Menilik Polemik di Balik Kebijakan Ekspor CPO

"Prinsip pelayanan yang digenggam oleh Khilafah menjadikannya tidak tunduk pada kepentingan materi duniawi apalagi menghamba pada para korporat. Oleh karena itu, aktivitas perdagangan luar negeri yang dilakukan oleh Khilafah, baik ekspor maupun impor, adalah dalam rangka menguatkan politik dalam negeri, menjaga stabilitas perekonomian, dan menyebarluaskan dakwah."

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis dan Aktivis Dakwah)

NarasiPost.Com-Persoalan minyak goreng tampaknya belum redup dari pemberitaan. Bahan pangan yang tak bisa dilepaskan dari kaum ibu itu kembali menuai polemik pasca Presiden Jokowi mengumumkan akan kembali membuka keran ekspor bagi komoditas tersebut.

Sebagaimana dilansir oleh metrotvnews.com (22-05-2022), ekspor Crude Palm Oil (CPO) kembali dibuka karena Jokowi menilai bahwa pasokan minyak goreng di dalam negeri sudah aman. Pun harga minyak goreng di pasaran dinilai sudah stabil.

Seiring dengan hal tersebut, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa pemerintah akan menerbitkan lagi kebijakan Domestic Market Obligation atau DMO dan Domestic Price Obligation atau DPO. Menurut Airlangga, kebijakan yang baru ini adalah langkah untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng dan keterjangkauan harga di tengah masyarakat.

Sebagaimana dipahami, DMO mengharuskan produsen minyak goreng yang akan menjadi pelaku ekspor wajib mengalokasikan 30% dari volume produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. Namun, faktanya kebijakan ekspor CPO yang baru saja dibuka kembali oleh pemerintah menuai polemik di tengah masyarakat.

Ekspor CPO demi Kepentingan Siapa?

Jika kita menilik realitas yang terjadi hari ini, harga minyak goreng di pasaran masih belum aman, sebab harga minyak di pasaran sudah terlanjur mahal. Tak tanggung-tanggung, kenaikannya mencapai 100%. Kenaikan tersebut tak lepas juga dengan keberadaan mafia minyak goreng yang sempat mencuat beberapa waktu lalu. Dan mirisnya, kasusnya menguap entah ke mana.

Oleh karena itu, dibukanya kembali keran ekspor CPO yang merupakan bahan baku industri pangan berupa minyak goreng dan margarine ini jelas saja bukan demi kepentingan rakyat , melainkan demi kepentingan bisnis para kapitalis.

Sudah menjadi tabiat sistem kapitalisme liberal yang senantiasa membuat kebijakan yang tidak prorakyat, melainkan prokapitalis. Hal tersebut terbukti dengan tidak adanya penguasaan pemerintah atas hajat hidup masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa penguasaan lahan kelapa sawit sebesar 58% di negeri ini dikuasai oleh swasta. Dan hanya 4% dimiliki oleh BUMN.

Demikianlah bukti bahwa dalam sistem kapitalisme hari ini, negara bukanlah satu-satunya penyedia jasa dan layanan atas rakyatnya. Sebaliknya, negara membuka lebar-lebar gerbang bagi swasta untuk bermain di dalamnya. Jika sudah begitu, tentu saja profit oriented-lah yang menjadi tujuannya. Wajar jika kemudian, harga barang kebutuhan pokok masyarakat di pasaran rentan mengalami lonjakan, sebab ada bisnis yang dimainkan. Kian nyata, betapa sistem kapitalisme memosisikan rakyat sebagai pembeli, sementara negara sebagai penjualnya.

Ekspor dalam Pengaturan Sistem Islam

Dalam sistem Islam, yakni di bawah naungan Khilafah, aktivitas ekspor impor adalah sesuatu yang dimungkinkan terjadi. Namun, yang menjadi beda dengan sistem kapitalisme hari ini adalah Khilafah tidak melakukan ekspor atas komoditas yang keberadaannya masih sangat dibutuhkan oleh rakyat, bahkan ketersediaannya di dalam negeri sedikit. Khilafah akan lebih memprioritaskan kepentingan rakyat di dalam negeri ketimbang melakukan ekspor ke luar negeri. Sebab Khilafah tidak berorientasi pada profit seperti halnya kapitalisme.

Prinsip pelayanan yang digenggam oleh Khilafah menjadikannya tidak tunduk pada kepentingan materi duniawi apalagi menghamba pada para korporat. Oleh karena itu, aktivitas perdagangan luar negeri yang dilakukan oleh Khilafah, baik ekspor maupun impor, adalah dalam rangka menguatkan politik dalam negeri, menjaga stabilitas perekonomian, dan menyebarluaskan dakwah.

Maka, dalam praktiknya, ekspor yang dilakukan oleh Khilafah ke luar negeri terikat dengan ketentuan sebagai berikut:

Pertama, warga negara Khilafah baik muslim maupun kafir dzimmi, tidak boleh melakukan ekspor persenjataan, sistem komunikasi, dan alat-alat berat ke luar negeri jika nantinya komoditas tersebut digunakan untuk memerangi Khilafah. Namun, untuk komoditas lainnya, seperti pakaian, makanan, perabotan, dan lain-lain, negara boleh menjualnya ke luar negeri dengan syarat ketersediaan di dalam negeri benar-benar aman dan tidak mengganggu stabilitas ekonomi di dalam negeri.

Kedua, Khilafah mengharamkan secara mutlak aktivitas ekspor kepada negara kafir harbi fi'lan, yakni negara yang secara terang-terangan memusuhi Islam dan memerangi Khilafah.

Demikianlah ketentuan yang menjadi pijakan bagi kebijakan ekspor yang dilakukan Khilafah. Sehingga sangat jelas bahwa perdagangan luar negeri Khilafah tidak sekadar bertujuan ekonomi, namun juga politik dan dakwah.

Tak hanya itu, Khilafah menerapkan proteksi atas perdagangan luar negerinya, yakni dalam rangka meneguhkan kedudukan politiknya di mata negara lain serta menjaga kedaulatan dalam negeri. Adapun bentuk proteksi yang dilakukan Khilafah adalah dengan menerapkan sistem kesetaraan pungutan terhadap komoditas yang masuk ke negara Khilafah. Misalnya, negara kafir menetapkan bea 10% atas komoditas kaum muslimin yang masuk ke negara meraka, maka Khilafah pun akan menarik 10% atas komoditas mereka yang masuk ke negara Khilafah. Dengan begitu, Khilafah memiliki bergaining position di mata negara lain.

Hal ini sangat berbeda dengan sistem kapitalis hari ini, Indonesia seolah tak memiliki kedaulatan karena tunduk pada aturan negara-negara kafir Barat yang notabenenya sebagai negara maju. Walhasil, segala kebijakan pun akan mudah didikte berdasarkan kepentingan mereka. Oleh karena itu, polemik ekspor takkan terjadi jika negara bernaung di bawah payung sistem Islam yang agung. sebab Islam telah memiliki seperangkat aturan yang mampu menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Benarlah adanya, bahwa ketinggian Islam takkan bisa ditandingi oleh sistem mana pun yang ada dunia ini. Karena Islam mampu menjawab segala persoalan dengan solusi yang terbaik, yakni berumber dari Sang Mahaadil.

“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR. Ad-Daruquthni (III/ 181 no. 3564)[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hana Annisa Afriliani, S.S Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Cacar Monyet Menggila, Aktivitas Gay Mengundang Bencana
Next
Muhammad bin Qasim, Pembuka Jalan Pembebasan India
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram