"Kotak berkelir cokelat mengilap itu menarik perhatian. Tangannya beralih meraih kotak itu. Betapa terkejut bukan kepalang, pemberiannya pada pemimpin salah satu partai itu dikembalikan. Cek senilai 15 miliar itu teronggok dalam kotak. Tawaran koalisinya menjumpai penolakan."
Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Debur ombak begitu sengit menyapa telinga. Gulungannya meninggi seakan hendak menelan tongkang-tongkang batu bara. Angin ribut turut menyapa apa saja yang ada di permukaan laut tak mau kalah. Beberapa sampan nelayan tengkurap tak berdaya karena ulah ombak dan angin yang sedang kolaborasi menuruti titah Sang Pencipta.
Sore itu sepi, pantai begitu sunyi laksana kuburan. Tak ada suara warga yang mengobrol sambil membuat jala ikan. Hanya ada suara daun-daun bakau yang berguguran. Rantingnya patah dan jatuh tak bertuan. Duhai, fenomena alam yang menakutkan. Warga hanya berani di rumah saja sambil berharap keselamatan. Hanya tambak udang saja yang terdengar menyaingi kebisingan ombak dan angin karena sibuk produksi untuk sang tuan.
Seorang pria berdasi mencolok sedang turun dari mobil mewah. Rambut ikal bergelombang yang klimis tak mampu menahan kerapiannya. Angin menyapa dengan brutal. Dia segera bersisir saat memasuki satu-satunya ruang ber-AC di tambak itu. Dia sedang ada jadwal bertemu dengan salah satu perangkat desa. Telah bertumpuk map berisikan berkas perpanjangan izin operasional tambaknya.
Waktu terus berjalan. Tangannya sigap memeriksa dan menandatangani berkas-berkas bertumpuk itu. Netranya sekilas menangkap kotak sebesar kotak rokok di meja kerjanya. Kotak berkelir cokelat mengilap itu menarik perhatian. Tangannya beralih meraih kotak itu. Betapa terkejut bukan kepalang, pemberiannya pada pemimpin salah satu partai itu dikembalikan. Cek senilai 15 miliar itu teronggok dalam kotak. Tawaran koalisinya menjumpai penolakan.
Keringat dingin mengucur begitu deras. Amarah di dada bergemuruh tak karuan. Tak ada kata penolakan dalam kamusnya. Selama ini, justru para pejabat dan pegiat partai datang menawarkan kerja sama. Pria yang disapa Sinyo itu memutar otak. Berbagai pertanyaan berparade tak tentu arah. Pertanyaan paling krusial yang membekap benaknya, "Apakah jumlah itu kurang?"
Suara ketuk pintu tak menguap sempurna. Parto akhirnya memberanikan diri membuka daun pintu bergambar naga dengan warna kuning merah menyala. Sinyo langsung mempersilakan tamunya. Wajah ditekuk menghiasi pertemuan mereka. Berkas-berkas yang telah rampung itu berpindah tangan. Amplop cokelat berisi uang tunai 200 juta diterima Parto dengan riang gembira. Nominal itu lebih dari cukup untuk ongkos wira-wirinya ke berbagai dinas terkait. Bahkan, bisa membiayai kecantikan bini mudanya.
Senyum lebar Parto menari-nari di depan Sinyo. Namun, senyum itu lekas hilang saat wajah masam Sinyo masih bertengger. Parto memang tangan kanan Sinyo. Berkat dialah Sinyo memiliki tambak udang yang luas. Panjangnya membentang sampai enam desa pesisir. Kegigihan dan lobi Parto tak ada tandingannya. Udang windu dan lobster menjadi mainan Parto sejak berkawan dengan Sinyo.
Sebagai teman sekaligus suruhan Sinyo, Parto mencoba menyibak kegalauan dan kemarahan Sinyo. Perhatian dan kepedulian Parto melunakkan Sinyo. Tanpa bertanya lebih jauh, Parto mendapat penjelasan ihwal cek yang dikembalikan.
"Owe helan, kenapa itu kepala paltai bulung mengembalikannya. Dulu saja sebelum Pilpres dia mengemis."
