiki, namun tidak sedikit yang malah berbelok pada kehampaan diri. Tentu saja, proses pencarian jati diri ini butuh proses yang tidak mudah, jalannya pun terjal dihiasi onak duri.
Banyak orang yang memaknai jati diri sebagai upaya untuk mengenali diri sendiri lebih mendalam. Di sanalah kita akan menemukan ‘harta karun’ yang terpendam dalam diri: sesuatu yang unik, menarik, kekuatan, sekaligus kelemahan yang menyelimuti. Sayangnya, usaha ini tak semudah membalikkan telapak tangan.
Terbukti, godaan menuju penelusuran jati diri banyak sekali. Terlebih di alam sekularisme yang ramai menawarkan jalan pintas. Ramalan zodiak, pembacaan sifat kepribadian melalui golongan darah, pembacaan aura tubuh, garis tangan, tes kepribadian beredar keras di pasaran. Tak sedikit yang justru memercayainya karena dianggap related banget sama kehidupannya.
Tak ayal, beredar pernyataan seperti “Orang dengan zodiak Taurus, Scorpio, Sagitarius bakal hoki dalam karier, asmara, dan kesehatan sepanjang 2022; orang dengan golongan darah A biasanya cool, tegas, namun keras kepala; bla..bla..”_ Kamu percaya akan ramalan ini? Bila ya, waspada! Bisa jadi kamu terkena Barnum Effect.
Mengenali Barnum Effect
Tak kenal maka tak waspada! Penting sekali bagi kita untuk mengenali apa itu Barnum Effect? Yuk, telusuri asal usulnya! Check it out!
Ada yang masih ingat film fenomenal yang mendulang sukses di tahun 2017? “The Greatest Showman”. Sosok Barnum yang diperankan oleh Hugh Jackman. Ternyata tokohnya bukan fiktif belaka, namun diambil dari kisah nyata.
Sekitar akhir abad ke-19, di Amerika Serikat muncullah sosok Phineas T. Barnum dikenal sebagai politisi dan businessman sekaligus pendiri kelompok sirkus terkenal yakni Barnum dan Bailey. Kelompok ini terkenal karena keunikannya yang menampilkan orang-orang yang berbeda dan ‘aneh’ setiap pertunjukannya. Siapa sangka, semua yang ditebarkan hanyalah tipuan belaka. Tak cukup sampai di sana, bahkan Barnum ini gemar mengeluarkan pernyataan kontroversial seperti “there’s a sucker born every minute”.
Tingkahnya ini memicu protes dari banyak pihak, salah satunya seorang psikolog Paul Everett yang memperkenalkan teori Barnum Effect sebagaimana kelakuan sosok Barnum ini. Barnum Effect merupakan suatu fenomena psikologis yang ditandai dengan adanya suatu kepercayaan terhadap suatu deskripsi tentang dirinya itu dianggap berlaku khusus untuknya, padahal realitasnya justru berlaku umum untuk orang banyak.
Puluhan tahun kemudian, psikolog Amerika Bertram R. Forer, menjadikan murid-muridnya sebagai ’kelinci percobaan’ dengan kedok tes kepribadian untuk mengeksekusi teori Barnum Effect ini. Namun, alih-alih memeriksanya layaknya psikolog profesional, Forer malah memanipulasi hasil analisisnya dengan mencatut ramalan astrologi dari media cetak.
Bukan hanya sekali, tapi ratusan kali dia menipu murid-muridnya. Dari sana, dia berkesimpulan bahwa seseorang cenderung menerima deskripsi secara umum tentang kepribadiannya, tanpa menyadari kalau hal tersebut berlaku juga untuk orang lain. Hal ini pun erat kaitannya dengan human gullibility atau sifat manusia yang mudah tertipu. Inilah mengapa Barnum Effect disebut juga Forer Effect, ini diambil dari nama belakang psikolog yang mengembangkan teori ini.
Barnum Effect ini kembali marak dengan bentuk yang lebih kekinian. Namun, tak mengubah esensinya sama sekali yakni trik untuk menipu orang lain, menganggap sesuatu hal itu spesial, padahal generik. Walhasil, bagai jamur di musim hujan merebaklah profesi-profesi ‘sok pintar' macam peramal, paranormal, horoskop, pesulap, pengamat bola kristal yang memanfaatkan teori Barnum Effect untuk meyakinkan seseorang atas ramalannya. Parahnya, berbagai brand juga memanfaatkan efek ini sebagai strategi marketing mereka.
Barnum Effect Dipelihara
Sistem kehidupan sekuler-kapitalis meniscayakan merebaknya Barnum Effect. Ketidakjelasan visi misi dan jati diri insan yang dibentuk semenjak dini, membuat seseorang cenderung memercayai kondisi yang diramalkan. Bahkan menimbulkan ketergantungan dalam membuat suatu keputusan dan pilihan perihal pemecahan problematik. Akhirnya orang tersebut bersugesti dan bertingkah sesuai dengan ramalan yang diyakininya. Seseorang yang mengalami Barnum Effect dalam jangka panjang akan mampu mengubah kepribadian alias jati dirinya, sebab tanpa disadari alam bawah sadarnya menuntunnya untuk menyesuaikan dengan kondisi yang diyakini.
Sekularisme tidak memandang penting keberadaan agama, buktinya agama ditempatkan dalam ranah sempit belaka. Bahkan, seiring dengan derasnya liberalisasi, kebebasan beragama yang diagung-agungkan justru mengarah pada agama tentatif, sinkretisme, bahkan ateisme. Tak sedikit orang masih beragama, namun kental dibumbui ritual kesyirikan.
Sebut saja praktik astrologi, yakni memprediksi takdir dan hoki seseorang berdasarkan posisi matahari, bulan, bintang, dan planet. Ini telah eksis sejak zaman kuno hingga saat ini. Ramai digunakan peramal untuk menebak kepribadian dan memprediksi masa depan seseorang.
Tentu saja merebaknya Barnum Effect ini sengaja dikondisikan sekaligus dimanfaatkan para kapitalis menjadi 'pasar' demi melariskan produk-produknya. Mereka cukup meyakinkan costumer bahwa dirinya spesial dan unik. Seperti aplikasi meditasi BetterMe. Aplikasi ini memiliki paket individual yang dibuat spesial untuk setiap costumer. Sehingga memberi kesan personal, padahal isinya bersifat universal. Masih banyak lagi tes kepribadian dan ramalan horoskop yang beredar di dunia maya maupun nyata.
Kepribadian Islam
Islam hadir di muka bumi ini bukan iseng belaka, namun sengaja dirancang, diturunkan, dan disebarkan di seluruh penjuru dunia untuk dijadikan pedoman hidup dalam bingkai negara. Termasuk untuk penemuan jati diri, Islam punya arahan yang jelas. Mari kita renungkan firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah ayat 216 yang artinya: “….Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Nah, ayat di atas menegaskan bahwa sebagai seorang muslim yang beriman, tidak sepantasnya menjadikan cara pandang manusia untuk menilai dan menjustifikasi diri kita, termasuk menebak kepribadian. Sebab, peluang salahnya besar. Namun, kita harus bersandar pada standar dan pandangan Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Inilah yang harus jadi patokan “ketakwaan”. Seorang muslim dikatakan bertakwa jika dia mengikatkan dirinya pada aturan Allah yakni syariat Islam. Dengan kata lain menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jadi, standarnya itu ahkamul khomsah, yakni status hukum dari perbuatan (fardu, sunah, mubah, makruh, dan haram). Sebisa mungkin kita ada di pusaran aktivitas fardu dan sunah, selektif dalam aktivitas mubah. Aktivitas makruh dan haram, no way!
Jadi apa pun golongan darah, sifat dan karakter kita ( cool atau ceria, lembut atau tegas, dan lainnya) tetap harus berpatokan pada standar Allah tadi, bukan pada pandangan manusia. Terpenting, kepribadian dalam Islam itu dibagi menjadi dua yakni, pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah). Keduanya ini harus dibentuk dengan arahan Islam.
Jika kita ingin memiliki pola sikap Islam otomatis harus membentuk pola pikir Islam terlebih dahulu. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan memahami tsaqafah Islam melalui kajian-kajian, baik itu secara offline maupun online. Tepatnya melalui pembinaan intensif (tatsqif). Di sinilah akal dan jiwa kita akan digembleng sedemikian rupa agar selaras dengan aturan Allah. So, kita tidak butuh lagi deh ragam tes kepribadian apalagi ramalan horoskop.
Bahkan, Islam menentang keras ramalan berdasarkan astrologi. Sebut saja Ibnu Khaldun yang dengan tegas menolak premis-premis dalam astrologi. Dari mana kita mengetahui kekuatan planet dan bintang-bintang serta pengaruhnya terhadap peristiwa di bumi? Pertanyaan ini menjadi awal dari bantahannya yang mampu merontokkan sendi bangunan validitas astrologi itu sendiri. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa ramalan zodiak dan sejenisnya itu penuh dusta dan penipuan. Bukan hanya itu, memercayai ramalan bisa mengakibatkan kandasnya fondasi akidah kita. Sebab, meyakini sesuatu yang tidak berasal dari informasi yang qoth’i.
Khatimah
Jelas sudah, Barnum Effect memiliki dampak negatif. Baik dalam kacamata agama maupun psikologis. Jadi, tidak ada alasan bagi kita untuk mengambil sesuatu yang nirfaedah bahkan merusak akidah. Yuk, perdalam pemahaman agama kita agar semakin terkuak jati diri kita yang sebenarnya. No tipu-tipu!
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]
Ingat betul, ada koran biasanya akhir pekan ada bahas khusus zodiak. Buka halaman bahas zodiak, auto cari rasi bintanganya. Hihi ... dulu. Tapi, memang kalau tidak punya standar pemahaman yang benar/Islam bisa kebawa arus ya.
Parahnya lagi, ramalan-ramalan saat ini malah dipelihara, digemari dan jadi ladang cuan yang menggiurkan
Setujuu, barnum effect nirfaedah dan merusak akidah