Parto langsung menangkap siapa yang dimaksud Sinyo. Orang yang dulu mengusung slogan pro rakyat kini sudah berjaya dengan kursi menteri. Permainan koalisi antarpartai hal yang lazim. Tak ada teman sejati, yang ada hanya kepentingan abadi. Parto sangat memahami hal itu. Apalagi sekarang Sinyo berada di sayap oposisi, berseberangan dengan partainya. Mana mau dia menerima jika masih basah dengan bancakan-bancakan dana plesir ataupun program-programnya.
"Tenang, Nyo. Pasti dia akan mengemis lagi nanti," ujar Parto meyakinkan.
Tentu saja dia akan kembali. Dana 15 miliar akan sangat dibutuhkannya untuk dana kampanye. Belum lagi untuk mahar politik saat walimah demokrasi itu digelar. Apalagi partainya sekarang banyak tersangkut kasus korupsi. Elektabilitas partai dan dirinya sedang terjun bebas, pasti nanti akan bertekuk lutut di hadapan Sinyo. Pengembalian cek itu hanya gertak sambal belaka, demi Sinyo masuk dalam partainya.
Kepala Sinyo manggut-manggut mendengar analisis Parto yang cukup masuk akal. Angin petang kian menantang. Keributannya berhasil mengangkat beberapa asbes di area tambak. Air tambak menjadi sangat kotor. Banyak daun yang menjadi penghuninya. Sinyo dan Parto segera memakai topi bersenter melihat kondisi tambak.
Seluruh karyawan tambak yang shift malam sangat sibuk menyiapkan berbagai alat untuk menjaga kebersihan air tambak. Sinyo hendak menghilangkan penat. Kemarahannya belum reda, kini ditambah angin yang mengacaukan tambak. Tentu kerusakan itu akan menambah biaya produksi. Parto mengajak Sinyo ngopi di warung warga sekitar tambak.
Badan tegap Sinyo dan Parto terhenti melangkah saat ada Pak Bilal. Parto langsung tegang. Keringat mengucur deras. Sementara Sinyo memindai pria tua yang ada di hadapannya. Dia baru pertama kali berjumpa. Asing sekali wajah Pak Bilal baginya, namun tidak bagi Parto. Tak berbelit-belit, Pak Bilal langsung bertutur pada Parto.
"Jadi ini yang kau kerjakan. Kauberi makan anak istrimu dengan jalan ini?" Pak Bilal menatap Parto tajam.
Parto mendapat siraman nasihat dari mertuanya. Pak Bilal mengingatkan Parto saat ia menikahi putrinya sepuluh tahun silam. Petuah Pak Bilal tentang nafkah halal menggema lagi di ruangan ini. Tambahan nasihat menyapa pendengaran Parto dan Sinyo. Membeli kebijakan demi memuluskan kepentingan itu perbuatan nista. Tak akan ada kenikmatan dan kebahagiaan hakiki yang akan diperoleh. Serangkaian tamparan nasihat memerahkan hati Parto dan Sinyo. Pesan mendalam Pak Bilal tentang mereka para kapital adalah bahagia di atas penderitaan rakyat.
Sinyo yang biasanya membantah jika ada yang berani mengusiknya, kini lisannya kelu. Netranya hanya mampu menatap gerak lisan Pak Bilal dan akalnya berusaha menyerap apa yang disampaikan. Benar, Sinyo membenarkan ucapan Pak Bilal bahwa orang seperti dirinya tak punya rasa peduli, hilang rasa kemanusiaannya. Pertanyaan retoris Pak Bilal tentang bagaimana jika yang mereka lakukan terhadap rakyat itu menimpa keluarganya telak menghantam ulu hati Sinyo. Sementara Parto sama sekali sudah tak berani mengangkat wajahnya. Ketidakjujuran dan kelalaian dalam menjaga istri telah membekapnya.
"Kalian itu hanya sampah masyarakat, aku yakin, agamamu juga melarang perbuatan nepotisme dan pemerasan, bukan?"
Sinyo tak mampu menjawab. Dia hanya bisa menatap punggung Pak Bilal yang kian menjauh dari ruangan panas itu. Meski ber-AC dan ada angin ribut, Sinyo dan Parto tetap bermandikan keringat. Sinyo mulai gamang dengan apa yang dilakukannya selama ini. Dia telah lupa dengan amarah kembalinya cek tawaran koalisi itu. Dia tak ingin langsung kembali ke Makau. Dia berniat akan menemui Pak Bilal dan berdiskusi dengannya.[]